Jangan Pernah Memberi Maaf Tanpa Menyertakan 'Hukuman'!
Posted: Senin, 02 Maret 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Life
0
Jahat! Kejam! Sadis!
Sepintas, begitulah makna judul di atas. Sejak kapan kata maaf - tindakan mulia yang dianjurkan oleh semua agama - harus diikuti kata hukuman? Bukankah kita - manusia - justru diminta memberi maaf sebesar-besarnya tanpa syarat? Bukankah kita diminta dengan tulus memaafkan kesalahan orang lain tanpa tuntutan apapun?
Beberapa waktu lalu, sebuah berita di Harian Kompas mungkin bisa menjelaskan maksud judul di atas. Berita itu menulis bahwa Nurul Falah, warga Jalan Tamba Raya Kelurahan Jati, Pulo Gadung, Jakarta Timur, memaafkan kealpaan Slamet Efendi, pembantu rumah tangganya yang mencoba merampok rumah sang majikan sehari sebelumnya.
Slamet - sudah bekerja selama 4 tahun - mengaku khilaf saat menyekap temannya sendiri yang sama-sama bekerja di rumah itu untuk mengambil televisi 29 inchi dan radio tape. Jauh dari kelaziman, Nurul sang majikan tidak marah.
'Saya memaafkan Slamet. Menurut saya ia khilaf. Ia sebenarnya bekerja dengan baik dan jujur selama ini', kata Nurul seperti dikutip Kompas tentang kelakuan Slamet yang mengaku terpaksa merampok karena berjanji pada neneknya untuk memperbaiki rumah di Lumajang.
Nurul boleh-boleh saja memberi maaf pada pembantunya yang digaji cukup layak itu (Slamet digaji Rp 800.000,00 per bulan dan tiap 6 sekali diberi Rp 1.500.000,00). Namun Slamet tak serta merta lepas dari hukuman. Karena melakukan kasus kriminal, aparat tetap memprosesnya karena sudah berencana melakukan tindak kejahatan. Hati mulia Nurul tak bisa menghapuskan pasal-pasal KUHP yang diarahkan pada Slamet.
Saya juga teringat berita di harian yang sama beberapa tahun lalu yang menceritakan keluarga korban pembunuhan memaafkan pelaku pembunuhan. Namun sang pelaku tetap diganjar hukuman berat atas kejahatannya itu.
Dalam banyak hal - tak melulu yang menyangkut kasus kriminal - sebuah kesalahan yang sudah dimaafkan tetap butuh hukuman. Bukan karena hati sang pemberi maaf tak tulus, namun justru kerap kali hukuman amat sangat dibutuhkan untuk membuat sang pelaku jera.
Kadang, kita - manusia - gampang mengulangi kesalahan yang sama jika tidak ada faktor pengingat. Hukuman adalah faktor yang sangat efektif untuk mengingatkan kita bahwa hal tersebut salah dan betapa mulianya orang yang telah memberi maaf pada kita.
Bahkan ketulusan hati sang pemberi maaf - yang diikuti hukuman untuk membuat jera sang pelaku - pun kadang tak cukup ampuh.
Sahabat sekalian tentu masih sangat ingat dengan nama Diego Armando Maradona. Sang maestro sepakbola abad ini yang bisa kita jadikan contoh dalam hal ini. Pada 1991, tepatnya Maret, pemain jenius yang sulit dicari tandingannya itu kedapatan memakai doping dan dihukum larangan bertanding selama 15 bulan ketika masih menjadi bintang Napoli. Bukannya jera, bulan Juli 1994 - di pentas Piala Dunia 1994 di AS - sekali lagi dia kedapatan mengkonsumsi zat terlarang ephedrine.
Sang superstar akhirnya memutuskan mundur dari hingar bingar sepakbola. Bukan karena dia malu berkali-kali mendapat hujatan publik, namun lebih karena tidak ada lagi yang mau memakainya. Hukuman demi hukuman sepertinya tak pernag membuatnya jera. Januari 2000, pemain yang mencetak 'gol tangan Tuhan' ke gawang Inggris di Piala Dunia 1990 ini menjalani rehabilitasi ketergantungan obat di Kuba.
Lantas adakah hukuman yang efektif untuk mendidik orang lain? Hidup kadang mengajarkan betapa kesalagan adalah sesuatu yang tak termaafkan. Satu kesalahan kecil bisa diganjar hukuman yang amat sangat pahit.
Begitu juga kita di credit union. Kesalahan sekecil apapun 'seharusnya' menjadi cerita tak termaafkan, korupsi misalnya. Ketika kita gagal menghadirkan prestasi yang maksimal, ketika pelayanan kita tidak excellent, adalah wajar jika anggota menghukum kita dengan meninggalkan kita dan berpaling ke lembaga keuangan lainnya.
Namun banyak cerita kehidupan tentang kesalahan yang berujung hukuman pahit tetapi belakangan menghasilkan prestasi gemilang.
Sahabat sekalian tentu mengenal David Beckham. Dia tahu benar bagaimana sakitnya dihujat seluruh negeri. Sejak dilekati predikat public enemy #1 selepas Piala Dunia 1998, dia harus bermain di bawah hujan hujatan. Namun eks kapten Manchester United dan Inggris ini menerima hukuman atas kegagalannya itu dengan dewasa. Kini dia masih menjadi orang yang sangat berwibawa, dewasa, dan tentu saja tetap sarat talenta.
Boleh jadi Beckham tidak akan menjadi sedewasa sekarang jika sepuluh tahun lalu publik Inggris langsung memaafkannya tanpa memberi sanksi apapun.
Lihat, hukuman - dalam aneka bentuk - bisa membuat seseorang menjadi dewasa. Karena - kadang - memaafkan justru bisa membuat seseorang menjadi manja dan berpikir bahwa keselahannya bakal dimaafkan. Hukuman kadang jauh lebih efektif, meski di dalam hati kita tetap membuka pintu maaf selebar-lebarnya buat orang lain.
Saya banyak mendapati beberapa credit union di sekitar kita mudah memberikan maaf terhadap setiap kesalahan - kecil hingga besar - kepada orang-orang di dalamnya. Mulai dari kesalahan input data, kesalahan pelayanan, kesalahan yang menyebabkan kelalaian pinjaman, hingga mungkin penggelapan. Efek jera sebagai hukuman harus tetap ada, meski secara personal kita membuka pintu maaf.
Saya kagoum pada mereka yang mempunyai persediaan maaf berlimpah dalam hidupnya. Sayang, kadang kala orang yang dimaafkan justru tidak tahu diri dan terus mengulangi kesalahannya di lain waktu.
Mungkin baik jika sekali waktu kita seperti tidak memaafkan kesalahan orang - meski hati kita memaafkan - untuk memberi pelajaran bagi mereka.