Marketing and The City

Posted: Selasa, 10 Maret 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Sudah pernah nonton Sex and the City: The Movie? Saya memang baru saja bisa menontonnya beberapa hari lalu. Padahal, waktu seriesnya dulu, saya tidak pernah nonton sekalipun. Tapi, kan series soap opera itu memang menghebohkan. Terutama, kaum perempuan kita yang young adult, yang terpana akan gemerlap New York alias Manhattan. Saya masih ingat, bagaimana waktu itu, tiap minuman yang diminum di series tersebut mendadak juga dicari orang di Indonesia. Begitu juga Museum Guggenheim yang memang keren di Manhattan jadi buah bibir di sini. Pokoknya ngetren abis dech ...

Padahal, ceritanya cuma muter-muter empat karakter. Yaitu, Carrie, Miranda, Charlotte, dan Samantha. Masing-masing karakter punya keunikan. Mereka adalah lajang umur tiga puluhan yang ogah nikah. Tapi, mereka justru sibuk berpetualang dengan cinta dan seks di kota metropolitan dunia tersebut. Begitu gencarnya hiruk-pikuk dibicarakan orang dan media massa, akhirnya saya tertarik untuk mengetahui lebih jauh.

Di marketing, itulah yang disebut kekuatan word of mouth yang bersifat horizontal. Sehingga, ketika versi layar lebarnya dibuat, Sex and the City gampang sekali meledak. Orang sudah mengenal judulnya, sudah kenal karakternta, dan sudah tahu bahwa film itu akan keren abis.

Saya jadi makin tertarik untuk nonton ketika salah satu teman saya di facebook menulis di status update-nya: Wow ... I like Sex and the City so much ... the shoes, the bags, the dress...



Tentu saja, yang nulis wanita. Yang lebih banyak dikomentari cewek ini adalah tas Louis Vuitton dan sepatu Manolo Blahnik yang dipakai Carrie. Sebagai pemain utama, Sarah Jessica Parker yang memainkan Carrie memang jadi mencuat setelah main series tersebut. Konon kabarnya, judul dan ide ceritanya juga berasal dari dia.

Brilian, karena dia bisa benar-benar menangkap apa yang saya sebut sebagai anxiety and desire dari penonton, khususnya wanita. Sebagai wanita, dia tahu apa 'kecemasan dan impian' wanita lain. Kecemasan wanita ketika sudah cukup umur, tapi tetap tidak menikah resmi. Walaupun New York City sering digambarkan sebagai kota liar, ternyata, cewek tetap cewek. Buat mereka, dilamar seorang laki-laki adalah big day. Living together, bagaimanapun, bukan jawaban yang diharapkan. Impian tetap berumah tangga dan punya anak-anak.

Di movie itu juga digambarkan apik bagaimana ketidakmengertian pria terhadap hal-hal yang sebenarnya selalu diimpikan wanita pada hari perkawinannya. Ingin pakai pakaian seindah mungkin dan disaksikan oleh sebanyak mungkin teman-temannya. 'Kepingin' terlihat cantik selama hidupnya dan sebagainya. Kekurangpekaan pria terhadap hal-hal tersebut menimbulkan kesalahmengertian yang sering akhirnya berakibat fatal.

Bukankah Mars dan Venus memang saling tidak mengerti?
Begitu juga di marketing, di dalam persaingan yang main ketat, kita tidak boleh hanya mengetahui need and want customer saja. Sudah umum! Kompetitor Anda juga tahu!

Need orang tentunya punya pakaian untuk menutupi tubuhnya. Sedangkan want-nya bisa pakaian yang berbentuk rok, bukan jins. Need bisa sama, want bisa beda. Lebih lanjut, ada yang dinamai expectation. Rok yang diharapkan, misalnya, harus yang modern karena si pemakai ingin dipersepsikan sebagai wanita yang tidak tradisional dan fashionable. Hingga di sini, baik need and want ataupun expectation bisa digali lewat survei tradional. Baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Karena itu, marketer berlomba-lomba menyurvei supaya bisa men-develope produk, tepat dengan yang diminta. Tapi, kalau persaingan sudah semakin ketat dan semua sudah tahu akan hal itu, susahlah kita.

Nah, di situlah keluar yang namanya 'kecemasan dan impian' tadi. Banyak wanita tidak berani mengakui bahwa mereka cemas dianggap 'perawan tua'. Tapi, kalau ditanya tidak akan ada yang mengaku terang-terangan. Biasanya, jawabannya, mereka memang ingin independen dalam mencari karir atau tidak punya waktu untuk mikirin itu. Sebaliknya, juga jarang wanita kita berani mengatakan bahwa mereka bukan cuma ingin disebut cantik, tapi juga seksi. Sarah Jessica Parker tahu akan hal itu.

Karena itu, filmnya mengungkapkan hal-hal tersebut. Pakaian-pakaiannya bukan cuma modern, tapi juga seksi. Inilah impian sebagian besar wanita yang tidak berani diomongkan dan dilakukan.

Tapi, itulah contoh konkret bagaimana kalau kita ingin menggali market opportunities. Survei tradisional saat ini sudah tidak bisa diandalkan. Harus pakai cara-cara kontemporer. Di antaranya, yang sedang populer pada saat ini adalah ethnographic research. Lewat metode observasi, konversasi, diary, video taping, dan sebagainya diharapkan apa yang tidak 'tertangkap' pakai cara tradisional bisa terungkap. Kalau tidak begitu, biasanya produk kita ya sama saja dengan yang dibuat kompetitor.

Bagaimana pendapat Anda?

0 komentar: