Growth Mindset

Posted: Rabu, 20 Juni 2012 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Selamat Pagi, Sahabat!

Februari 2012 lalu, salah satu saudara saya mengikuti yudisium di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI). Dia bergabung dengan sekitar seribu orang peserta yudisium, yang terdiri atas lulusan S-1, S-2, dan S-3. Hebatnya dia berada di antara 40 anak dari MMUI yang lulus dengan prestasi cum laude. Bagi saya yang menjadi saudaranya pun ikut bangga, meski ada 2 orang lain di antara 40 anak itu yang lulus dengan IPK sempurna (4,0), bahkan katanya salah seorang yang lulus dengan IPK sempurna itu berusia paling muda, 21,5 tahun. Dahsyat!!

Berita menggembirakan dan membanggakan di atas menjadi menarik perhatian saya ketika beberapa jam lalu saya membaca sebuah release terbaru yang dikeluarkan oleh FBI tentang latar belakang dan perilaku orang-orang terkenal. Salah satunya siapa lagi kalau bukan mendiang Steve Job. Laporan mengenai Steve Jobs terbaca jelas, ditulis oleh analis yang terkesan tidak senang terhadap mendiang (wajar saja, karena menurut orang dalam Apple, petugas FBI yang ditugasi wawancara dibuat Jobs harus menunggu lebih dari tiga jam sebelum diterima untuk sekadar wawancara). Namun demikian, penulisnya berusaha memberikan data-data obyektif sehingga terkesan Jobs bukan seorang yang cerdas.


"Meski terkenal, ia ternyata hanya puya indeks prestasi kumulatif 2,65 saat duduk di tingkat SMA", ujar laporan itu. Angka tersebut jelas obyektif dan tidak diambil dari pikiran penulis. Kalau kita membaca report itu jauh sebelum Jobs terkenal, mungkin kita termasuk orang yang menilai orang ini tidak cerdas. Tetapi, karena kita membacanya sekarang, paling kita akan mengatakan 'apa urusannya IPK dengan karya yang sudah dibangun seseorang'. Bukankah impact jauh lebih penting daripada paper dan IPK?

Saya sangat tertarik dengan tulisan Rhenald Kasali di kolom Jawa Pos setahun lalu, yang mengatakan bahwa manusia memiliki dua jenis mindset, yaitu growth mindset dan fixed mindset. Orang-orang yang memiliki setting-an pikiran tetap (fixed mindset) cenderung sangat mementingkat ijazah dan gelar sekolah, serta pengetahuan yang didapatkannya sesuai dengan text-book, sedangkan mereka yang tumbuh (growth mindset) tetap menganggap dirinya 'bodoh'.


Bagi mereka, ijazah dan IPK serta segala teori text-book yang mereka dapatkan hanyalah langkah kemarin, sedangkan masa depan adalah soal impact: apa yang bisa kita berikan atau lahirkan. Maka, saya sangat setuju dengan ucapan Rhenald Kasali, bahwa pintar itu bagus, tetapi impact jauh lebih penting.


Celakanya, dunia pendidikan bahkan hingga dunia usaha (kerja) termasuk Credit Union di Indonesia, banyak dikuasai orang-orang yang bermental ijazah, asal sekolah dan teori-teori pendidikan mereka dulu, sehingga mereka terkurung dalam penjara yang mereka set sendiri, yaitu fixed mindset. Bagi mereka, impact itu sama dengan paper atau kertas karya dan teori-teori yang mereka hafal, terlepas apakah bisa dijalankan atau tidak.


Dalam konteks Credit Union Indonesia, terutama ketika beberapa hari terakhir saya merasa 'terusik' dengan tulisan-tulisan yang mempertanyakan profesionalitas dan integritas manusia Credit Union, akhirnya pikiran saya terbagi dua. Di satu pihak saya senang jika seandainya Credit Union Indonesia mendapatkan manusia-manusia yang cerdas secara akademis, namun di pihak lain saya gelisah kalau mereka yang ber-IPK tinggi itu produk seeting-an tetap. IPK tinggi tetapi terlalu membanggakan jejak sejarah: ijazah dan teori pendidikan.


Karakter orang-orang dengan setting-an tetap itu, menuruk Carol Dweck, antara lain, adalah menolah tantangan-tantangan baru, menganggap kerja keras yang sudah dan akan dikerjakan adalah sia-sia karena tidak sesuai dengan teori yang dipahaminya, dan tidak senang menerima kritik (umpan balik negatif), terutama dalam bentuk kinerja dan hasil kerja yang berlawan dengan mindset dan teori yang dianutnya.


Juga, bila ada orang lain yang lebih hebat darinya, ia sangat sinis dan menganggap mereka sebagai ancaman, sehingga akan melakukan berbagai cara untuk mencari kelemahan pesaingnya tersebut dengan menggunakan ukuran-ukuran keberhasilan yang ditentukannya sendiri. Orang-orang seperti ini biasanya menjadi arogan dan sering membanggakan "apa yang sudah ia capai". Prestasi akademis pada masa lalu bisa menjadi pemicu.


Jujur kita harus akui bahwa Credit Union Indonesia sangat-sangat membutuhkan orang-orang pintar. Bahkan, saya meyakini kalimat ini cocok untuk Credit Union Indonesia "Big (beauty) is nothing without brain". Benar, besar dan cantik saja tidak akan berarti apa-apa bila tidak cerdas. Tetapi, studi yang dilakukan Dweck memberikan jawaban yang melengkapi: Pintar yang kita butuhkan bukanlah pintar yang sudah selesai, melainkan yang di-setting untuk terus bertumbuh (growth mindset).


Apa ciri-ciri mereka? Mereka itu merasa kualitas kecerdasannya belum apa-apa. Mereka masih mau belajar, siap menerima tantangan-tantangan baru, menganggap kerja keras penting, menerima feedback negatif untuk melakukan koreksi, dan bila ada pihak yang lebih hebat darinya, ia akan menjadikan orang itu sebagai tempat belajar. Dan yang paling penting adalah mereka-mereka ini menganggap empati dan berbagi adalah sesuatu yang penting, karena itu adalah bagian dari proses belajar mereka.


Manusia-manusia seperti inilah yang semestinya menjadi sasaran untuk direkrut oleh Credit Union Indonesia, khususnya di manajemen. Sebagai gambaran, di Harvard, tidak terlalu mengandalkan tes-tes tertulis sebagai segala-galanya. Nilai akademis masa lalu mereka boleh tinggi, tetapi Harvard akan mendalami dalam wawancara yang dilakukan orang-orang berpengalaman. Dari situ mereka akan sering mendapatkan insight, bahkan tidak jarang yang memiliki hasil tes yang tinggi terpaksa digugurkan karena terlanjur terkunci dalam ruang gelap yang di-setting tetap.


Tetapi, apalah artinya semua itu kalau kita, Credit Union Indonesia, tidak berani mengubah mereka? Itulah tugas kita sebagai fasilitator (bukan dalam konteks training) Credit Union Indonesia, merombak cara berpikir agar manusia-manusia Credit Union tumbuh, bukan sekadar mengandalkan ijazah. Jadi, Credit Union tentunya harus sadar betul bahwa musuh besar mereka adalah kebanggaan yang berlebihan terhadap prestasi yang sudah dicapai kemarin.


Ke depan, Credit Union Indonesia butuh lebih banyak manusia yang adaptif, bukan manusia-manusia kaku yang merasa pintar dan paling benar sendiri. Untuk melahirkan manusia-manusia unggul, diperlukan kualitas intake yang baik, di samping proses yang mampu menempa mereka menjadi insan yang tumbuh. Ini kewajiban besar Credit Union Indonesia, jika kita mengatakan bahwa nilai yang kita jual adalah edukasi berbasis hati (love).


Maka, proses seleksi menjadi sangat penting, di awal, di tengah, dan di akhir. Credit Union Indonesia harus bisa memastikan bahwa masa depan Credit Union ada di tangan mereka-mereka yang tidak berpikiran fixed-mindset.


Bagaimana Credit Union Indonesia?


Think Big Start Small...

0 komentar: