You Hate This? Fight It or Take It!
Posted: Senin, 23 Maret 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Life
0
Kata teman-teman - baik yang kenal akrab maupun yang sekadar tahu - saya itu masuk kategori tipe pemberontak. Tak mau taat aturan, rajin merusak tatanan. Tak setuju, gugat dan lawan! Kadang dengan nada berapi-api yang membuat orang lain ketakutan. Makin klop jika dikaitkan dengan panggilan saya, Anang. Kata teman-teman, nama panggilan saya itu adalah singkatan dari Anti Ketenangan.
'Jangankan kita, lha wong dosen dan pemerintah saya dilawan kok', ledek teman kuliah. Saya meringis. Gara-gara ikut beberapa kali demo saja sudah dicap berani melawan dosen dan pemerintah. Kalau penilaian itu didengar oleh para demonstran militan - yang belakangan makin sering bermunculan di tengah-tengah kita menyuarakan suara rakyat - bisa habis saya ditertawakan.
Kali lain sebutan 'anak LSM' menghampiri. Hanya karena ikut organisasi sosial, lalu perangai saya diidentikkan dengan LSM di negeri ini - yang selalu kritis menyuarakan aspirasi kaum tertindas.
Paling parah adalah ketika saya mulai berkarya, saya mendapatkan sebutan Mr. Complain. Karena seringnya saya komplain terhadap ketidaknyamanan dan kebijakan-kebijakan perusahaan atau credit union yang menurut saya tidak bijak sama sekali. Padahal, sungguh, belum sekali pun saya berjuang untuk 'rakyat' yang seharusnya saya perjuangkan hak-hak hidupnya. Paling banter menyuarakan kepentingan sendiri, atau sesekali milik teman (teman dalam jumlah lebih dari 10 orang).
Memang, saya paling tidak suka menyembunyikan sesuatu. Mungkin dari sinilah predikat pemberontak ini berasal. Prinsipnya, right is right, wrong is wrong. Pilihannya hanya apatis atau idealis, tidak bisa dan tidak berhak kita hidup dalam dunia abu-abu. Nah, kalau salah, saya merasa perlu untuk membenarkannya. Jika hal itu menyangkut prinsip, saya tak keberatan menempuh jalur sulit untuk menyuarakan aspirasi itu, yang seringkali justru merugikan brand saya sendiri.
Waktu di kampus dulu saya suka pakai sepatu sandal dan celana jeans. Zaman itu, sepatu sandal gunung dan celana jeans masih dianggap tak layak dipakai untuk kuliah oleh sebagian besar dosen senior di kampus saya. Mungkin karena kampus saya bukan kampus rakyat. Sebuah kampus negeri yang mahasiswa dan mahasiswinya jarang sekali bersentuhan dengan masalah-masalah kemasyarakat. Hehehe...
Suatu hari saya ditegur karena memakai sepatu sandal dan celana jeans. Saya keluar, mengambil sepatu dan celana kain dari tempat kost. Saya masuk lagi ke dalam kelas, lalu meletakkan sepatu dan celana kain itu di atas tempat duduk. Kalau yang dipentingkan adalah sepatunya, mendingan dia saja yang disuruh kuliah ... Hahaha ... sejak itu saya bebas bersepatu sandal dan mengenakan jeans di kampus.
Terlepas dari benar atau tidaknya sikap itu, tapi - menurut saya - kita harus berani bersikap jika melihat sesuatu yang salah. Jangan hanya diam saja atau nggrundel di belakang. Jika tidak suka, perjuangkanlah. Jika gagal, hanya ada dua pilihan: take it or leave it! Bertahan dengan menerima apa yang tidak kita sukai atau pergi daripada mengganggu kemapanan. Tak ada gunanya bertahan dengan pura-pura setuju dengan sesuatu yang kita anggap salah dan harus diperbaiki.
Credit union bisa menjelaskan dengan lebih gamblang soal prinsip take it or leave it. Berani bersikap menyatakan dukungan atau penolakan terhadap sebuah kontroversi.
