Posted:
Rabu, 08 Januari 2014
by R. Anang Tinosaputra in
Label:
The Meaning of Management
Walaupun hanya mendapatkan job untuk memberikan pelatihan kepada teman-teman karyawan credit
union di satu credit union di Pasuruan, di awal karier saya sebagai konsultan, itu
sudah cukup bagus. Saat menangani job
itu, selama setahun saya harus keliling Jawa, mengunjungi seluruh region yang dulu saya buat strukturnya.
Saya tahu persis apa yang mereka sudah tahu dan jago. Dan, apa lagi yang
sebenarnya mereka butuhkan. Mereka adalah para ‘jago lapangan’, mulai tingkat salesman, supervisor, hingga manajer.
Mereka tahu persis bagaimana menjalankan pengecekan jumlah anggota sambil
menawarkan produk lainnya. Mereka juga sudah terbiasa memasang merchandise
seperti poster, stiker, dan alat-alat promosi lain di kantor TP dan cabang.
Mereka juga jeli melihat perkembangan promosi para pesaing. Selain itu, mereka
cekatan untuk bertanya dan mencatat omzet berbagai merek besar untuk perkiraan market
share. Itu yang dikerjakan para salesman.
Para supervisor sudah pintar merancang rute-rute yang akan dijalankan salesman. Supervisor juga sudah hebat
dalam mengawasi kerja salesman
dan laporannya. Karena sebagian besar berasal dari salesman, para supervisor segera tahu kalau melihat ada laporan
yang ‘dikarang’. Mereka juga mengawasi produktivitas salesman dan menghitung pencapaian target penjualan areanya.
Supervisor juga tahu cara melaksanakan kegiatan below the line di area
masing-masing. Para supervisor yang biasanya sudah lama di lapangan ini, punya market
sensing yang kuat.
Sedangkan para manajer wilayah atau region
lebih berpengalaman lagi. Mereka hebat dalam merancang dan menjalankan time
and territory management. Mereka bertanggung jawab terhadap omzet region di
bawah kendalinya. Mereka juga bertanggung jawab terhadap logistik dan inventory
yang dibutuhkan dari waktu ke waktu. Mereka juga sudah jadi human resources
manager di wilayahnya. Mereka harus tahu bagaimana menjalankan policy
perusahaan di wilayah masing-masing.
Mereka juga harus bisa memberikan motivasi kepada bawahannya yang lagi kurang
bergairah. Tapi, mereka juga harus berani menegakkan disiplin dan memberikan
evaluasi atas bawahannya. Lantas? Saya seperti mengajarkan bebek untuk bisa
berenang. Apalagi yang harus saya latihkan kepada mereka?
Jawabnya, saya harus bisa ‘mengisi’ yang kurang dari mereka! Karena itu, saya
memberikan pelatihan yang bersifat ‘strategic’. Semua yang dilakukan
selama ini adalah ‘tactical’ dan ‘rutin’. Nah, yang saya berikan adalah
cara berpikir ‘strategic’,
baik dalam penjualan, penyediaan, dan manajemen.
Saya jaring mereka untuk melihat pasar dari ‘atas’. Saya katakan bahwa kelebihan
orang yang biasa ada di pasar adalah dengan cepat bisa melihat apa yang
terjadi. Tapi, karena sibuk dengan operasional sehari-hari, biasanya lemah
dalam melihat big picture.
Seorang salesman yang ‘strategic’, misalnya. Dia bisa tahu bahwa
kayaknya mulai sulit menjual produk tertentu. Dia tidak hanya mengecek dan
mencatat angka-angka, tapi juga belajar menganalisis. Mereka harus mampu mulai
mencari apa kira-kira penyebab makin sulitnya berjualan produk tertentu itu.
Kemudian mereka menulis dalam laporannya kepada supervisor. Mereka juga harus
mampu ‘menguasai’ sejumlah anggota aktif yang diserahkan kepadanya. Melaporkan
pada supervisor, anggota mana yang mulai ‘malas’ berinteraksi atau bahkan ‘akan
bangkrut’.
Supervisor juga harus mampu berpikir ‘strategic’ untuk area masing-masing. Bukan cuma menjadi ‘kantor pos’
untuk meneruskan laporan dari salesman
ke manajer. Atau meneruskan instruksi manajer ke salesman. Supervisor harus bisa ‘mengolah’ laporan para salesman menjadi suatu kesimpulan
komprehensif.
Supervisor juga saya ajari menganalisis kegiatan para pesaing, baik dalam above
maupun below the line di areanya. Dia tidak boleh percaya begitu saja
pada laporan salesman. Dia
harus bisa turun ke rute salesman
untuk mengecek dan mencari kebenaran akan sense-nya.
Sedangkan para manajer, saya ajari menjadi ‘marketing manager kecil’. Walaupun
mereka resminya cuma bertanggung jawab atas distribusi, ternyata mereka bangga
kalau bisa mengerti ‘perang marketing’ di wilayah masing-masing.
Saya katakan kepada mereka bahwa seseorang, apa pun jabatannya, punya tiga
tugas. Pertama, menguasai pekerjaan
dan menyempurnakan pekerjaan masing-masing. Kedua,
mempersiapkan diri untuk jabatan yang lebih tinggi dengan menambah pengetahuan
baru. Ketiga, menyiapkan pengganti
untuk dirinya bila kelak dipromosi.
Nah, dengan cara seperti itu, akhirnya saya ‘diterima’ oleh mantan anak buah
saya. Mereka merasakan ada sesuatu yang ‘berbeda’ dari ajaran saya sebagai
pelatih ketimbang waktu sebagai bos mereka.
Memang benar, kan? Waktu saya
jadi orang puskopdit, saya terpaksa lebih banyak menjalankan hubungan vertikal
‘atas bawah’ dengan staf-staf credit union primer. Memberikan instruksi,
mengawasi, dan mengevaluasi pekerjaan mereka. Ada yang suka, ada yang tidak
suka. Nah, sebagai trainer, saya
sudah di ‘pinggir lapangan’ dan menempatkan diri untuk ‘mendukung’ mereka.
Dengan kata yang lebih keren, saya harus mereposisi diri kalau mau sukses
sebagai trainer. Dari vertikal ke
horizontal. Dari ‘orang dalam’ jadi ‘orang luar’. Dari ‘pengawas’ jadi ‘pelatih’.
Wow! Terus terang tidak gampang. Tapi, terus terang juga, di situlah saya
menyadari bahwa sebenarnya saya sudah harus melakukan fungsi sebagai trainer juga waktu masih jadi manajer! Mendidik
mereka untuk berpikir ‘strategic’,
apa pun posisi mereka. Tidak ada jabatan yang terlalu rendah untuk berpikir strategic!
Pelajaran dari semua ini?
To
be successful, you must be able to reposition yourself in different situations.
Jadilah air yang bisa selalu berubah bentuk mengikuti tempatnya.
0
komentar: