Belajar dari Trowulan
Posted: Selasa, 10 Maret 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Life
0
Masih ingatkah Anda perasaan yang muncul, saat membaca berita rusaknya situs Trowulan akibat pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM)? Mengapa ada rasa trenyuh, sakit, dan pedih?
Mungkinkah membangkitkan kejayaan masa lalu dengan merusak jejak kejayaan itu sendiri? Majapahit bukan sekadar cerita masa lalu. Kepadanya Indonesia bercermin. Meski wilayah Nusantara di masa Gajah Mada jauh lebih luas daripada wilayah negara kita sekarang, gagasan persatuan dan kesatuan itu tak pelak menjadi batu penjuru kita sebagai bangsa. Jadi, kalau setiap tahun 6.2 ha lahan situs yang demikian berharga dibiarkan terkorbankan oleh kepentingan 'hari ini', barangkali kita mesti berpikir ulang: apakah kita masih pantas menyebut diri sebagai bangsa, kalau tidak kunjung punya cukup kemauan untuk menjaga aset-aset berharga yang membuat kita berdiri tegak sebagai bangsa. 'Selamatkan Harta Karun Majapahit' mengingatkan kita akan hal itu.
Kita kadang kala begitu mudah mengesampingkan 'aset-aset' berharga yang ada dalam diri kita. Kadang kita tidak mendengarkan apa yang menjadi 'kebutuhan' diri kita. Kita cenderung mendengarkan apa yang menjadi keinginan kita. Ingat, Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan, tapi apa yang kita butuhkan.
Kita begitu mudah meninggalkan talenta kita untuk mengerjakan sesuatu yang sebenarnya tidak mampu untuk kita kerjakan. Kita begitu mudah untuk memberikan penundaan akan sesuatu yang lebih berharga, dan dibayar dengan mengerjakan hal-hal yang menghabiskan pertumbuhan hidup kita.
Kita meminta kebijaksanaan (yang tentunya datang dengan berbagai macam proses), maka Tuhan memberikan kita begitu banyak masalah untuk kita bisa menyelesaikannya.
Kita meminta keberanian, maka Tuhan memberikan begitu banyak tantangan untuk kita bisa selesaikan menjadi sebuah peluang.
Kita meminta cinta, maka Tuhan memberikan begitu banyak saudara di sekitar kita yang perlu kita perhatikan.
Perlu bagi kita untuk terus mengembangkan talenta diri, untuk semakin mengenal apa yang ada dan kita butuhkan. Kadang kita justru lebih mengenal orang lain dibanding diri kita sendiri, karena kita jarang berkomunikasi dengan diri kita sendiri. Kita diberikan oleh-Nya aset yang begitu banyak dan berharga, ada kesehatan, kemampuan dan talenta, orang-orang di sekitar kita yang begitu menyayangi kita, waktu 24 jam sehari, dan begitu banyak lagi.
Ini yang perlu kita kembangkan. Habiskan waktu kita untuk mengerjakan hal-hal yang membuat kita bertumbuh, dan sibuklah dengan hal itu.
Dalam karya kita di credit union, kadang kita harus berhadapan dengan kepentingan kekinian dan kepentingan masa depan. Investasi dan cost. Tapi itulah hidup, dan kita bisa belajar dari Trowulan.
Hidup itu justru yang terjadi pada kita di saat kita sedang sibuk menyusun rencana lain dalam hidup kita. Bukankah hidup pada hakekatnya terus mengalir? Sembari mengalir, bolehlah kita berharap, semakin cerdas mengukur diri, semakin piawai mengatasi masalah, semakin bijak mengekspresikan emosi, semakin rendah hati dalam bersikap, namun semakin besar dalam jiwa ...
Mungkinkah membangkitkan kejayaan masa lalu dengan merusak jejak kejayaan itu sendiri? Majapahit bukan sekadar cerita masa lalu. Kepadanya Indonesia bercermin. Meski wilayah Nusantara di masa Gajah Mada jauh lebih luas daripada wilayah negara kita sekarang, gagasan persatuan dan kesatuan itu tak pelak menjadi batu penjuru kita sebagai bangsa. Jadi, kalau setiap tahun 6.2 ha lahan situs yang demikian berharga dibiarkan terkorbankan oleh kepentingan 'hari ini', barangkali kita mesti berpikir ulang: apakah kita masih pantas menyebut diri sebagai bangsa, kalau tidak kunjung punya cukup kemauan untuk menjaga aset-aset berharga yang membuat kita berdiri tegak sebagai bangsa. 'Selamatkan Harta Karun Majapahit' mengingatkan kita akan hal itu.
Kita kadang kala begitu mudah mengesampingkan 'aset-aset' berharga yang ada dalam diri kita. Kadang kita tidak mendengarkan apa yang menjadi 'kebutuhan' diri kita. Kita cenderung mendengarkan apa yang menjadi keinginan kita. Ingat, Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan, tapi apa yang kita butuhkan.
Kita begitu mudah meninggalkan talenta kita untuk mengerjakan sesuatu yang sebenarnya tidak mampu untuk kita kerjakan. Kita begitu mudah untuk memberikan penundaan akan sesuatu yang lebih berharga, dan dibayar dengan mengerjakan hal-hal yang menghabiskan pertumbuhan hidup kita.
Kita meminta kebijaksanaan (yang tentunya datang dengan berbagai macam proses), maka Tuhan memberikan kita begitu banyak masalah untuk kita bisa menyelesaikannya.
Kita meminta keberanian, maka Tuhan memberikan begitu banyak tantangan untuk kita bisa selesaikan menjadi sebuah peluang.
Kita meminta cinta, maka Tuhan memberikan begitu banyak saudara di sekitar kita yang perlu kita perhatikan.
Perlu bagi kita untuk terus mengembangkan talenta diri, untuk semakin mengenal apa yang ada dan kita butuhkan. Kadang kita justru lebih mengenal orang lain dibanding diri kita sendiri, karena kita jarang berkomunikasi dengan diri kita sendiri. Kita diberikan oleh-Nya aset yang begitu banyak dan berharga, ada kesehatan, kemampuan dan talenta, orang-orang di sekitar kita yang begitu menyayangi kita, waktu 24 jam sehari, dan begitu banyak lagi.
Ini yang perlu kita kembangkan. Habiskan waktu kita untuk mengerjakan hal-hal yang membuat kita bertumbuh, dan sibuklah dengan hal itu.
Dalam karya kita di credit union, kadang kita harus berhadapan dengan kepentingan kekinian dan kepentingan masa depan. Investasi dan cost. Tapi itulah hidup, dan kita bisa belajar dari Trowulan.
Hidup itu justru yang terjadi pada kita di saat kita sedang sibuk menyusun rencana lain dalam hidup kita. Bukankah hidup pada hakekatnya terus mengalir? Sembari mengalir, bolehlah kita berharap, semakin cerdas mengukur diri, semakin piawai mengatasi masalah, semakin bijak mengekspresikan emosi, semakin rendah hati dalam bersikap, namun semakin besar dalam jiwa ...