Berita terbaru, teman-teman di seluruh Indonesia yang berkarya di credit union, dengan dimotori Inkopdit, membahas tentang kode etik GKKI. Ada yang bingung menentukan sikap, ada pula yang dengan tegas menentukan penolakan ataupun dukungannya. Mereka punya opini yang bermacam-macam dan berhak untuk didengarkan, bahkan yang bingung sekalipun. Tapi, ingat bagi saya ke depan credit union hanya membutuhkan 2 hal ini. 1. Jangan habiskan waktu dan kesempatan (termasuk uang di dalamnya) orang-orang yang kita sebut dengan pelanggan. 2. Ingat pesan pertama! Bagi saya itulah kode etik yang sebenarnya bagi gerakan credit union. So, tidak perlu kode etik yang lain.
Sampai hari ini kita masih mendengar dan menyaksikan sendiri begitu banyaknya miss management di credit union, tapi riil kita bisa menyelesaikannya dengan 'baik'. Pamor credit union tidak pudar karenanya. Bukan karena ditutup-tutupi, melainkan dengan menggelar serangkaian penyelesaian yang obyektif dan manusia. Ingat, credit union manage people.
Belum lagi fenomena kontroversialnya pengembangan usaha credit union dengan TP-TP-nya. Jangan hanya menggunakan satu sudut pandang dan solusi masa lalu untuk menyelesaikan masalah hari ini dan ke depan. Teruslah belajar dan perluas sudut pandang kita untuk meningkatkan wisdom kita.
Teman-teman credit union masih tidak percaya marketing bisa menyelesaikan persoalan klasik credit union selama ini? Itu hak siapapun untuk berpendapat dan menyatakan iya atau tidak. Tapi, bagi saya, riil kita tidak tertinggal, hanya saja laju kita lebih lambat dibandingkan perusahaan sejenis dengan kita.
Dengan blog ini, saya jadi mendapat pembenaran dari perangai saya yang suka memberontak. Pemberontakan yang kadang kala menimbulkan kesan arogan di mata sahabat sekalian. Pemberontakan itu kadang kala bukan ditujukan untuk merusak tatanan. Tapi, sebagai ajakan untuk meninjau sebuah persoalan dengan lebih jernih dan obyektif.
Jika memang salah atau benar hanya dari satu sudut pandang, mari kita benarkan dengan solusi lain. Jika sudah benar, ya pihak penentang harus bisa menerima dengan lapang dada. Coba bayangkan jika semua orang di credit union punya sikap seperti itu. Tetram benar kita berada di 'university of life' yang sportif, ksatria, dan taat tatanan.
'Jangankan kita, lha wong dosen dan pemerintah saya dilawan kok', ledek teman kuliah. Saya meringis. Gara-gara ikut beberapa kali demo saja sudah dicap berani melawan dosen dan pemerintah. Kalau penilaian itu didengar oleh para demonstran militan - yang belakangan makin sering bermunculan di tengah-tengah kita menyuarakan suara rakyat - bisa habis saya ditertawakan.
Kali lain sebutan 'anak LSM' menghampiri. Hanya karena ikut organisasi sosial, lalu perangai saya diidentikkan dengan LSM di negeri ini - yang selalu kritis menyuarakan aspirasi kaum tertindas.
Paling parah adalah ketika saya mulai berkarya, saya mendapatkan sebutan Mr. Complain. Karena seringnya saya komplain terhadap ketidaknyamanan dan kebijakan-kebijakan perusahaan atau credit union yang menurut saya tidak bijak sama sekali. Padahal, sungguh, belum sekali pun saya berjuang untuk 'rakyat' yang seharusnya saya perjuangkan hak-hak hidupnya. Paling banter menyuarakan kepentingan sendiri, atau sesekali milik teman (teman dalam jumlah lebih dari 10 orang).
Memang, saya paling tidak suka menyembunyikan sesuatu. Mungkin dari sinilah predikat pemberontak ini berasal. Prinsipnya, right is right, wrong is wrong. Pilihannya hanya apatis atau idealis, tidak bisa dan tidak berhak kita hidup dalam dunia abu-abu. Nah, kalau salah, saya merasa perlu untuk membenarkannya. Jika hal itu menyangkut prinsip, saya tak keberatan menempuh jalur sulit untuk menyuarakan aspirasi itu, yang seringkali justru merugikan brand saya sendiri.
Waktu di kampus dulu saya suka pakai sepatu sandal dan celana jeans. Zaman itu, sepatu sandal gunung dan celana jeans masih dianggap tak layak dipakai untuk kuliah oleh sebagian besar dosen senior di kampus saya. Mungkin karena kampus saya bukan kampus rakyat. Sebuah kampus negeri yang mahasiswa dan mahasiswinya jarang sekali bersentuhan dengan masalah-masalah kemasyarakat. Hehehe...
Suatu hari saya ditegur karena memakai sepatu sandal dan celana jeans. Saya keluar, mengambil sepatu dan celana kain dari tempat kost. Saya masuk lagi ke dalam kelas, lalu meletakkan sepatu dan celana kain itu di atas tempat duduk. Kalau yang dipentingkan adalah sepatunya, mendingan dia saja yang disuruh kuliah ... Hahaha ... sejak itu saya bebas bersepatu sandal dan mengenakan jeans di kampus.
Terlepas dari benar atau tidaknya sikap itu, tapi - menurut saya - kita harus berani bersikap jika melihat sesuatu yang salah. Jangan hanya diam saja atau nggrundel di belakang. Jika tidak suka, perjuangkanlah. Jika gagal, hanya ada dua pilihan: take it or leave it! Bertahan dengan menerima apa yang tidak kita sukai atau pergi daripada mengganggu kemapanan. Tak ada gunanya bertahan dengan pura-pura setuju dengan sesuatu yang kita anggap salah dan harus diperbaiki.
Credit union bisa menjelaskan dengan lebih gamblang soal prinsip take it or leave it. Berani bersikap menyatakan dukungan atau penolakan terhadap sebuah kontroversi.
Berita terbaru, teman-teman di seluruh Indonesia yang berkarya di credit union, dengan dimotori Inkopdit, membahas tentang kode etik GKKI. Ada yang bingung menentukan sikap, ada pula yang dengan tegas menentukan penolakan ataupun dukungannya. Mereka punya opini yang bermacam-macam dan berhak untuk didengarkan, bahkan yang bingung sekalipun. Tapi, ingat bagi saya ke depan credit union hanya membutuhkan 2 hal ini. 1. Jangan habiskan waktu dan kesempatan (termasuk uang di dalamnya) orang-orang yang kita sebut dengan pelanggan. 2. Ingat pesan pertama! Bagi saya itulah kode etik yang sebenarnya bagi gerakan credit union. So, tidak perlu kode etik yang lain.
Sampai hari ini kita masih mendengar dan menyaksikan sendiri begitu banyaknya miss management di credit union, tapi riil kita bisa menyelesaikannya dengan 'baik'. Pamor credit union tidak pudar karenanya. Bukan karena ditutup-tutupi, melainkan dengan menggelar serangkaian penyelesaian yang obyektif dan manusia. Ingat, credit union manage people.
Belum lagi fenomena kontroversialnya pengembangan usaha credit union dengan TP-TP-nya. Jangan hanya menggunakan satu sudut pandang dan solusi masa lalu untuk menyelesaikan masalah hari ini dan ke depan. Teruslah belajar dan perluas sudut pandang kita untuk meningkatkan wisdom kita.
Teman-teman credit union masih tidak percaya marketing bisa menyelesaikan persoalan klasik credit union selama ini? Itu hak siapapun untuk berpendapat dan menyatakan iya atau tidak. Tapi, bagi saya, riil kita tidak tertinggal, hanya saja laju kita lebih lambat dibandingkan perusahaan sejenis dengan kita.
Dengan blog ini, saya jadi mendapat pembenaran dari perangai saya yang suka memberontak. Pemberontakan yang kadang kala menimbulkan kesan arogan di mata sahabat sekalian. Pemberontakan itu kadang kala bukan ditujukan untuk merusak tatanan. Tapi, sebagai ajakan untuk meninjau sebuah persoalan dengan lebih jernih dan obyektif.
Jika memang salah atau benar hanya dari satu sudut pandang, mari kita benarkan dengan solusi lain. Jika sudah benar, ya pihak penentang harus bisa menerima dengan lapang dada. Coba bayangkan jika semua orang di credit union punya sikap seperti itu. Tetram benar kita berada di 'university of life' yang sportif, ksatria, dan taat tatanan.