"Sorry... Lagi Ga Ada Duit Nganggur"
Posted: Kamis, 24 Mei 2012 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of LifeSaya punya teman seorang brand manager di sebuah perusahaan consumer
good terkemuka di Jakarta. Teman asal Klaten ini termasuk workaholic
karena kesehariannya hanya kerja dan kerja. Ya karena belum ada anak dan
istri, ditambah lagi ia tinggal sendirian alias kos di Jakarta. Karena
berprestasi dan kerja sepenuh hati, belum sampai lima tahun posisi empuk
brand manager ia raih, tentu dengan gaji yang lumayan.
Karena terbiasa prihatin sejak kecil, pengeluarannya perbulan minim.
Ia tidak hobi belanja atau makan-makan di mal. Ia tidak hobi mengoleksi
gadget seperti banyak dilakukan temen-teman profesional muda. Ia juga
tidak hobi traveling menghabiskan uang. Akibatnya gampang ditebak,
gajinya tiap bulan praktis nyaris utuh.
Lalu dikemanakan uangnya yang menganggur?
Ini yang tidak saya duga.
Rupanya si teman piawai mengelola aset yang dimilikinya. “Ada yang di
deposito, ada yang diinvestasikan di properti, lalu satu lagi
diivestasikan di reksadana,” ujar si teman ketika saya tanya ke mana
lari gajinya. Saya tak menduga si teman begitu rapi mengelola uangnya,
karena setahu saya ia lugu dalam hal mengurus duit. Ya karena
seumur-umur tidak pernah punya uang banyak. Hehehehe...
#Kelas Menengah Baru
Teman saya di atas adalah potret kelas menengah baru Indonesia. Awalnya
dari kampung, berasal dari keluarga sederhana, pintar di sekolah
sehingga mampu belajar sampai ke universitas. Berbekal sekolah dan
pengetahuan mereka berurbanisasi ke ibukota untuk mengadu nasib.
Pengetahuan memang ampuh menjadi alat pendongkrak status ekonomi. Dengan
pengetahuan yang didapat di universitas mereka bisa mendapatkan
pekerjaan bagus dan survive hidup di Jakarta.
Dengan “kultur kampung” yang prihatin dan kerja keras mereka sukses
berkompetisi di antara kolega-koleganya di kantor sehingga posisi demi
posisi empuk diraihnya. Sukses karir tentu saja diikuti dengan sukses
fulus. Maka dua-tiga tahun bekerja, biasanya mereka mulai punya duit
berlebih. Apalagi di awal-awal bekerja umumnya mereka belum berkeluarga
sehingga banyak porsi duitnya menganggur (discretionary income).
Kelas menengah baru ini umumnya sangat knowledgeable dan technology savvy,
karena itu mereka banyak membaca buku dan googling untuk mencari
informasi mengenai bagaimana mengelola aset miliknya. “Gara-gara baca
buku Cashflow Quadrant-nya Robert Kiyosaki saya
jadi tahu bagaimana mengelola duit,” begitu komentar teman saya
mengenai bagaimana awalnya ia sadar untuk mengelola keuangannya. Melalui
internet mereka juga aktif berburu informasi mengenai
instrumen-instrumen investasi keuangan seperti saham, reksadana,
obligasi, unit link, dan lain-lain.
#Asset Management
Saya memperkirakan kelompok kelas menengah yang memiliki potensi dana
berlebih untuk diinvestasikan ke dalam berbagai instrumen keuangan ini
ada di segmen kelas menengah atas (upper middle-class)
yang memiliki rentang pengeluaran perhari $10-20. Menurut data SUSENAS,
jumlah kelompok ini pada tahun 2009 saja sudah mencapai 2,2 juta. Jumlah
mereka terus meningkat sehingga Indonesia merupakan pasar yang sangat
prospektif bagi para manager investasi.
Seperti tercermin dari FGD (focus group discussion) yang saya lakukan akhir tahun lalu, konsumen kelas menengah (Consumer 3000)
adalah kelompok masyarakat yang sudah sadar mengelola aset-aset mereka
secara sistematis. Prosesnya berjalan secara natural. Karena mereka
mulai memiliki dana menganggur yang cukup besar, akan sayang jika dana
berlebih tersebut tidak berkembang. Kalau dana mereka masih kecil, maka
menyimpan dana tersebut dalam bentuk tabungan biasa tidak menjadi
masalah. Namun ketika dananya sudah cukup besar maka mereka mulai
berpikir bagaimana dana tersebut bisa menghasilkan return yang lebih
besar.
Karena itu mereka mulai mencari instrumen-instrumen investasi yang
sesuai dengan kebutuhan keuangan mereka. Pilihannya beragam, mulai dari
memilih saham atau reksadana yang berisiko. Ada memilih investasi
melalui pembelian properti. Atau pilihan yang aman seperti deposito atau
obligasi pemerintah. Riset yang dilakukan oleh Knight Frank dan Citi Private Bank misalnya, menemukan sasaran investasi mereka terutama adalah obligasi pemerintah, dana tunai, dan emas yang
relatif lebih aman. Intinya mereka mulai berpikir bahwa duit menganggur
tersebut harusnya bekerja untuk mereka; bukannya mereka yang bekerja
untuk mencari duit.
#New Banking Behavior
Karena itu revolusi kelas menengah di Indonesia serta-merta akan diikuti
dengan pergeseran banking behavior dari konsumen baru ini. Perbankan
Indonesia akan memasuki babak baru dimana konsumen menjadi semakin
maju, tak hanya menggunakan layanan perbankan dasar seperti tabungan,
kartu kredit, atau kartu debit. Mereka memanfaatkan layanan-layanan
perbankan yang lebih advance seperti investasi melalui saham, reksadana,
bancsurance, atau obligasi. Layanan-layanan tersebut tak hanya
dinikmati segelintir segmen konsumen kelas atas, tapi mulai diadopsi
oleh kelas menengah secara massal.
Saya sering menggunakan istilah “mass luxury”
untuk menyebut produk/layanan yang dulunya hanya dimonopoli oleh
segelintir kalangan atas, tapi kemudian “turun kelas” mulai diadopsi
secara massal oleh konsumen kelas menengah. Saya sering menyebut mobil,
iPad, TV flat, tiket pesawat, atau liburan ke luar negeri sebagai contoh
aktual dari mass luxury. Barang-barang tersebut awalnya dimonopoli
milik orang kaya, tapi kemudian menjadi merakyat milik orang kebanyakan.
Nah, di industri perbankan saya melihat tren fenomena mass luxury ini
pun terjadi ketika instrumen-instrumen investasi keuangan seperti
reksadana, bancsurance, atau obligasi pemerintah mulai diadopsi secara
massal oleh konsumen kelas menengah. Ketika jumlah kelas menengah ini
kian signifikan, maka tak terelakkan lagi layanan-layanan keuangan
tersebut akan menemukan critical mass-nya.
Satu lagi gempa tektonik bakal melanda industri perbankan kita
seiring munculnya konsumen kelas menengah. Bagi para aktivitas CU, massage-nya
jelas, bahwa kita para CU-ers harus mulai pasang kuda-kuda untuk lari
cepat menyongsong tsunami konsumen yang bakal ditimbulkannya.
Ingat,
kecepatan seringkali menentukan apakah Anda menjadi winner atau loser.
Think Big Start Small...