Mengapa Marah?

Posted: Senin, 16 Maret 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Terus terang, sampai kemarin saya masih mendongkol. Cenderung kesal, bahkan marah. Seorang teman lama, yang dulu pernah saya bantu beri modal usaha dan kini kabarnya menjadi seorang manajer di salah satu hotel mewah di Nusa Dua, Bali menyambut dingin jabat tangan saya, saat tak sengaja bertemu di hotel tempatnya bekerja.

Sikapnya terasa angkuh, seolah saya bukan siapa-siapa. Bicaranya kikir kata, seperlunya, dan agak ketus. Sepertinya ingin segera menyudahi perjumpaan. Jangan-jangan dia kira saya mau mengutang, atau malah minta uang. Apa tak ingat, dulu makan pagi-siang-malam saya juga pernah bayari waktu sama-sama kerja di Jimbaran? termasuk rokok, saya traktir. Bahkan modal yang saya pinjamkan belum ia kembalikan seluruhnya.

Selama seminggu tidak sekejap pun ia lepas dari pikira. Sakit rasanya hati ini. Saya ceritakan kejadian itu pada setiap teman. Celaka, saya sempat menyumpahi agar karirnya habis. Biar tahu rasa. Sebagian teman-teman merasa aneh, kok saya berubah menjadi amat sangat sensitif. Seorang sahabat coba saya hapus dari memori kebersamaan saya. Apa memang saya layak berbuat seperti itu? Tidakkah saya terlalu egois?



Ego? ya, ternyata saya telah membiarkannya 'bermain' tanpa kendali. Ego beraksi dengan 'menyamakan' dan 'membedakan' saya dengan sesuatu di luar diri saya. Ego menyamakan saya dengan emosi saya. Rasa tersinggung, maha, merasa diremehkan, adalah emosi yang sebelumnya tak ada, tapi lalu menjajah saya berhari-hari.

Ego juga membedakan saya dengan teman lama itu, bahwa dulu ia miskin, dulu saya suka mentraktirnya (meskipun saya juga miskin), dulu saya memberinya modal usaha. Padahal, dulu saya melakukannya dengan ikhlas. Lalu, kenapa kini saya 'terpisah' dengannya? Sedemikian halus ego menguasai saya/

Pelan saya membuka dompet kartu nama saya, mencari kartu nama teman saya. Saya telepon dia. Tak dinyana, dia menyambut dan menyadari telah bersikap kurang patut. Ternyata, ia waktu itu sedang ada masalah dengan pekerjaannya. Pantas saat itu ia tidak fokus. Ah, ego telah mengubah saya menjadi orang lain. Ego telah memanipulasi saya. Ya, mengapa saya harus marah?

0 komentar: