Bangunlah Monumen Setinggi Mungkin
Posted: Senin, 02 Maret 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Life
0
Sahabat sekalian pernah gagal?
Pasti pernah. Meski saya percaya sahabat sekalian pasti selalu bisa keluar dari masa-masa sulit itu, toh tidak ada salahnya saya berbagi cerita berikut ini. Sharing pengalaman di saat saya sedang jatuh, down, tertekan atau bingung.
Di SMU, saya pernah ikut ekskul Kempo. Kalau jago berkelahi'kan bisa 'mbelain' cewek kojika digodain. Itu pikiran saya. Tapi itu hanya harapan. Bagaimana mungkin menguasai jurus-jurus bela diri jika saya tidak serius latihan? Bagaimana bisa 'mbelain' cewek jika saya sudah takut duluan mendengar 'cerita pemukulan' di saat ujian kenaikan tingkat?
Maka betapa terkejutnya saya ketika suatu hari, tiga sahabat kental saya menawari saya masuk panitia kejuaran Kempo se-Jawa Tengah. 'Gampang, paling cuma urus ini-itu, masak nggak bisa?', begitu pekik saya dalam hati. Ternyata ... alamak ... stres !! Karena baru pertama kali mengurus kejuaran, semua tahap menemui masalah.
Belum lagi persoalan pribadi masing-masing yang juga menguras energi luar biasa besar. Ada yang terpaksa menipu orang tuanya karena tak boleh keluar malam, ada yang bingung menjaga kondisi karena harus berlatih pun begadang, ada yang terancam tidak naik kelas, ada yang sangat ngotot hanya karena tak ingin dipermalukan teman-teman sekolah.
Singkat cerita, sukses. Peserta membludak, acara lancar, pujian datang mengalir dari segala penjuru arah angin. Karena kaget bisa sukses - dengan ribuan kendala dalam masa persiapan - kami berempat hanya bisa terdiam dan saling tatap dalam bisa saat menggelar rapat evaluasi seusai acara. Malam itu - di ruang sekretariat yang sempit - mata kami yang kelelahan hanya bisa memancarkan pesan singkat. We do it!
Nah, tiga kata dalam bahasa Inggris itulah yang sampai hari ini masih saya pakai sebagai obat stres. Peristiwa kecil bertahun-tahun lalu itu kini selalu saya kenang jika sedang merasa gagal, tak berguna, kecewa, atau kalah. 'Saya pernah melewati rintangan sesulit itu, kenapa sekarang tidak bisa?', begitu gumam saya dalam hati.
Biasanya, langsung berkelabatan segala derita yang kami alami dulu, yang berujung pada malam terakhir yang sepi tapi penuh makna itu. Biasanya saya dengan cepat bangun dan akan berteriak keras untuk diri sendiri, 'Wake up! I can through this!'
Tanpa sadar saya sudah punya obat mujarab pengobat stres: mencari motivasi, semangat, pun kekuatan untuk bangkit. Sebuah monumen yang sangat berarti.
Ya, setiap orang memang butuh monumen dalam hidupnya masing-masing untuk tidak saja bisa survive tapi juga grow. Ya, bertumbuh. Bahkan sebuah sekumpulan pemain sepakbola hebat yang tergabung dalam sebuat tim juara pun butuh monumen untuk bangkit dari keterpurukan. Sebuah momen, titik balik untuk keluar dari tekanan yang seperti tak kunjung mau pergi.
Saat ini, jika berbicara sepakbola, kita tidak bisa lepas dari nama Manchester United. Klub yang bertabur bintang muda ini, begitu perkasa dan mampu merajai setiap kompetisi yang mereka ikuti. Tapi adakah yang tahu, bagaiman Sir Alex Ferguson membangun fondasi tim ini lebih dari dua dasawarsa. Kita hanya bisa mengatakan mereka hebat, namun begitu banyak masalah dan hambatan yang membuat mereka bisa menjadi 'mapan' seperti sekarang ini.
Di tempat lain, begitu banyak credit union harus bersusah payah memulai atau bangkit dari keterpukuran karena berbagai macam permasalahan. Tapi, lihat begitu banyak dari kita yang bisa bangkit dan menjadi barometer ekonomi kerakyatan di tengah krisis yang menghantam seperti sekarang.
Jika kita kehilangan momentum, bisa dipastikan kita akan terus tersendat-sendat. Tanpa sebuah monumen yang menyuntikkan semangat bertarung yang menggebu, hampir mustahil buat kita - sehebat dan sekuat apapun - memenangi persaingan dan perjuangan hidup untuk mencapai kata 'sukses'.
Memang, momentum itu biasanya datang mengikuti sebuah siklus kehidupan. Dalam olah raga misalnya, dikenal sebuah siklus kalah dan menang. Artinya, mustahil sebuah tim menang terus tanpa kalah. Cepat atau lambat sebuah tim pasti harus kalah. Begitu sebaliknya. Sebuah tim tidak mungkin kalah terus. Namun, perbedaan antara juara dan mereka yang biasa-biasa saja adalah seberapa baik kita mampu menjaga momentum itu sampai ujung perjalanan sebuah perjuangan.
Nah, perbedaan itu menyangkut seberapa pintar seseorang menemukan blessing in disguise, sebuah berkah di antara sesaknya derita. Bisa dari peristiwa yang sudah lalu, bisa juga dari peristiwa yang baru terjadi.
Gagal keluar dari krisis (kegagalan) adalah sebab utama keruntuhan. Kita harus terus bekerja keras untuk menemukan momentum kebangkitan kita, sebuah monumen yang bisa menjadi perekat untuk melalui krisis.
Mungkin ada yang bertanya: apa tidak berlebihan menjadikan contoh di atas sebagai awal tulisan ini? Jawabannya sederhana: pengalaman saya memang sangat sederhana, namun bisa menjadi referensi perjuangan hidup sahabat sekalian. Dan bagi saya, menemukan momentum untuk bangkit, dan menjadikannya monumen itu adalah sebuah obat mujarab bagi kegagalan kita. Mudah dan murah.
Hidup ini pilihan, pilihan bagi kita untuk 'berjuang' atau bertahan dengan yang ada.
Pasti pernah. Meski saya percaya sahabat sekalian pasti selalu bisa keluar dari masa-masa sulit itu, toh tidak ada salahnya saya berbagi cerita berikut ini. Sharing pengalaman di saat saya sedang jatuh, down, tertekan atau bingung.
Di SMU, saya pernah ikut ekskul Kempo. Kalau jago berkelahi'kan bisa 'mbelain' cewek kojika digodain. Itu pikiran saya. Tapi itu hanya harapan. Bagaimana mungkin menguasai jurus-jurus bela diri jika saya tidak serius latihan? Bagaimana bisa 'mbelain' cewek jika saya sudah takut duluan mendengar 'cerita pemukulan' di saat ujian kenaikan tingkat?
Maka betapa terkejutnya saya ketika suatu hari, tiga sahabat kental saya menawari saya masuk panitia kejuaran Kempo se-Jawa Tengah. 'Gampang, paling cuma urus ini-itu, masak nggak bisa?', begitu pekik saya dalam hati. Ternyata ... alamak ... stres !! Karena baru pertama kali mengurus kejuaran, semua tahap menemui masalah.
Belum lagi persoalan pribadi masing-masing yang juga menguras energi luar biasa besar. Ada yang terpaksa menipu orang tuanya karena tak boleh keluar malam, ada yang bingung menjaga kondisi karena harus berlatih pun begadang, ada yang terancam tidak naik kelas, ada yang sangat ngotot hanya karena tak ingin dipermalukan teman-teman sekolah.
Singkat cerita, sukses. Peserta membludak, acara lancar, pujian datang mengalir dari segala penjuru arah angin. Karena kaget bisa sukses - dengan ribuan kendala dalam masa persiapan - kami berempat hanya bisa terdiam dan saling tatap dalam bisa saat menggelar rapat evaluasi seusai acara. Malam itu - di ruang sekretariat yang sempit - mata kami yang kelelahan hanya bisa memancarkan pesan singkat. We do it!
Nah, tiga kata dalam bahasa Inggris itulah yang sampai hari ini masih saya pakai sebagai obat stres. Peristiwa kecil bertahun-tahun lalu itu kini selalu saya kenang jika sedang merasa gagal, tak berguna, kecewa, atau kalah. 'Saya pernah melewati rintangan sesulit itu, kenapa sekarang tidak bisa?', begitu gumam saya dalam hati.
Biasanya, langsung berkelabatan segala derita yang kami alami dulu, yang berujung pada malam terakhir yang sepi tapi penuh makna itu. Biasanya saya dengan cepat bangun dan akan berteriak keras untuk diri sendiri, 'Wake up! I can through this!'
Tanpa sadar saya sudah punya obat mujarab pengobat stres: mencari motivasi, semangat, pun kekuatan untuk bangkit. Sebuah monumen yang sangat berarti.
Ya, setiap orang memang butuh monumen dalam hidupnya masing-masing untuk tidak saja bisa survive tapi juga grow. Ya, bertumbuh. Bahkan sebuah sekumpulan pemain sepakbola hebat yang tergabung dalam sebuat tim juara pun butuh monumen untuk bangkit dari keterpurukan. Sebuah momen, titik balik untuk keluar dari tekanan yang seperti tak kunjung mau pergi.
Saat ini, jika berbicara sepakbola, kita tidak bisa lepas dari nama Manchester United. Klub yang bertabur bintang muda ini, begitu perkasa dan mampu merajai setiap kompetisi yang mereka ikuti. Tapi adakah yang tahu, bagaiman Sir Alex Ferguson membangun fondasi tim ini lebih dari dua dasawarsa. Kita hanya bisa mengatakan mereka hebat, namun begitu banyak masalah dan hambatan yang membuat mereka bisa menjadi 'mapan' seperti sekarang ini.
Di tempat lain, begitu banyak credit union harus bersusah payah memulai atau bangkit dari keterpukuran karena berbagai macam permasalahan. Tapi, lihat begitu banyak dari kita yang bisa bangkit dan menjadi barometer ekonomi kerakyatan di tengah krisis yang menghantam seperti sekarang.
Jika kita kehilangan momentum, bisa dipastikan kita akan terus tersendat-sendat. Tanpa sebuah monumen yang menyuntikkan semangat bertarung yang menggebu, hampir mustahil buat kita - sehebat dan sekuat apapun - memenangi persaingan dan perjuangan hidup untuk mencapai kata 'sukses'.
Memang, momentum itu biasanya datang mengikuti sebuah siklus kehidupan. Dalam olah raga misalnya, dikenal sebuah siklus kalah dan menang. Artinya, mustahil sebuah tim menang terus tanpa kalah. Cepat atau lambat sebuah tim pasti harus kalah. Begitu sebaliknya. Sebuah tim tidak mungkin kalah terus. Namun, perbedaan antara juara dan mereka yang biasa-biasa saja adalah seberapa baik kita mampu menjaga momentum itu sampai ujung perjalanan sebuah perjuangan.
Nah, perbedaan itu menyangkut seberapa pintar seseorang menemukan blessing in disguise, sebuah berkah di antara sesaknya derita. Bisa dari peristiwa yang sudah lalu, bisa juga dari peristiwa yang baru terjadi.
Gagal keluar dari krisis (kegagalan) adalah sebab utama keruntuhan. Kita harus terus bekerja keras untuk menemukan momentum kebangkitan kita, sebuah monumen yang bisa menjadi perekat untuk melalui krisis.
Mungkin ada yang bertanya: apa tidak berlebihan menjadikan contoh di atas sebagai awal tulisan ini? Jawabannya sederhana: pengalaman saya memang sangat sederhana, namun bisa menjadi referensi perjuangan hidup sahabat sekalian. Dan bagi saya, menemukan momentum untuk bangkit, dan menjadikannya monumen itu adalah sebuah obat mujarab bagi kegagalan kita. Mudah dan murah.
Hidup ini pilihan, pilihan bagi kita untuk 'berjuang' atau bertahan dengan yang ada.