0
Penat usai deadline, segera meluncur ke rumah untuk menikmati aksi konyol Jim Carey dalam film Bruce Almighty adalah opsi yang sulit dilewatkan. Sebenarnya film ini pernah saya tonton, hanya saja saya tidak tahu kenapa ingin sekali lagi menontonnya.
Ternyata saya tidak hanya diajak ketawa terpingkal-pingkal, tetapi juga disadarkan oleh sebuah frase yang berbunyi be the miracle.
Tokoh Bruce (diperankan oleh Carey) diceritakan sedang marah besar dan akhirnya mengumpat serta menantang Tuhan karena hidupnya berantakan. Akibatnya, Morgan Freeman (yang memerankan tokoh God) memutuskan turun ke dunia untuk menemui Bruce dan memberinya kesempatan untuk menjadi diri-Nya.
Bruce girang bukan kepalang, karena bisa melakukan apa saja sesukanya. Membelah sup di meja, mengambil sendok dari mulutnya, bahkan mengeluarkan monyet dari - maaf - pantat preman yang memukulinya.
Semudah itukah? Salah! Ulah Bruce menarik bulan lebih dekat ke bumi untuk menyenangkan hati pacarnya berujung bencana alam yang menelan banyak korban jiwa. Niat Bruce untuk membahagiakan semua orang - dengan mengabulkan doa mereka - berujung petaka. Ribuan warga kota Buffalo merusak kota karena secara bersamaan memenangkan undian berhadiah.
'Itulah manusia. Mereka pikir mudah menjadi Tuhan. Mereka menyalahkan Tuhan jika keajaiban yang mereka minta tak dipenuhi. Padahal, keajaiban tak selalu datang dari atas. Seorang ibu yang bekerja tapi masih bisa mengantarkan anaknya ke sekolah, itulah keajaiban. Seorang pacar yang tidak menuntut banyak dan selalu mengerti akan apa yang dialami oleh kekasihnya, itulah keajaiban. Manusia bisa menciptakan keajaibannya sendiri. Be the miracle!' Begitu kira-kira jawaban God ketika Bruce menyerakan dan mengembalikan kuasa-Nya kepada yang berhak.
What a speech!
Saya - dan mungkin semua yang pernah menonton film itu - seperti dicubit dan diingatkan untuk memaknai keajaiban dalam kacamata pandang yang baru. Sebenarnya banyak contoh kecil yang bisa disebutkan. Misalnya, seorang teman di credit union yang menduduki posisi marketing pernah secara tidak langsung mengeluh dengan saya. Jujur dia merasa bingung dengan posisinya, satu sisi dia merasa yakin bisa mengemban tanggung jawab itu dengan segala keyakinan akan kompetensinya. Sementara sisi yang lain, dia menginginkan posisi yang lebih tinggi, karena menganggap posisi yang dipercayakan kepadanya saat ini - marketing - bukanlah posisi ideal bagi orang seperti dia.
Bagi teman saya ini, posisi manajer adalah keajaiban bagi dirinya. Sayang dia tidak pernah mengetahui dan mau belajar lebih jauh tentang marketing.
Keajaiban ada di mana-mana. Benar kata Morgan Freeman, kita - manusia - kadang terlalu cengeng menjalani hidup dan kehidupan. Sedikit saja ada yang tidak beres, mudah sekali menyalahkan Tuhan. Padahal, siapa tahu justru kita yang belum berusaha keras keluar dari kemelut dan permasalahan yang ada. Sebaliknya, di sisi lain, kita mudah melupakan kerja keras sendiri jika meraih prestasi besar yang selama ini kita anggap keajaiban itu sendiri. Padahal, siapa tahu semua rasa - sedih, senang, kecewa hingga bangga - sebagian besar ditentukan untuk upaya kita sendiri.
Di sekitar saya pun sesungguhnya ada banyak keajaiban. Di kantor saya, misalnya. Tanpa bermaksud menyombongkan diri, teman-teman di sini ternyata mampu menciptakan keajaibannya sendiri. Mereka mampu membuat Starpluscu pelan tapi pasti menjadi lembaga yang diperhitungkan, meski bekerja di kantor kontrakan, sempit, dengan tenaga yang amat sangat terbatas (hanya 6 orang), fasilitas yang terbatas pula, dan hanya berbekal pengalaman kerja yang amat sangat minim. Ternyata keajaiban ada di mana-mana. Ada di sekitar kita, bahkan boleh jadi ada juga dalam diri kita masing-masing.
So, let's be the miracle!
Ternyata saya tidak hanya diajak ketawa terpingkal-pingkal, tetapi juga disadarkan oleh sebuah frase yang berbunyi be the miracle.
Tokoh Bruce (diperankan oleh Carey) diceritakan sedang marah besar dan akhirnya mengumpat serta menantang Tuhan karena hidupnya berantakan. Akibatnya, Morgan Freeman (yang memerankan tokoh God) memutuskan turun ke dunia untuk menemui Bruce dan memberinya kesempatan untuk menjadi diri-Nya.
Bruce girang bukan kepalang, karena bisa melakukan apa saja sesukanya. Membelah sup di meja, mengambil sendok dari mulutnya, bahkan mengeluarkan monyet dari - maaf - pantat preman yang memukulinya.
Semudah itukah? Salah! Ulah Bruce menarik bulan lebih dekat ke bumi untuk menyenangkan hati pacarnya berujung bencana alam yang menelan banyak korban jiwa. Niat Bruce untuk membahagiakan semua orang - dengan mengabulkan doa mereka - berujung petaka. Ribuan warga kota Buffalo merusak kota karena secara bersamaan memenangkan undian berhadiah.
'Itulah manusia. Mereka pikir mudah menjadi Tuhan. Mereka menyalahkan Tuhan jika keajaiban yang mereka minta tak dipenuhi. Padahal, keajaiban tak selalu datang dari atas. Seorang ibu yang bekerja tapi masih bisa mengantarkan anaknya ke sekolah, itulah keajaiban. Seorang pacar yang tidak menuntut banyak dan selalu mengerti akan apa yang dialami oleh kekasihnya, itulah keajaiban. Manusia bisa menciptakan keajaibannya sendiri. Be the miracle!' Begitu kira-kira jawaban God ketika Bruce menyerakan dan mengembalikan kuasa-Nya kepada yang berhak.
What a speech!
Saya - dan mungkin semua yang pernah menonton film itu - seperti dicubit dan diingatkan untuk memaknai keajaiban dalam kacamata pandang yang baru. Sebenarnya banyak contoh kecil yang bisa disebutkan. Misalnya, seorang teman di credit union yang menduduki posisi marketing pernah secara tidak langsung mengeluh dengan saya. Jujur dia merasa bingung dengan posisinya, satu sisi dia merasa yakin bisa mengemban tanggung jawab itu dengan segala keyakinan akan kompetensinya. Sementara sisi yang lain, dia menginginkan posisi yang lebih tinggi, karena menganggap posisi yang dipercayakan kepadanya saat ini - marketing - bukanlah posisi ideal bagi orang seperti dia.
Bagi teman saya ini, posisi manajer adalah keajaiban bagi dirinya. Sayang dia tidak pernah mengetahui dan mau belajar lebih jauh tentang marketing.
Keajaiban ada di mana-mana. Benar kata Morgan Freeman, kita - manusia - kadang terlalu cengeng menjalani hidup dan kehidupan. Sedikit saja ada yang tidak beres, mudah sekali menyalahkan Tuhan. Padahal, siapa tahu justru kita yang belum berusaha keras keluar dari kemelut dan permasalahan yang ada. Sebaliknya, di sisi lain, kita mudah melupakan kerja keras sendiri jika meraih prestasi besar yang selama ini kita anggap keajaiban itu sendiri. Padahal, siapa tahu semua rasa - sedih, senang, kecewa hingga bangga - sebagian besar ditentukan untuk upaya kita sendiri.
Di sekitar saya pun sesungguhnya ada banyak keajaiban. Di kantor saya, misalnya. Tanpa bermaksud menyombongkan diri, teman-teman di sini ternyata mampu menciptakan keajaibannya sendiri. Mereka mampu membuat Starpluscu pelan tapi pasti menjadi lembaga yang diperhitungkan, meski bekerja di kantor kontrakan, sempit, dengan tenaga yang amat sangat terbatas (hanya 6 orang), fasilitas yang terbatas pula, dan hanya berbekal pengalaman kerja yang amat sangat minim. Ternyata keajaiban ada di mana-mana. Ada di sekitar kita, bahkan boleh jadi ada juga dalam diri kita masing-masing.
So, let's be the miracle!