Mau Jadi Macan atau Tikus?
Posted: Senin, 02 Maret 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Life
0
Waktu lulus SMU - bukannya sombong - saya kebetulan bisa masuk ke universitas negeri favorit di Yogyakarta. Saking favoritnya, banyak yang percaya bahwa kualitasnya tak kalah dengan universitas negeri di Bandung maupun Jakarta. Bahkan - entah sekadar sombong atau memang fakta - kami percaya bahwa nilai C di fakultas dan universitas saya sama dengan nilai B atau bahkan A di universitas lain. Busyet!
Terlepas dari kesombongan di atasm, faktanya memang banyak teman-teman saya yang kuliah bertahun-tahun atau malah drop-out karena nilainya kebakaran, penuh nilai 'pengulangan'. Beberapa di antara mereka - anehnya - justru sukses di tempat lain dan malah ada segelintir orang yang secara tidak terduga bisa menjadi lulusan tercepat, terbaik dan sejenisnya setelah memutuskan pindah ke universitas lain.
Saya termasuk segelintir mahasiswa yang 'tidak tahan' dan akhirnya 'melarikan diri' menghindari 'kematian dini dari kecerdasan' saya.
'Kamu lebih baik pindah', kata dosen saya ketika memberi wejangan pada saya, ketika saya divonis gagal dalam beberapa mata kuliah. 'Tak ada gunanya tetap nekat kuliah di sini jika kamu tidak mampu. Menurut saya, lebih baik kamu pindah dan menjadi macan di kandang tikus, daripada tetap kuliah di sini dan menjadi tikus di kandang macan'
Dosen saya rupanya mau mengatakan bahwa lebih baik menjadi mahasiswa berprestasi di universitas lain daripada memaksakan diri menjadi pecundang di universitas favorit. Wejangan yang dituturkan kepada semua mahasiswa yang dinilainya tidak cukup mampu mengikuti standar pendidikan di universitas tersebut. Kejam memang, tapi banyak teman-teman saya, dan tentu saya, merasakan kebenaran kata-kata keras dosen saya tadi.
Di dunia yang makin hari makin mementingkan predikat luar, memang makin sulit bagi kita melepaskan predikat mentereng. Banyak dari kita lebih mementingkan predikat wah meski kita sebenarnya tidak cukup mampu menjadi bagian darinya. Sebaliknya, hanya segelintir orang yang berani melepaskan predikat mentereng untuk mengaktualisasikan diri di tempat lain yang mungkin tidak sebagus atau sementereng tempat sebelumnya.
Maka, saya patut bersyukur, karena saya diberikan kekuatan oleh-Nya untuk mengambil keputusan untuk keluar dari belenggu 'kementerengan' sebuah predikat. Saya sadar dan mengevaluasi diri bahwa ternyata saya tidak merasa mampu dan 'pantas' menjadi bagian dari kata 'mentereng' itu.
Beberapa bulan lalu, saya juga berhenti dari sebuah pekerjaan yang menurut teman-teman saya sangat sayang untuk ditinggalkan. Saya sudah menggeluti pekerjaan itu 5 tahun lebih, dan hati saya tetap di sana. Tapi setelah saya evaluasi diri, saya harus mengambil keputusan yang cepat, bahwa saya akan jauh lebih berkembang dan menjadi 'macan' di lahan yang lain. Begitu pula saya berpikir, bahwa tempat lama saya akan menjadi lebih baik tanpa saya.
Saya tidak mau membuang dan menyia-nyiakan talenta saya, dan saya tidak silau dengan nama besar yang ada di sekitar saya ketika masih bekerja di tempat lama. Berkarya langsung untuk orang-orang di sekitar saya jauh lebih berharga dan membahagiakan daripada hanya menjadi 'pelengkap derita dan bahagia' di tempat kerja yang elite.
Boleh jadi pada saat mengambil keputusan itu ada tudingan gagal ke arah kita. Tapi, tidak apa-apa sesekali gagal asal tetap bangkit dan meraih sukses di kemudian hari. Jelas lebih baik begitu daripada tidak pernah gagal tapi juga tidak pernah sukses alias terus menerus menjadi 'manusia biasa-biasa saja'.
Sekolah favorit, perusahaan favorit atau tempat-tempat kita berkarya yang kita pandang istimewa tak akan berarti apa-apa jika kita tidak bisa mendapatkan value terbaik dari apa yang mereka tawarkan.
Ingat, ketika kita minum, yang kita butuhkan adalah air, bukan gelasnya. Setiap tempat - sekolah, perusahaan dan sebagainya - adalah tempat-tempat berkarya yang biasa saja, yang membedakan adalah cara kita mengolah yang biasa itu dengan 'tangan-tangan luar biasa' yang kita miliki.
Buktinya, banyak teman-teman saya yang gagal 'jadi orang' meski dulu dikenal sebagai bintang kelas di universitas saya. Di lain tempat, 'teman-teman seperjuangan' saya, yang dulunya mendapatkan predikat pecundang, justru ada yang menjadi 'orang'.
Sukses besar dalam hidup yang mungkin saja tidak akan pernah terjadi jika dulu mereka nekat meneruskan studinya di universitas kami.
So, mau jadi macan atau tikus, sahabat-sahabatku?
Terlepas dari kesombongan di atasm, faktanya memang banyak teman-teman saya yang kuliah bertahun-tahun atau malah drop-out karena nilainya kebakaran, penuh nilai 'pengulangan'. Beberapa di antara mereka - anehnya - justru sukses di tempat lain dan malah ada segelintir orang yang secara tidak terduga bisa menjadi lulusan tercepat, terbaik dan sejenisnya setelah memutuskan pindah ke universitas lain.
Saya termasuk segelintir mahasiswa yang 'tidak tahan' dan akhirnya 'melarikan diri' menghindari 'kematian dini dari kecerdasan' saya.
'Kamu lebih baik pindah', kata dosen saya ketika memberi wejangan pada saya, ketika saya divonis gagal dalam beberapa mata kuliah. 'Tak ada gunanya tetap nekat kuliah di sini jika kamu tidak mampu. Menurut saya, lebih baik kamu pindah dan menjadi macan di kandang tikus, daripada tetap kuliah di sini dan menjadi tikus di kandang macan'
Dosen saya rupanya mau mengatakan bahwa lebih baik menjadi mahasiswa berprestasi di universitas lain daripada memaksakan diri menjadi pecundang di universitas favorit. Wejangan yang dituturkan kepada semua mahasiswa yang dinilainya tidak cukup mampu mengikuti standar pendidikan di universitas tersebut. Kejam memang, tapi banyak teman-teman saya, dan tentu saya, merasakan kebenaran kata-kata keras dosen saya tadi.
Di dunia yang makin hari makin mementingkan predikat luar, memang makin sulit bagi kita melepaskan predikat mentereng. Banyak dari kita lebih mementingkan predikat wah meski kita sebenarnya tidak cukup mampu menjadi bagian darinya. Sebaliknya, hanya segelintir orang yang berani melepaskan predikat mentereng untuk mengaktualisasikan diri di tempat lain yang mungkin tidak sebagus atau sementereng tempat sebelumnya.
Maka, saya patut bersyukur, karena saya diberikan kekuatan oleh-Nya untuk mengambil keputusan untuk keluar dari belenggu 'kementerengan' sebuah predikat. Saya sadar dan mengevaluasi diri bahwa ternyata saya tidak merasa mampu dan 'pantas' menjadi bagian dari kata 'mentereng' itu.
Beberapa bulan lalu, saya juga berhenti dari sebuah pekerjaan yang menurut teman-teman saya sangat sayang untuk ditinggalkan. Saya sudah menggeluti pekerjaan itu 5 tahun lebih, dan hati saya tetap di sana. Tapi setelah saya evaluasi diri, saya harus mengambil keputusan yang cepat, bahwa saya akan jauh lebih berkembang dan menjadi 'macan' di lahan yang lain. Begitu pula saya berpikir, bahwa tempat lama saya akan menjadi lebih baik tanpa saya.
Saya tidak mau membuang dan menyia-nyiakan talenta saya, dan saya tidak silau dengan nama besar yang ada di sekitar saya ketika masih bekerja di tempat lama. Berkarya langsung untuk orang-orang di sekitar saya jauh lebih berharga dan membahagiakan daripada hanya menjadi 'pelengkap derita dan bahagia' di tempat kerja yang elite.
Boleh jadi pada saat mengambil keputusan itu ada tudingan gagal ke arah kita. Tapi, tidak apa-apa sesekali gagal asal tetap bangkit dan meraih sukses di kemudian hari. Jelas lebih baik begitu daripada tidak pernah gagal tapi juga tidak pernah sukses alias terus menerus menjadi 'manusia biasa-biasa saja'.
Sekolah favorit, perusahaan favorit atau tempat-tempat kita berkarya yang kita pandang istimewa tak akan berarti apa-apa jika kita tidak bisa mendapatkan value terbaik dari apa yang mereka tawarkan.
Ingat, ketika kita minum, yang kita butuhkan adalah air, bukan gelasnya. Setiap tempat - sekolah, perusahaan dan sebagainya - adalah tempat-tempat berkarya yang biasa saja, yang membedakan adalah cara kita mengolah yang biasa itu dengan 'tangan-tangan luar biasa' yang kita miliki.
Buktinya, banyak teman-teman saya yang gagal 'jadi orang' meski dulu dikenal sebagai bintang kelas di universitas saya. Di lain tempat, 'teman-teman seperjuangan' saya, yang dulunya mendapatkan predikat pecundang, justru ada yang menjadi 'orang'.
Sukses besar dalam hidup yang mungkin saja tidak akan pernah terjadi jika dulu mereka nekat meneruskan studinya di universitas kami.
So, mau jadi macan atau tikus, sahabat-sahabatku?