Beda Anthurium, Beda Tukul
Posted: Jumat, 20 Maret 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Life
0
Tukul adalah fenomena. Wabahnya menjalar ke seluruh pelosok negeri. Sebuah brand yang awalnya merangkak lamban tertatih-tatih, tapi mendadak sontak meroket menjadi superstar yang digandrungi semua kalangan.
Tukul menjadi perbincangan siapapun mulai dari presiden, menteri, dirut BUMN, orang kantoran, para pengangguran, hingga tukang-tukang ojek di ujung gang dan pembantu rumah tangga.
Kesuksesan Tukul mengingatkan saya pada kesuksesan luar biasa yang dicapai Inul Daratista beberapa tahun lalu. Hanya sayang, brand lifecycle Inul tidak meluncur panjang karena tidak dikelola sebagaimana mestinya. Brand equity Inul saat ini bahkan turun terus tak terbendung. Sebagai sebuah brand, Inul kini menjadi sebuah drama tragis: Naik cepat, jatuhnya juga cepat.
Sama dengan Inul, Tukul memperoleh brand equity yang superkokoh dalam waktu supersingkat karena melakukan breakthrough innovation yang sebelumnya tidak dikenal di industri hiburan tanah air. Lewat Empat Mata, sekarang Bukan Empat Mata, Tukul adalah pencipta kategori baru, talk show model baru yang menggabungkan obrolan ngalor-ngidul dengan dagelan katro ala Srimulat.
Ia juga mengusung genre baru lawakan, sebut saja Tukulisme; model lawakan yang mengolok-olok keburukan diri sendiri. Puas! Puas! Puas!! ... gerrrr...
Inovasi selalu mendatangkan kekaguman, ketakjuban, kecengangan, kemasyhuran, dan tentu uang. Itulah yang terjadi dengan sebuah brand bernama Tukul.
Kenapa Tukul menimbulkan wabah kolera? Ini adalah pertanyaan yang terus mengganggu pikiran saya sejak acaranya menjadi hit dan meroket gila-gilaan.
Apakah karena lawakan-lawakan katro-nya?
Tentu!
Karena bibir overdosis yang terus menjadi bahan olok-olokkan sepanjang acara> Iya! Karena 'Kembali ke laptop' dan Puas!!! Puas!!! Puas!!!-nya? Of course!
Karena bintang-bintang tamunya yang umumnya cantik-cantik? Yes! Karena kegaptekan dan bahasa Inggris-nya yang belepotan? Iya!
Ini semua betul. Tapi, ada satu hal yang paling menarik di balik kesuksesan wabah Tukul, yaitu strategi branding-nya.
Sadar atau tidak sadar, praktik branding yang dijalankan Tukul dan timnya bisa dibilang tidak lumrah, out-of the box, dan sophisticated. Jarang sekali orang, produk, ataupun perusahaan yang mampu menjalankannya. Saya menyebut strategi yang dijalankan Tukul ini sebagai cultural branding.
Kenapa saya sebut cultural branding?
Karena Tukul memanfaatkan secara cerdas kondisi dan tata nilai budaya masyarakat kita yang bopeng dan carut-marut dalam menjalankan strategi branding-nya.
Cerdasnya Tukul dan tim terletak pada kemampuannya menangkap kegelisahan sosial dan aspirasi (collective desire, anxieties, and aspiration) lapisan masyarakat bawah yang merupakan core audience-nya.
Mereka diwakili oleh sosok-sosok seperti tukang bakso, satpam, pengojek, penjual siomay, buruh pabrik, kuli bangunan, sopir bajaj, kernet metromini, korban lapindo, atau guru SD yang posisinya selalu terkalahkan.
Mereka adalah hopeless society yang tak punya hak dan harapan apapun untuk mencicipi kesuksesan. Mereka adalah kaum the loser - kaum kalah yang dari lahir terperangkap dalam jaring-jaring pemiskinan struktural yang begitu kukuh dan angkuh - yang terus bermimpi mendambakan setitik sukses.
Hebatnya Tukul, setelah jeli menangkap kecemasan masyarakat, ia kemudian menempatkan dirinya sebagai 'pahlawan' bagi mereka. Saya melihat, sebagai sebuah brand, Tukul memiliki identitas yang kuat sebagai cultural hero bagi core audience-nya, yaitu kaum terpinggirkan.
