The Image Is Flat

Posted: Kamis, 05 Maret 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Perkembangan aktivitas dunia maya di kota-kota besar di Indonesia, dan tentu saja dunia, benar-benar mencengangkan dalam kapasitas jumlah pemakainya. Seperti dikatakan Yuswohady dalam Crowd, perilaku individualis yang tadinya kuat jadi meleleh karena peran teknologi internet. Sekarang era Web 2.0, dimana aktivitas internet adalah aktivitas bersosialisasi dan berbincang panjang lebar. Facebook pun menjadi alat andalan untuk mencari teman-teman lama, dan ajang narsis yang terlegitimasi dalam kelompok sosial.

Diawali dengan mailing list, kemudian blog hingga pertemuan blogger se-Indonesia, lengkaplah sudah prediksi Thomas L. Friedman dalam The World is Flat. Dan itu akan terus berkembang dari yang semula di desktop, laptop, kini telah masuk melalui handphone, seperti fenomena Blackberry yang sedang kuat di Indonesia.

Pertanyaannya, seberapa jauh merek-merek harus menyikapi The World is Flat-nya Friedman dalam konteks Indonesia? Apakah mungkin gelombang dahsyat di dunia maya sudah mampu menjadi sebuah gerakan yang mampu meningkatkan penjualan? Untuk menjadi sebuah buying movement, rasanya kita sudah banyak belajar dari sederet toko online di Indonesia - dimana masih kecil sekali terjadi transaksi di sana. Tapi, untuk membangun brand awareness? Nah, mari kita bicarakan lebih lanjut.



Acuh, Butuh, Tapi Belum Utuh
Secara gamblang, ada merek-merek yang secara tegas tidak pernah peduli dengan dunia yang semakin datar, atau konsumen yang semakin horizontal. Merek-merek tersebut bahkan tidak pernah menggubris sedikit pun suara miring di mailing list karena hal itu sama saja dengan masuk dalam pertandingan shadow boxing, kita tidak pernah tahu berhadapan dengan siapa di sana.

Tentu saja, sebuah apologi yang parah bila suara-suara miring di mailing list cuma dianggap angin lalu. Sekali souara miring tersebut dipercaya, maka selamanya citra buruk merek kita akan dipercaya. Tahun 2005, hasil riset The Chief Marketing Officer (CMO) Council memang menyebutkan bahwa internet hanya menempati peringkat kelima indeks kepercayaan konsumen, dan tahun 2006 Edelman Trust Barometer menempatkan blog diurutan terakhir sebagai sumber yang dipercaya. Tapi, di tahun 2009 ini tidak berlaku. Di Indonesia, blogger adalah teman-teman dekat yang kita kenal persis dan internet sudah menjadi keseharian (apalagi untuk profesi marketing dan public relation).

Hanya saja, seberapa jauh gerakan tersebut mampu meningkatkan kinerja merek, kita harus pahami betul. Sekadar untuk tidak kebablasan, dalam arti menyisihkan energi sedemikian besar, padahal belum banyak yang bisa kita harapkan.

Marilah kita berangkat dari blog, yang perkembangannya luar biasa pesat di Indonesia. Semisal ada pertanyaan seberapa jauh blog memiliki efektivitas untuk mengirimkan pesan, mari kalkulasikan siapa saja pengunjung blog tersebut. Katakanlah pemilik blog adalah seorang direktur perusahaan global, dengan buying power yang kuat dan jaringan yang luas. Pertanyannya, berapa banyakkah pengunjungnya saat dia melontarkan sebuah isu, dan yang lebih penting lagi, apakah pengunjung - pada saat sang blogger melemparkan isu - sesuai dengan target market kita? Kalaupun sesuaim berapa banyakkah kuantitasnya?

Dibandingkan dengan media massa konvensional, rasanya hitung-hitungan di atas (tentang pengaruh blog) masih terlalu kecil nilai penetrasi target audiens-nya. Tapi, hati-hati terhadap informasi negatif yang ditampilkan pemilik blog, ada kemungkinan hukum Reed akan berlaku terhadap persebaran proses informasu negatif, dimana rumusnya adalah 2n. Jadi, kalaupun pengunjung blog itu hanya 15 orang, maka persebaran informasinya akan menjadi 32.768 orang (silakan baca Crowd-nya Yuswohady tentang hukum ini). bersiap-siaplah dengan fighting fire cyber yang andal kalau berita negatif sampai terjadi dan tersebar dengan menggunakan hukum Reed.

Fondasi Cyber
Kembali pada persoalan seberapa jauh dunia maya mampu membangun brand awareness, memang ada semacam kegamangan dalam praktisi poencitraan tentang efektivitasnya kalau kita mengalihkan energi ke sana. Singkatnya, kita sudah butuh sekalipun komunitasnya belum utuh. Sekalipun belum perlu menghabiskan banyak energi ke sana, inilah saatnyamembangun fondasi dunia maya yang kuat. Mumpung pesertanya sedikit tetapi memiliki passion yang tinggi, maka ini sebuah kesempatan emas untuk membangun emotional bonding yang berkelanjutan.

Memang, masih harus ada proses trial and error untuk mencari strategi yang tepat. Tapi, justru di sinilah keunggulannya. Kalaupun terjadi kesalahan, efeknya belum tentu besar. Nah, nanti ketika peran dunia maya sudah signifikan dalam penetrasi sebuah pesan merek, kita sudah punya Cyber PR yang luar biasa hebat.

Krisis global yang mulai terasa hinggap di negeri ini juga merupakan saat dimana - dengan biaya yang relatif murah - kita tetap bisa berinteraksi intens dengan target audiens. Sekali lagi, interaksi, bukan sekadar komunitas.

Soalnya, seringkali interaksi hanya diartikan dengan komunikasi satu arah. Kalau tidak pasang iklan di social media, ya blasting email ke ribuan milis. Sekali lagi, mohon maaf, itu bukan interaksi, itu hanya komunikasi.

Keunggulan dasar dari interaksi adalah kita harus mampu membangun sebuah isu menjadi bola ping pong informasi yang membuat banyak pengguna email untuk ikut melepaskan informasi lainnya, menangkap bola ping pong, dan melemparkan dengan sentakan yang lebih keras. nah, kita cukup jadi wasit untuk mengendalikan jalannya informasi. Kalau pukulan bola ping pong meleset dari brand objective, baru kita turun lagi untuk membenahi alur interaksinya. Tergantung kebutuhanlah. Terkadang kita tidak turun menjadi wasit, tapi kita bisa menjadi pemain lain. Namanya juga main bola ping pong di dunia maya, jadi bisalah kita menjadi shadow player boxing.

Dan, kita tentu harus menikmati permainan dengan tunta. Maka, pemilihan pejuang-pejuang cyber yang mampu membawa merek memang harus ditentukan seberapa jauh passion-nya terhadap dunia ini. Kasanya, kalau perlu kita mendapatkan orang yang mau tidak dibayar asal boleh terus menerus tersambung dengan dunia maya.

Inisiatif dan kreativitas akan banyak terbangun dari freaks semacam itu. Dalam pembangunan fondasi, kreativitas dan inisiatif menjadi mutlak dikedepankan. Sekalipun memang, tidak mudah juga menangani orang-orang seperti itu. Ya, no pain no gain-lah.

Welcome to the flat's world!

0 komentar: