Blackberry Cheese

Posted: Kamis, 05 Maret 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Masih ingat pager, sebuah benda sedikit lebih besar dari kotak korek api yang bisa menerima pesan apapun, dimanapun, tanpa membutuhkan sinyal asalkan lewat operator? Lebih dari 10 tahun yang lalu, alat ini begitu berjaya hingga nempel di setiap pinggang pekerja-pekerja di Indonesia. Saat itu, pager begitu prestisius karena menunjukkan bahwa pemakainya memiliki tingkat urgensi yang tinggi terhadap informasi.

Hingga kemudian tingkat eksklusivitasnya berkurang ketika pemakainya sudah begitu banyak, menerabas banyak tingkat sosial ekonomi, dan menjadi habis saat handphone muncul dengan kemampuan melakukan SMS. Hanya dibatasi oleh sinyal (saat itu, sinyal masih sebuah barang langka sehingga untuk menelepon terkadang kita harus membuka jendela mobil), handphone mampu mengirim pesan tanpa melalui perantara, tanpa harus menelepon terlebih dahulu.

Dari sekian merek pager, ada satu merek yang berusaha eksis. Merektersebut berusaha menghilangkan operator sehingga pemiliknya bisa langsung mengirim dan menerima pesan tanpa bayar. Merek itu sekarang menjadi benda prestisius kalangan profesional di Indonesia, namanya Blackberry (BB). Fungsi utama pager justru menjadi kelebihan utama BB, yaitu Blackberry Messenger.

Maka, meningkatlah permintaan BB, komunitas pun terbentuk, harga melesat sedemikian ketat. Sekadar perbandingan, di Australia harga BB Bold sekitar Rp 5,6 juta, di Indonesia harga Rp 8,5 juta pun masih antre pembeli.



Commitment Community
Menariknya, Blackberry sendiri praktis tidak melakukan apapun untuk membangun mereknya menjadi sedemikian kuat, kecuali rasa heran tidak berkesudahan karena pembelian yang terus meningkat. Selain operator seluler, yang mempromosikannya adalah komunitas BB itu sendiri, yang punya komitmen kuat terhadap BB. Komitmen yang bukan sekadar menggunakan perangkat BB, tapi juga dengan rela hati mendorong orang lain untuk menjadi bagian dari komunitas mereka.

Bukan itu saja, BB juga menjadi community identity, dimana sebuah komunitas 'mensyaratkan' BB sebagai salah satu identitasnya. Sesekali, bersepeda barenglah dengan komunitas sepeda lipat (seli). Seragam kebersamaan mereka adalah BB dan sandal Crocs.

Maka, setelah Body Shop dan Harley-Davidson, BB adalah merek ketiga yang menerobos pasar kelas atas Indonesia dengan semangat komunitas. Ya, SEMANGAT KOMUNITAS. Komunitas BB (ataupun Body Shop dan HD), bukan sekadar komunitas merek yang berkumpul karena kesamaan akan kebutuhan terhadap fungsi produk, tetapi komunitas yang memasukkan merek sebagai value mereka sendiri.

Beberapa merek, sebetulnya telah mencoba menggali strategi yang sama - tentu saja - dengan harapan mendapatkan komunitas yang memiliki semangat berapi-api. Dan, beberapa kali pula, merek-merek tersebut harus menelan pil pahit karena komunitsa tersebut hanya hidup pada saat diundang prinsipal merek. Selebihnya, mereka hanya berkumpul pada acara-acara seremonial yang tidak membawa dampak apapun. Coba bandingkan dengan komunitas BB yang setiap detik selalu digunakan untuk mempromosikan BB mereka pada orang-orang terdekat mereka.

Dalam beberapa kesempatan, saya sering menyatakan bahwa kuncinya adalah integrated value antara merek dan komunitas. Tapi, selalu saja kandas di tengah jalan ketika hal tersebut diterapkan di lapangan.

Pertanyaan pun berulang, bagaimana sebetulnya kunci untuk mengintegrasikan value merek dengan komunitas, hingga menjadi sinergi berkesinambungan?

Integrasi Kebutuhan Primitif
Jawaban saya untuk tersebut di atas, biasanya juga sama, bahwa kuncinya adalah menggali kebutuhan primitif komunitas yang sesuai dengan value merek. Artinya, ada dua pekerjaan besar yang mendasar. Pertama adalah menggali kebutuhan primitif komunitas, dan menjadikan kebutuhan tersebut ke dalam elemen-elemen nilai merek.

Nah, pada penggalian kebutuhan primitif itulah masalah biasanya muncul. Seringkali penggalian dilakukan dengan cara primitif, yaitu dengan ilmu trial and error, ilmu kira-kira. Masalah lain yang muncul adalah - kalaupun merek-merek tersebut menggunakan lembaga riset profesional - mereka datang dengan sebuah framework tertentu yang justru membatasi komunitas untuk mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan primitifnya.

Jadi, bagaimana sebaiknya? Riset harus tetap dilakukan, tapi tolong jangan berangkat dari sebuah kerangka berpikir. Riset harus benar-benar hanya mencatat urut-urutan kegiatan seseorang di dalam komunitas. Tentu saja, orang tersebut harus merupakan figur kunci yang pendapatnya didengarkan oleh komunitas lain.

Tidak kalah penting pula, yang mencatat harus individu yang memiliki kedekatan kuat dengan komunitas tersebut. Syukur kalau kita mendapatkan 'pencari data' yang berasal dari dalam komunitas itu sendiri. Jadi, pada saat mencatat semua aktivitas, dia juga merekam alasan primitif yang terkandung di balik kegiatan tersebut.

Baru, setelah itu, disusunlah kegiatan komunitas berdasar integrasi kebutuhan primitif tadi. Nah, kata kunci kegiatan yang dibangun berdasarkan integrasi kebutuhan primitif tadi adalah - seperti yang telah disebutkan di atas - bahwa semisal kegiatan tersebut dihentikan, apakah komunitas akan terus berjalan atau kembali menjadi hambar.

Intinya, jangan sampai komunitas terbentuk by accident, karena dengan begitu usianya akan ditentukan oleh kegiatan komunitas tersebut. Body Shop dan Harley-Davidson telah dengan sengaja (activity by design) menciptakan gerakan-gerakan komunitas hingga membesar dan membuat bagian penjualan kewalahan.

BB harus berhati-hati menghadapi situasi ini, karena sebetulnya komunitasnya tercipta by accident, bukan by design. Bila tidak ditindaklanjuti, maka perlahan komunitas ini akan meredup. Apalagi, BB tidak masuk secara langsung ke Indonesia karena digendong dengan beberap merek operator seluler.

BB harus segera menciptakan ikon-ikon hidup untuk mengaktivasi values mereka yang yang diintegrasikan ke dalam kebutuhan primitif integritas. Steve Jobs langsung turun ke komunitas Apple untuk menunjukkan kecerdasannya sama dengan pengguna Apple. Franky Welirang langsung ikut wayangan untuk memperkuat komunitas pedagang martabak.

Hal yang sama sebetulnya harus dilakukan oleh credit union dengan belajar dari kasus BB ini. Karena kehadiran komunitas BB pelan-pelan mampu mengakuisisi pelanggan kita menjadi lebih well-informed. Credit union harus segera mengaktivasi ikon-ikon hidupnya yang tidak hanya pada acara formal komunitas, tapi juga terlibat aktif dalam kebutuhan primitif komunitas credit union dan diketahui oleh target market yang lebih luas. Nah, pada titik ini, peran media komunikasi menjadi mutlak perlu.

Itu, kalau credit union mau menikmati kue pasar komunitas yang haus informasi seperti komunitas BB sekarang ini. Blackberry memang sedang naik daun sekarang, diunggul-unggulkan komunitas. Makanya, bagaimana kalau kita sebut dengan Blackberry Cheese?

0 komentar: