Smart Power

Posted: Senin, 16 Maret 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Artikel Prof. Joseph S. Nye dari Harvard pada harian Jakarta Post tanggal 12 Februari 2009 lalu sangat menarik. Ia menulis tentang fenomena Barack Obama. Dua tahun lalu nama Barack Obama muncul sebagai senator pemula dari negara bagian Illinois yang tidak banyak dikenal. Namanya mulai muncul setelah mendeklarasikan niatnya untuk mencalonkan diri menjadi presiden. Banyak orang bersikap skeptis. Mana mungkin seorang Amerika keturunan Afrika, dengan nama yang aneh dan memiliki pengalaman yang sangat terbatas mampu memenangi pemilihan presiden di negara yang mayoritas kulit putih.

Tetapi seiring dengan perkembangan kampanye, mulai kelihatan Obama memiliki kekuatan memimpin yang hebat. Ia memiliki kekuatan memimpin yang merupakan kombinasi antara soft and hard power. Di samping itu, ia mampu menggunakan kombinasi kedua kekuatan ini dengan mempertimbangkan konteks yang dihadapi.

Profesor Nye menyebut kekuatan memimpin seperti itu sebagai smart power. Soft power adalah daya tarik yang melekat pada seorang pemimpin sehingga ia mampu menggalang pengikut setia. Soft power pada hakekatnya terdiri dari kecerdasan emosi dan kemampuan komunikasi serta kemampuan merumuskan visi masa depan yang menarik. Selama kampanye jelas kelihatan Obama memiliki soft power yang luar biasa. Tetapi ia juga memiliki hard power yang berkaitan dengan kepekaan politik organisasi. Ia memahami dinamika organisasi dan mampu memanfaatkan kekuatan politik yang ada untuk mencapai tujuan.



Selama kampanye, Obama memang sangat piawai dalam merespons berbagai krisis, dalam merumuskan visinya kedepan dan dalam memanfaatkan dinamika politik organisasi. Ditambah dengan latar belakang pengalamannya di Indonesia dan Kenya ia menjadi sangat cerdas secara kontekstual. Sedangkan pemahamannya tentang kehidupan politik Amerika, ia peroleh dari pengalamannya sebagai aktivis komunitas di Chicago.

Setelah mengucapkan sumpah jabatan, Obama kembali memperlihatkan kecerdasannya dalam menggunakan smart power. Ia segera menunjuk Hillary Clinton, pesaing utamanya dalam memperebutkan calon presiden dari Partai Demokrat, menjadi menteri luar negeri. Ia hendak menunjukkan kesediaannya bekerjasama dengan siapaun yang dianggap bersebrangan.

Nelson Mandela adalah contoh lain dari pemimpin yang mampu memanfaatkan smart power. Ia dapat saja memimpin pengikutnya sebagai kelompok kulit hitam Afrika Selatan, yang telah dizolimi oleh sistem apartheid, untuk melampiaskan dendamnya kepada kelompok kulit putih. Tetapi ia memilih untuk menjadi pemimpin Afrika Selatan baru dengan melakukan rekonsiliasi diantara dua kelompok tersebut.

Bagaimana dalam konteks Indonesia? Apakah kita pernah memiliki para pemimpin yang cerdas dalam menggunakan smart power. Saya yakin siapapun akan setuju Soekarno adalah contoh yang tepat. Soekarno diakui sebagai pemimpin yang sangat visioner. Ia seorang orator ulung yang mampu menggelorakan semangat bangsanya. Ia memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa dengan gaya komunikasi yang penuh empati. Tetapi ia juga mampu melihat konteks dan sangat peka terhadap peta politik. Dalam upaya merebut kemerdekaan, ia tidak konfrontatif terhadap pendudukan Jepang. Ia memanfaatkan masa pendudukan Jepang sebagai masa transisi untuk melatih rakyat Indonesia di bidang kemiliteran dan birokrasi. Dalam perjuangan merebut Irian Barat, Soekarno memanfaatkan perang dingin untuk memaksa Amerika Serikat menekan Belanda sehingga mau menyerahkan Irian Barat ke pangkuan RI.

Soeharto, tidak kalah cerdas dalam menggunakan smart power. Dalam upayanya mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, Soeharto mampu merumuskan visi yang sangat diimpikan oleh rakyat Indonesia pada saat itu, yaitu visi untuk mengisi kemerdekaan dengan kemakmuran melalui pembangunan ekonomi. Soeharto juga pandai memilih pembantu-pembantunya untuk mewujudkan cita-cita pembangunan ekonominya. Ia sangat peka dan pandai mempermainkan kekuatan politik yang ada untuk memuluskan rencananya.

Sayang kedua pemimpin besar bangsa Indonesia ini tidak mengakhiri kekuasaannya dengan mulus. Tetapi harus dilengserkan oleh kekuatan baru dalam masyarakat.

Apa pembelajaran yang dapat kita petik dari kedua pemimpin ini bagi kita credit union? Perlu disadari bagi seorang pemimpin yang telah lama berkuasa untuk tahu diri kapan harus turun. Sehingga ia dapat mengakhiri era kepemimpinannya dengan cara terhormat. Tetap dihormati sebagai pemimpin besar dan guru bangsa.

Nelson Mandela, Lee Kuan Yew dan Mahatir Muhammad adalah pemimpin yang patut kita teladani.

0 komentar: