Cinta Itu (Tidak) Buta

Posted: Senin, 02 Maret 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Saya tidak bisa menyembunyikan kekaguman saya kepada sepakterjang Faisal Basri. Ekonom muda yang dikenal cerdas mengulas bidang yang dikuasainya dengan niat meluruskan hal-hal bengkok. Vokal. Kritis. Berkali-kali dia memunculkan analisis brilian untuk mengkritik kebijakan-kebijakan yang melenceng. Begitulah sang ekonom asal Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) ini dikenal publik. Dan bagi saya, saya kembali bertambah kagum ketika hampir setiap tahun dia membantu Markplus, Inc untuk memberikan analisis di bidang yang digelutinya.

Beberapa tahun lalu, bahkan dia tak segan mengungkapkan fakta tak menyenangkan soal almamaternya, FEUI. Seperti ramai diberitakan media, dia mengaku 'terluka' saat mengetahui kampus tercintanya itu mendapat order untuk melakukan penelitian dari BPPN, lembaga penyehatan perbangkan nasional. Karena, FEUI mendapatkan proyek bernilai miliaran rupiah itu tanpa tender. Ketidaklaziman yang sangat mungkin memunculkan dugaan institusi pendidikan sudah dikooptasi oleh kepentingan pemerintah.

Faisal Basri mungkin tidak bermaksud memberi kuliah dengan pernyataan itu, selain ingin meluruskan kesalahan di halaman rumahnya sendiri. Toh tanpa sadar dia memberi pelajaran bagaimana cara mencintai dengan benar. Mencintai seseorang - atau sesuatu - tak berarti harus kehilangan sikap kritis. Dia tanpa sengaja memberikan contoh bahwa justru kitalah yang harus menjadi orang pertama yang berani mengkritik orang - atau sesuatu - yang kita cintai.



Diakui atau tidak, kadang rasa cinta membuat kita lupa bersikap kritis. Kita seakan menutup mata terhadap kesalahan orang-orang yang kita cintai. Lebih jauh lagi, untuk sekadar menerima fakta buruk tentang mereka pun kita tak siap. Merekalah yang terbaik, terbenar, dan bahkan tersempurna.

Harusnya, kecintaan kita pada seseorang atau sesuatu tak perlu menjadi buta. Tak ada gunanya bereaksi berlebihan jika ada berita miring soal 'idola' kita. Tak ada gading yang tak retak. Tak ada satupun di dunia ini yang sempurna dan tanpa cacat. Pasti ada buruk, bopeng, atau sekadar coreng jelaga.

Saya mengibaratkan setiap hal yang kita cintai layaknya sekeping mata uang logam dengan dua sisi. Citra baik 'idola' di mata kita berdampingan dengan sisi kelam yang sarat isu, kontroversi, dan berita tak sedap lainnya. Dua sisi berbeda yang membuat keping mata uang logam bernama 'idola yang tercinta' itu memiliki nilai-nilai yang justru sebenarnya sedang kita cintai.

Saya membaca ulang artikel Faisal Basri sebelum memposting tulisan ini. Saya mencari kekuatan dalam bahasa ilmiah sang ekonom muda - yang beberapa kali sempat saya ajak diskusi dalam acara Markplus Forum - itu untuk mempraktekkan cinta yang tidak buta. Meyakini bahwa kita pun mampu mencintai dua sisi manusia atau sesuatu yang kita cintai, bukan hanya satu sisi.

0 komentar: