Entrepreneur Nasionalis
Posted: Kamis, 05 Januari 2012 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Management
0
Oktober 2010 untuk pertama kalinya guru saya Mas Siwo (Twitter: @yuswohady) memperkenalkan istilah Consumer3000 dan sejak itu di mana-mana (di seminar-seminar, di Twitter, di
diskusi-diskusi, ngobrol dengan klien, di manapun) saya pun ikut-ikutan bicara
memperkenalkan terminologi baru itu. Angka 3000 diambil karena angka
tersebut merupakan angka ambang batas (treshold) GDP perkapita dimana suatu negara akan mencapai akselerasi perkembangan ekonomi (accelerated development)
yang luar biasa. Harap diketahui sejak akhir tahun 2010, untuk pertama
kali dalam sejarah negeri ini kita melampaui angka tersebut.
Angka itu sekaligus juga menjadi treshold mulai siknifikannya jumlah kelas menengah di Indonesia. Saat ini jumlah mereka (menurut Bank Dunia dengan kriteria pengeluaran $2-20 perhari) telah mencapai 134 juta, lebih dari 50% jumlah penduduk kita. Jumlah kelas menengah yang siknifikan akan menjadi pendorong perkembangan ekonomi yang luar biasa. Lapis kelas menengah yang kokoh ini memilki peran strategis baik dari sisi konsumsi (demand) berupa terbentuknya pasar yang besar, maupun dari sisi produksi (supply) karena mereka berpotensi menjadi entrepreneur yang menjadi driver pertumbuhan.
#Bangsa Penikmat
Saya suka dengan istilah yang digunakan oleh pak Sidharta (akun Twitter: @sydsalesman) salah satu dosen saya di KulTwit yang juga seorang pakar retail consumer mengenai fenomena Consumer3000. Dia menyebut bangsa kita ini sebagai “bangsa penikmat”, karena itu dia mempopulerkan hastag #bangsapenikmat di Twitter. Istilah itu dia ciptakan sebagai bentuk kekhawatiran di tengah bangkitnya kelas menengah Indonesia, kita hanya menjadi pasar bagi produk-produk branded luar negeri. Kalau demikian halnya, maka kita tak akan menjadi tuan rumah di negeri sendiri, kita tak akan bakal menjadi bangsa besar.
Kemunculan Consumer3000 membangun optimisme luar biasa bagi kita karena kekuatan konsumen yang besar akan menjadi kekuatan pasar yang sangat besar bagi produk-produk kita. Skenarionya menjadi lain jika kekuatan pasar itu hanya dinikmati oleh produk-produk asing. Kalau begitu maka potensi konsumsi domestik tersebut tidak bisa maksimal digunakan untuk menggerakkan industri dalam negeri kita. Karena alasan itulah dalam kolom minggu lalu saya menekankan pentingnya “nasionalisme konsumen” agar kita mencintai produk-produk nasional seperti halnya yang terjadi di negara-negara berkarakter seperti Korea atau Jepang.
#Bangsa Pencipta
Dengan background seperti di atas, saya berpikir kita harus bisa menjadikan bangsa ini sebagai “bangsa pencipta” tidak hanya sekedar “bangsa penikmat”. Kita harus menjadi “bangsa produktif” tak hanya menjadi “bangsa konsumtif”. Kita harus menjadi “subyek” atau pelaku aktif, tidak hanya sekedar menjadi “obyek” alias menjadi sasaran pasar produk-produk luar negeri. Kita harus menjadi “tuan rumah” di negeri sendiri, bukannya menjadi “tawanan” dari produk-produk asing.
Harus diingat, potensi kelas menengah yang luar biasa tak hanya mendatangkan peluang dari sisi pasar (kelas menengah sebagai konsumen), tapi juga dari sisi produksi (kelas menengah sebagai produsen). Mereka bisa menjadi aset bangsa yang luar biasa karena bisa menjadi laskar entrepreneur yang mampu menghasilkan produk dan layanan yang berdaya saing tinggi. Saya menyebut para entrepreneur dari kalangan kelas menengah ini dengan istilah: Entrepreneur3000. Dengan bekal kemampuan pemupukan modal yang tinggi dan pengetahuan/wawasan yang luar biasa mereka bisa menjadi pelaku usaha dan pencipta lapangan kerja yang sangat dibutuhkan bangsa ini.
Apabila sisi konsumsi (pasar) dan produksi (produk) ini bisa dimainkan secara cantik dan seimbang oleh kelas menengah Indonesia, maka saya optimis keajaiban ekonomi seperti yang dialami Cina bakal bisa diwujudkan negeri ini. Kita malu kalau hanya menjadi bangsa penikmat, kita juga harus menjadi bangsa pencipta yang kreatif dan berdaya saing.
#Entrepreneur Adalah Nasionalis
Seminggu lalu di blog ini saya menulis nasionalisme konsumen di tengah kebangkitan kelas menengah dan transisi Indonesia menjadi ekonomi dominan di dunia. Pada saat menulis kolom tersebut, terus terang saya agak ragu mengenai konsep nasionalisme konsumen. Kenapa? Karena tentu saja tidak bisa kita memaksakan diri memakai produk dalam negeri sedangkan produk dalam negeri itu kualitasnya amburadul. Tidak bisa produsen nasional menuntut konsumen kita menggunakan produk mereka sedang produk tersebut kualitasnya kelas kambing. Memaksa konsumen memakai produk dalam negeri kelas kambing itu namanya bukan nasionalisme.
Karena keraguan itu saya berpikir, nasionalisme harusnya didorong bukan dari sisi konsumen tapi dari sisi produsen, yaitu kaum entrepreneur kita. Karena itu saya punya definisi lain mengenai nasionalisme. Nasionalisme tak hanya merebut kembali kemerdekaan dari tangan penjajah. Nasionalisme tak hanya sekedar tiap tahun ikutan upacara bendera 17 Agustus. Kita menempa diri menjadi entrepreneur yang mampu memproduksi produk-produk hebat berdaya saing tinggi adalah juga nasionalisme.
Jhonny Andrean yang sukses mengembangkan J.Co yang kompetitif melawan Starbucks dan Dunkin Donuts (yang katanya America's No.1 Donuts) bagi saya adalah nasionalis. Andrew Darwis yang sukses membangun portal bisnis hebat seperti Kaskus adalah nasionalis. Sukiyatno yang sukses menciptakan es teller 77 yang disukai rakyat kebanyakan adalah nasionalis. Dyah Narendra Dewi, salah satu pemenang Womenpreneur Award dimana saya ikutan menjadi juri, adalah nasionalis karena sukses membuat produk-produk kreatif berbahan kain tradisional lurik yang tak kalah dari produk fesyen branded impor. Yuswohady adalah nasiolis marketer sejati. Dia Indonesia banget! Mengikuti jejak sang guru Hermawan Kartajaya yang lebih dulu menjadi nasionalis sejati, dua orang ini menjadi menjadikan marketing layaknya ilmu yang lahir dan besar di Indonesia. Bahkan di dunia politik, kita punya Dahlan Iskan dan Joko Widodo yang nasionalis sejati, bukan hanya karena ESEMKA, tapi juga kinerjanya, minimal sampai detik ini.
Karena itu melalui tulisan ini saya ingin menebar virus entrepreneurship ke siapapun yang membacanya. Ayo tunggu apa lagi, jadilah entrepreneur, jadilah nasionalis sejati. Ayo para pekerja kantoran, mulailah menjadi amfibi (nyambi jadi entrepreneur) untuk kemudian membangun bisnis sendiri. Ayo para ibu rumah tangga, jadilah womenpeneur dengan kecil-kecilan memulai bikin toko online sambil tetap dekat dengan si kecil. Ayo para sarjana jangan jadi pengangguran, jadilah pencipta lapangan kerja dengan menjadi entrepreneur mulia.
Angka itu sekaligus juga menjadi treshold mulai siknifikannya jumlah kelas menengah di Indonesia. Saat ini jumlah mereka (menurut Bank Dunia dengan kriteria pengeluaran $2-20 perhari) telah mencapai 134 juta, lebih dari 50% jumlah penduduk kita. Jumlah kelas menengah yang siknifikan akan menjadi pendorong perkembangan ekonomi yang luar biasa. Lapis kelas menengah yang kokoh ini memilki peran strategis baik dari sisi konsumsi (demand) berupa terbentuknya pasar yang besar, maupun dari sisi produksi (supply) karena mereka berpotensi menjadi entrepreneur yang menjadi driver pertumbuhan.
#Bangsa Penikmat
Saya suka dengan istilah yang digunakan oleh pak Sidharta (akun Twitter: @sydsalesman) salah satu dosen saya di KulTwit yang juga seorang pakar retail consumer mengenai fenomena Consumer3000. Dia menyebut bangsa kita ini sebagai “bangsa penikmat”, karena itu dia mempopulerkan hastag #bangsapenikmat di Twitter. Istilah itu dia ciptakan sebagai bentuk kekhawatiran di tengah bangkitnya kelas menengah Indonesia, kita hanya menjadi pasar bagi produk-produk branded luar negeri. Kalau demikian halnya, maka kita tak akan menjadi tuan rumah di negeri sendiri, kita tak akan bakal menjadi bangsa besar.
Kemunculan Consumer3000 membangun optimisme luar biasa bagi kita karena kekuatan konsumen yang besar akan menjadi kekuatan pasar yang sangat besar bagi produk-produk kita. Skenarionya menjadi lain jika kekuatan pasar itu hanya dinikmati oleh produk-produk asing. Kalau begitu maka potensi konsumsi domestik tersebut tidak bisa maksimal digunakan untuk menggerakkan industri dalam negeri kita. Karena alasan itulah dalam kolom minggu lalu saya menekankan pentingnya “nasionalisme konsumen” agar kita mencintai produk-produk nasional seperti halnya yang terjadi di negara-negara berkarakter seperti Korea atau Jepang.
#Bangsa Pencipta
Dengan background seperti di atas, saya berpikir kita harus bisa menjadikan bangsa ini sebagai “bangsa pencipta” tidak hanya sekedar “bangsa penikmat”. Kita harus menjadi “bangsa produktif” tak hanya menjadi “bangsa konsumtif”. Kita harus menjadi “subyek” atau pelaku aktif, tidak hanya sekedar menjadi “obyek” alias menjadi sasaran pasar produk-produk luar negeri. Kita harus menjadi “tuan rumah” di negeri sendiri, bukannya menjadi “tawanan” dari produk-produk asing.
Harus diingat, potensi kelas menengah yang luar biasa tak hanya mendatangkan peluang dari sisi pasar (kelas menengah sebagai konsumen), tapi juga dari sisi produksi (kelas menengah sebagai produsen). Mereka bisa menjadi aset bangsa yang luar biasa karena bisa menjadi laskar entrepreneur yang mampu menghasilkan produk dan layanan yang berdaya saing tinggi. Saya menyebut para entrepreneur dari kalangan kelas menengah ini dengan istilah: Entrepreneur3000. Dengan bekal kemampuan pemupukan modal yang tinggi dan pengetahuan/wawasan yang luar biasa mereka bisa menjadi pelaku usaha dan pencipta lapangan kerja yang sangat dibutuhkan bangsa ini.
Apabila sisi konsumsi (pasar) dan produksi (produk) ini bisa dimainkan secara cantik dan seimbang oleh kelas menengah Indonesia, maka saya optimis keajaiban ekonomi seperti yang dialami Cina bakal bisa diwujudkan negeri ini. Kita malu kalau hanya menjadi bangsa penikmat, kita juga harus menjadi bangsa pencipta yang kreatif dan berdaya saing.
#Entrepreneur Adalah Nasionalis
Seminggu lalu di blog ini saya menulis nasionalisme konsumen di tengah kebangkitan kelas menengah dan transisi Indonesia menjadi ekonomi dominan di dunia. Pada saat menulis kolom tersebut, terus terang saya agak ragu mengenai konsep nasionalisme konsumen. Kenapa? Karena tentu saja tidak bisa kita memaksakan diri memakai produk dalam negeri sedangkan produk dalam negeri itu kualitasnya amburadul. Tidak bisa produsen nasional menuntut konsumen kita menggunakan produk mereka sedang produk tersebut kualitasnya kelas kambing. Memaksa konsumen memakai produk dalam negeri kelas kambing itu namanya bukan nasionalisme.
Karena keraguan itu saya berpikir, nasionalisme harusnya didorong bukan dari sisi konsumen tapi dari sisi produsen, yaitu kaum entrepreneur kita. Karena itu saya punya definisi lain mengenai nasionalisme. Nasionalisme tak hanya merebut kembali kemerdekaan dari tangan penjajah. Nasionalisme tak hanya sekedar tiap tahun ikutan upacara bendera 17 Agustus. Kita menempa diri menjadi entrepreneur yang mampu memproduksi produk-produk hebat berdaya saing tinggi adalah juga nasionalisme.
Jhonny Andrean yang sukses mengembangkan J.Co yang kompetitif melawan Starbucks dan Dunkin Donuts (yang katanya America's No.1 Donuts) bagi saya adalah nasionalis. Andrew Darwis yang sukses membangun portal bisnis hebat seperti Kaskus adalah nasionalis. Sukiyatno yang sukses menciptakan es teller 77 yang disukai rakyat kebanyakan adalah nasionalis. Dyah Narendra Dewi, salah satu pemenang Womenpreneur Award dimana saya ikutan menjadi juri, adalah nasionalis karena sukses membuat produk-produk kreatif berbahan kain tradisional lurik yang tak kalah dari produk fesyen branded impor. Yuswohady adalah nasiolis marketer sejati. Dia Indonesia banget! Mengikuti jejak sang guru Hermawan Kartajaya yang lebih dulu menjadi nasionalis sejati, dua orang ini menjadi menjadikan marketing layaknya ilmu yang lahir dan besar di Indonesia. Bahkan di dunia politik, kita punya Dahlan Iskan dan Joko Widodo yang nasionalis sejati, bukan hanya karena ESEMKA, tapi juga kinerjanya, minimal sampai detik ini.
Karena itu melalui tulisan ini saya ingin menebar virus entrepreneurship ke siapapun yang membacanya. Ayo tunggu apa lagi, jadilah entrepreneur, jadilah nasionalis sejati. Ayo para pekerja kantoran, mulailah menjadi amfibi (nyambi jadi entrepreneur) untuk kemudian membangun bisnis sendiri. Ayo para ibu rumah tangga, jadilah womenpeneur dengan kecil-kecilan memulai bikin toko online sambil tetap dekat dengan si kecil. Ayo para sarjana jangan jadi pengangguran, jadilah pencipta lapangan kerja dengan menjadi entrepreneur mulia.
Bangsa ini menjadi besar kalau banyak dari kita menjadi entrepreneur nasionalis.Think Big Start Small-preneur...