Tukul adalah cultural icon: ikon yang mewakili sosok orang yang sepanjang hidupnya terbenam dalam lumpur kemiskinan, tapi kemudian berjuang habis-habisan, bermandi keringat, merangkak, tertatih-tatih, dan mencoca survive menjemput kesuksesan di belantara ganasnya Jakarta. Tukul hadir secara pas mewakili identitas kolektif mereka.
Tukul adalah icon for the losers.
Secara cerdas Tukul mengisi ruang kosong di alam bawah sadar mereka mengenai sosok sukses yang bisa mereka jadikan model. Kalau meminjam istilah para MTV mania, barangkali kaum terpinggirkan itu akan bilang: Tukul tuh gue banget! Karena memang sosok Tukul setali tiga uang dengan keseharian mereka.
Semuanya persis sama: tampangnya, tingkahnya, omongannya, katro-nya, sekolahnya, gapteknya, bahasa Inggrisnya. hanya satu yang beda. Tukul sukses, sementara mereka masih terbenam dalam lumpur kegagalan dan kekalahan.
Tapi, tetap saja, bagi mereka Tukul adalah 'obat yang menentramkan hati'. Ringan saja mereka akan bilang, 'Kalau Tukul saja bisa sukses, kenapa saya nggak bisa. Wong persis plek, kok!' Kesamaan inilah yang memunculkan keyakinan kolektif (baca. mitos) bahwa 'kesuksesan itu sudah kian dekat'.
Tukul menjadi obat penawar yang menentramkan hati karena bisa menjadi 'media bermimpi' mengenai mitos kesuksesan yang sudah dekat. Tukul sekaligus menjadi semacam 'media pelarian' - media untuk melarikan diri dari realitas keseharian yang penat dan hina-dina sebagai the loser, sebagai kaum yang terus dikalahkan.
Sosok Tukul mengajak mereka bermimpi mencicipi nikmatnya sukses. Bermimpi menikmati hidup sebagai the winner.
Karena itu dua jam menonton Bukan Empat Mata bagi mereka adalah sebuah ritual kolektif. Ritual untuk merayakan kesuksesan, celebration of success. Ritual untuk bersama-sama lari dari kepenatan hidup sehari, lari dari realitas hidup sebagai the loser.
Ritual untuk bermimpi bersama-sama menjadi sosok Tukul.
Lepas dari kasus yang membawa Tukul dengan Empat Mata-nya menjadi Bukan Empat Mata, (saya anggap sebagai sebuah kejatuhan Tukul), satu pesan kita peroleh darinya:
Your product and services should be contagious...
Tukul menjadi perbincangan siapapun mulai dari presiden, menteri, dirut BUMN, orang kantoran, para pengangguran, hingga tukang-tukang ojek di ujung gang dan pembantu rumah tangga.
Kesuksesan Tukul mengingatkan saya pada kesuksesan luar biasa yang dicapai Inul Daratista beberapa tahun lalu. Hanya sayang, brand lifecycle Inul tidak meluncur panjang karena tidak dikelola sebagaimana mestinya. Brand equity Inul saat ini bahkan turun terus tak terbendung. Sebagai sebuah brand, Inul kini menjadi sebuah drama tragis: Naik cepat, jatuhnya juga cepat.
Sama dengan Inul, Tukul memperoleh brand equity yang superkokoh dalam waktu supersingkat karena melakukan breakthrough innovation yang sebelumnya tidak dikenal di industri hiburan tanah air. Lewat Empat Mata, sekarang Bukan Empat Mata, Tukul adalah pencipta kategori baru, talk show model baru yang menggabungkan obrolan ngalor-ngidul dengan dagelan katro ala Srimulat.
Ia juga mengusung genre baru lawakan, sebut saja Tukulisme; model lawakan yang mengolok-olok keburukan diri sendiri. Puas! Puas! Puas!! ... gerrrr...
Inovasi selalu mendatangkan kekaguman, ketakjuban, kecengangan, kemasyhuran, dan tentu uang. Itulah yang terjadi dengan sebuah brand bernama Tukul.
Kenapa Tukul menimbulkan wabah kolera? Ini adalah pertanyaan yang terus mengganggu pikiran saya sejak acaranya menjadi hit dan meroket gila-gilaan.
Apakah karena lawakan-lawakan katro-nya?
Tentu!
Karena bibir overdosis yang terus menjadi bahan olok-olokkan sepanjang acara> Iya! Karena 'Kembali ke laptop' dan Puas!!! Puas!!! Puas!!!-nya? Of course!
Karena bintang-bintang tamunya yang umumnya cantik-cantik? Yes! Karena kegaptekan dan bahasa Inggris-nya yang belepotan? Iya!
Ini semua betul. Tapi, ada satu hal yang paling menarik di balik kesuksesan wabah Tukul, yaitu strategi branding-nya.
Sadar atau tidak sadar, praktik branding yang dijalankan Tukul dan timnya bisa dibilang tidak lumrah, out-of the box, dan sophisticated. Jarang sekali orang, produk, ataupun perusahaan yang mampu menjalankannya. Saya menyebut strategi yang dijalankan Tukul ini sebagai cultural branding.
Kenapa saya sebut cultural branding?
Karena Tukul memanfaatkan secara cerdas kondisi dan tata nilai budaya masyarakat kita yang bopeng dan carut-marut dalam menjalankan strategi branding-nya.
Cerdasnya Tukul dan tim terletak pada kemampuannya menangkap kegelisahan sosial dan aspirasi (collective desire, anxieties, and aspiration) lapisan masyarakat bawah yang merupakan core audience-nya.
Mereka diwakili oleh sosok-sosok seperti tukang bakso, satpam, pengojek, penjual siomay, buruh pabrik, kuli bangunan, sopir bajaj, kernet metromini, korban lapindo, atau guru SD yang posisinya selalu terkalahkan.
Mereka adalah hopeless society yang tak punya hak dan harapan apapun untuk mencicipi kesuksesan. Mereka adalah kaum the loser - kaum kalah yang dari lahir terperangkap dalam jaring-jaring pemiskinan struktural yang begitu kukuh dan angkuh - yang terus bermimpi mendambakan setitik sukses.
Hebatnya Tukul, setelah jeli menangkap kecemasan masyarakat, ia kemudian menempatkan dirinya sebagai 'pahlawan' bagi mereka. Saya melihat, sebagai sebuah brand, Tukul memiliki identitas yang kuat sebagai cultural hero bagi core audience-nya, yaitu kaum terpinggirkan.
Tukul adalah cultural icon: ikon yang mewakili sosok orang yang sepanjang hidupnya terbenam dalam lumpur kemiskinan, tapi kemudian berjuang habis-habisan, bermandi keringat, merangkak, tertatih-tatih, dan mencoca survive menjemput kesuksesan di belantara ganasnya Jakarta. Tukul hadir secara pas mewakili identitas kolektif mereka.
Tukul adalah icon for the losers.
Secara cerdas Tukul mengisi ruang kosong di alam bawah sadar mereka mengenai sosok sukses yang bisa mereka jadikan model. Kalau meminjam istilah para MTV mania, barangkali kaum terpinggirkan itu akan bilang: Tukul tuh gue banget! Karena memang sosok Tukul setali tiga uang dengan keseharian mereka.
Semuanya persis sama: tampangnya, tingkahnya, omongannya, katro-nya, sekolahnya, gapteknya, bahasa Inggrisnya. hanya satu yang beda. Tukul sukses, sementara mereka masih terbenam dalam lumpur kegagalan dan kekalahan.
Tapi, tetap saja, bagi mereka Tukul adalah 'obat yang menentramkan hati'. Ringan saja mereka akan bilang, 'Kalau Tukul saja bisa sukses, kenapa saya nggak bisa. Wong persis plek, kok!' Kesamaan inilah yang memunculkan keyakinan kolektif (baca. mitos) bahwa 'kesuksesan itu sudah kian dekat'.
Tukul menjadi obat penawar yang menentramkan hati karena bisa menjadi 'media bermimpi' mengenai mitos kesuksesan yang sudah dekat. Tukul sekaligus menjadi semacam 'media pelarian' - media untuk melarikan diri dari realitas keseharian yang penat dan hina-dina sebagai the loser, sebagai kaum yang terus dikalahkan.
Sosok Tukul mengajak mereka bermimpi mencicipi nikmatnya sukses. Bermimpi menikmati hidup sebagai the winner.
Karena itu dua jam menonton Bukan Empat Mata bagi mereka adalah sebuah ritual kolektif. Ritual untuk merayakan kesuksesan, celebration of success. Ritual untuk bersama-sama lari dari kepenatan hidup sehari, lari dari realitas hidup sebagai the loser.
Ritual untuk bermimpi bersama-sama menjadi sosok Tukul.
Lepas dari kasus yang membawa Tukul dengan Empat Mata-nya menjadi Bukan Empat Mata, (saya anggap sebagai sebuah kejatuhan Tukul), satu pesan kita peroleh darinya:
Your product and services should be contagious...