Pecundang pun Bisa Menang
Posted: Senin, 16 Maret 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Life
0
'Winners never quit and quitters never win'. Pemenang tak pernah menyerah dan pecundang takkan pernah menang. Ini ucapan pelatih sepakbola AS terkenal, Vince Lombardi. Saat Perang Dunia II, Perdana Menteri Inggris, Sir Winston Churchill juga menyerukan, 'Never, never, never quit'.
Dulu, saya amat percaya, 'Sukses diukur bukan dari tingginya pencapaian, melainkan dari seberapa besar hambatan yang berhasil diatasi dalam proses mencapai sukses' dan 'Tak penting berapa kali Anda jatuh, yang penting berapa kali Anda bangkit kembali setelah jatuh'.
Maka, saya putuskan untuk terus maju, tak gentar menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan. Sekejap pun saya tidak ingin menyerah, karena tidak sudi jadi seorang pecundang. Begitulah selama sekian tahun, terus mengejar impian tanpa melakukan analisis kritis terhadap situasi dan kondisi kehidupan pribadi. Pokoknya maju terus.
Apalagi diperparah oleh kepercayaan, 'Semua orang pada dasarnya orang sukses. Mereka gagal karena mereka menyerah terlalu cepat'. Ah, betapa berbahayanya keprcayaan ini.
Jujur pada Diri Sendiri
Sebaiknya pernyataan itu diplesetkan, 'Quitters can win if they know the right reasons, the right way, and the right time to quit'.
Sahabat sekalian, apakah kita boleh quit? Tentu boleh. Hanya, harus dengan alasan yang tepat. Kita harus jujur pada diri sendiri. Apakah quit karena malas, tidak termotivasi, tidak tahan menderita, kurang ulet, ataukah kita quit karena setelah bekerja sangat keras dan berusaha dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, tapi apa yang kita lakukan ternyata tidak sejalan dengan value atau nilai-nilai hidup yang kita yakini?
Quit bukan hanya untuk mereka yang belum berhasil mencapai sesuatu. Seorang konsultan keuangan sukses di Jakarta, pada usia 40 tahun memutuskan untuk quit dan banting stir menjadi seorang pelukis. 'Saya merasa jauh lebih tenang dan bahagia. Inilah impian saya sejak lama, menjadi orang yang bebas berekspresi', katanya
Nilai Hidup adalah Kompas
Tak sedikit orang mendaki tangga kesuksesan, dan setelah mencapai puncak tangga, ia baru sadar ternyata tangganya bersandar di tembok yang salah. Mengapa begitu? Kebanyakan kita tidak merancang hidup dengan hati-hati dan saksama, tak punya peta kehidupan.
Peta kehidupan dibuat dengan lebih dulu membuat daftar impian tertulis. Impian ini harus lengkap meliputi berbagai aspek kehidupan. Ada aspek spiritual, finansial, bisnis-karir, materi, sosial, keluarga, kesehatan fisik dan mental. Langkah awal menyusun impian adalah dengan mencari tahu, menetapkan, dan menyusun nilai-nilai hidup.
Nilai hidup adalah apa yang kita yakini sebagai hal yang penting bagi hidup kita. Ia berperan sebagai kompas yang mengarahkan perahu kehidupan kita. Dengan nilai hidup sebagai fondasi, impian yang disusun tidak akan menyimpang dari tujuan hidup kita. Dengan demikian saat mencapai puncak kesuksesan kita justru akan semakin bersemangat dan bahagia. Jadi, ukurannya seberapa bahagia kita saat mencapai dan meraih impian.
Panggilan Hati
Idola Saya, Hermawan Kartajaya, dulunya merintis sukses di beberapa perusahaan ternama. Namun hatinya selalu gelisah, merasa asuransi bukan dunia yang sesuai dengan panggilan hatinya. Ia senang mengajar (berbagi ilmu).
Akhirnya, Pak HK, mengikuti suara hatinya, menjadi marketer yang senang berbagai dengan berbagai cara. Ia quit dengan alasan yang tepat, di saat yang tepat, dan dengan perencanaan yang tersusun baik dan matang. Sampai saat ini ia telah menjadikan Markplus, Inc sebagai university of life bagi para marketer, tidak hanya di Indonesia saja.
Nah, siapa yang bilang quitters never win? Sering the real winner adalah mereka yang berani quit. Saya selalu memberikan pilihan bagi hidup saya dan teman-teman di sekitar saya, lebih baik menjadi macan di kandang tikus, atau menjadi tikus di kandang macan?
The real loser justru mereka yang bersikeras berkata, 'Never, never, never quit'. Sahabat sekalian perlu berhati-hati agar tidak menjadi pemenang di antara pecundang, hanya karena kita adalah yang paling tidak mau atau paling malu untuk quit.
Dulu, saya amat percaya, 'Sukses diukur bukan dari tingginya pencapaian, melainkan dari seberapa besar hambatan yang berhasil diatasi dalam proses mencapai sukses' dan 'Tak penting berapa kali Anda jatuh, yang penting berapa kali Anda bangkit kembali setelah jatuh'.
Maka, saya putuskan untuk terus maju, tak gentar menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan. Sekejap pun saya tidak ingin menyerah, karena tidak sudi jadi seorang pecundang. Begitulah selama sekian tahun, terus mengejar impian tanpa melakukan analisis kritis terhadap situasi dan kondisi kehidupan pribadi. Pokoknya maju terus.
Apalagi diperparah oleh kepercayaan, 'Semua orang pada dasarnya orang sukses. Mereka gagal karena mereka menyerah terlalu cepat'. Ah, betapa berbahayanya keprcayaan ini.
Jujur pada Diri Sendiri
Sebaiknya pernyataan itu diplesetkan, 'Quitters can win if they know the right reasons, the right way, and the right time to quit'.
Sahabat sekalian, apakah kita boleh quit? Tentu boleh. Hanya, harus dengan alasan yang tepat. Kita harus jujur pada diri sendiri. Apakah quit karena malas, tidak termotivasi, tidak tahan menderita, kurang ulet, ataukah kita quit karena setelah bekerja sangat keras dan berusaha dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, tapi apa yang kita lakukan ternyata tidak sejalan dengan value atau nilai-nilai hidup yang kita yakini?
Quit bukan hanya untuk mereka yang belum berhasil mencapai sesuatu. Seorang konsultan keuangan sukses di Jakarta, pada usia 40 tahun memutuskan untuk quit dan banting stir menjadi seorang pelukis. 'Saya merasa jauh lebih tenang dan bahagia. Inilah impian saya sejak lama, menjadi orang yang bebas berekspresi', katanya
Nilai Hidup adalah Kompas
Tak sedikit orang mendaki tangga kesuksesan, dan setelah mencapai puncak tangga, ia baru sadar ternyata tangganya bersandar di tembok yang salah. Mengapa begitu? Kebanyakan kita tidak merancang hidup dengan hati-hati dan saksama, tak punya peta kehidupan.
Peta kehidupan dibuat dengan lebih dulu membuat daftar impian tertulis. Impian ini harus lengkap meliputi berbagai aspek kehidupan. Ada aspek spiritual, finansial, bisnis-karir, materi, sosial, keluarga, kesehatan fisik dan mental. Langkah awal menyusun impian adalah dengan mencari tahu, menetapkan, dan menyusun nilai-nilai hidup.
Nilai hidup adalah apa yang kita yakini sebagai hal yang penting bagi hidup kita. Ia berperan sebagai kompas yang mengarahkan perahu kehidupan kita. Dengan nilai hidup sebagai fondasi, impian yang disusun tidak akan menyimpang dari tujuan hidup kita. Dengan demikian saat mencapai puncak kesuksesan kita justru akan semakin bersemangat dan bahagia. Jadi, ukurannya seberapa bahagia kita saat mencapai dan meraih impian.
Panggilan Hati
Idola Saya, Hermawan Kartajaya, dulunya merintis sukses di beberapa perusahaan ternama. Namun hatinya selalu gelisah, merasa asuransi bukan dunia yang sesuai dengan panggilan hatinya. Ia senang mengajar (berbagi ilmu).
Akhirnya, Pak HK, mengikuti suara hatinya, menjadi marketer yang senang berbagai dengan berbagai cara. Ia quit dengan alasan yang tepat, di saat yang tepat, dan dengan perencanaan yang tersusun baik dan matang. Sampai saat ini ia telah menjadikan Markplus, Inc sebagai university of life bagi para marketer, tidak hanya di Indonesia saja.
Nah, siapa yang bilang quitters never win? Sering the real winner adalah mereka yang berani quit. Saya selalu memberikan pilihan bagi hidup saya dan teman-teman di sekitar saya, lebih baik menjadi macan di kandang tikus, atau menjadi tikus di kandang macan?
The real loser justru mereka yang bersikeras berkata, 'Never, never, never quit'. Sahabat sekalian perlu berhati-hati agar tidak menjadi pemenang di antara pecundang, hanya karena kita adalah yang paling tidak mau atau paling malu untuk quit.