Nasionalisme Konsumen
Posted: Rabu, 21 Desember 2011 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Management
0
Nasionalisme bukan hanya monopoli pejuang 45. Konsumen juga punya
nasionalisme. Bahkan harus memiliki super nasionalisme ketika bangsa ini
mulai merayap menjadi bangsa besar. Penduduk kita sudah mencapai 240
juta kelima terbesar di dunia, GDP kita telah mencapai Rp 7.500 triliun
dan tahun lalu untuk pertama kalinya dalam sejarah kita melampaui angka
ambang batas GDP/kapita $3000. Goldman Sachs bahkan memproyeksikan tahun 2050 Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi nomor 4 terbesar di dunia.
Bulan November-Desember ini saya banyak membaca dan menganalisa mengenai Marketing Outlook 2012. Satu hal yang menjadi insight di situ adalah optimisme bahwa kita bisa mengatasi dampak krisis Eropa yang sedang terkena penyakit kronis utang. Kenapa begitu? Karena kemandirian ekonomi kita saat ini semakin solid karena begitu powerful-nya konsumsi domestik (domestic consumption) kita.
Porsi konsumsi domestik di dalam GDP kita saat ini sudah mencapai angka 60-an persen. Nilainya sudah mencapai Rp 3500 triliun, sebuah angka yang luar biasa besar. Dan lebih menarik lagi, dari jumlah segede itu, porsi dari kalangan kelas menengah (middle-class consumer, yes Consumer 3000) mulai cukup siknifikan. Tingginya permintaan domestik itulah yang berpotensi menggerakkan industri dan perekonomian kita.
Ketika industri kita menggeliat, maka penyerapan tenaga kerja dan peningkatan daya beli masyarakat akan terdongkrak pula. Dan ketika daya beli naik, maka permintaan domestik yang makin besar ini semakin menggairahkan industri kita. Begitu seterusnya, sehingga pertumbuhan ekonomi ini akan semakin terdongkrak naik.
#Cinta Produk Indonesia
Tapi itu semua terwujud dengan satu catatan. Yaitu jika konsumsi domestik itu terserap oleh industri dan produk-produk lokal. Kalau konsumsi domestik itu diserap oleh barang-barang impor, maka sami mawon, yang maju berkembang bukannya industri dan produk-produk kita, tapi industri dan produk-produk asing. Dalam konteks ini kecintaan kepada produk-produk lokal menjadi krusial. Nasionalisme konsumen menjadi harga mati kalau bangsa ini ingin jadi bangsa besar.
Dulu jaman awal-awal pemerintahannya, Pak Harto pernah mengkampanyekan penggunaan produk dalam negeri bahkan sampai ada menterinya. Lha sekarang, ketika kota-kota besar Tanah Air disesaki dengan mal-mal yang menjajakan bejibun merek global, apakah ide ini masih relevan? Ketika McD dan KFC ekspansif melakukan penetrasi ke second city dan nantinya third city, apakah pemikiran ini masih nyambung?
Saya kira sampai kiamat sekalipun, nasionalisme konsumen akan tetap urgen dan justru makin relevan. Ini adalah bentuk kecintaan kepada negeri ini. Ini adalah bentuk penghargaan kepada potensi-potensi luar biasa negeri ini. Ini juga merupakan bentuk kepeduliaan pada masa depan negeri ini. Kalau kita tidak menghargai rendang dengan membelinya, lalu siapa? Kalau kita tidak menghargai gerabah Kasongan atau lurik Yogya dengan membelinya, lalu siapa? Kalau kita tidak menghargai jamu lokal dengan membelinya, lalu siapa? Alangkah indahnya jika ngantri sampai pingsan di Pacific Place beberapa minggu lalu itu bukan ngantri Blackberry Bold tergress, tapi ngantri rendang atau ngantri jamu gendhong mbok-mbok.
#Belajar dari Korea
Korea Selatan adalah negara yang hebat nasionalisme konsumennya. Negara ini memiliki merek-merek mobil Hyundai dan Kia yang awalnya punya imej medioker. Namun karena kekuatan nasionalisme konsumennya, saat ini mereka menjadi merek-merek global yang disegani di seluruh dunia. Kalau Anda ke Korea maka mobil yang lalu-lalang di jalan tak jauh dari merek Hyundai dan Kia. Sangat sedikit mobil-mobil Jepang atau Amerika-Eropa, bahkan masyarakat Korea agak anti pada mobil Jepang.
Begitu juga dengan ponsel, di Seoul Anda akan sulit menemukan merek ponsel selain Samsung dan LG. Mereka bangga membeli dan memiliki merek bikinan dalam negeri, tak hanya sebatas mobil dan ponsel, tapi juga elektronik, tekstil, makanan-minuman, hingga kerajinan. Hebatnya lagi, dengan semangat nasionalisme konsumen pula, mereka mempopulerkan ginseng, Tae Kwon Do, hingga K-pop (Korean pop) menjadi produk yang tak hanya populer di dalam negeri tapi juga moncer di seluruh dunia.
#Anak Tiri
Anda tentu kenal dengan Ibu Martha Tilaar. Bicara nasionalisme konsumen saya jadi teringat kisah Bu Martha yang sering diceritakan ke publik. Ini kisah mengenai sejarah masuknya produk-produk kosmetik Martha Tilaar di mal-mal di Jakarta. Kisah bermula ketika di pertengahan 1990-an Bu Martha ingin mendongkrak brand image produk kosmetiknya dengan hadir di mal-mal bergengsi di Jakarta.
Pada saat Bu Martha mengajukan permintaan kepada manajemen sebuah mal, permintaannya itu ditolak mentah-mentah. Alasannya, produk-produk kosmetik lokal tidak bisa masuk di mal tersebut, tidak level. Mendengar jawaban itu Bu Martha sedih bukan main. Saking kesalnya Bu Martha bilang ke staf manajemen: “Kamu ini tinggal dimana, kok produk bangsa sendiri nggak diterima!” Setelah bersitegang, akhirnya permintaan Bu Martha diluluskan, tapi dengan catatan: harus di lantai 4! “Karena lantai 1 hanya untuk yang branded-branded dari luar,” ujar si staf.
Kisah Bu Martha mungkin memang terjadi lebih dari 15 tahun yang lalu. Namun kalau kita melihat kenyataan sampai detik ini, sesungguhnya kondisinya tidak berubah. Kalau kita amati lantai-lantai strategis mal di Jakarta, praktis semuanya didominasi oleh produk branded dari luar negeri. Produk lokal cukup puas ada di lantai 4 atau 5. Atau kalaupun ada di lantai bawah, tempatnya ngumpet di belakang. Produk lokal menjadi anak tiri di negerinya sendiri.
#3M
Saya paling suka 3M-nya Aa Gym. Karena itu untuk membangkitkan nasionalisme konsumen saya pikir tidak muluk-muluk cukup pakai tips:
Saya memulainya dari makan ikan. Harap para pembaca tahu, sejak beberapa minggu terakhir ini saya paling doyan makan ikan. Kalau meminjam tagline-nya Sosro: “Apapun makanannya, lauknya pasti ikan.”
Kenapa rupanya? Bulan lalu saya ikut seminar bareng dengan sahabat lama saya. Katanya: “Makan ikan itu lebih nasionalis daripada makan daging sapi”. Kenapa begitu? Ya karena ikan itu berlimpah tersedia di bumi pertiwi, dipancing dan dijaring para nelayan kita. Sementara daging sapi harus diimpor dari Australia dan Selandia baru, terlalu banyak makan devisa.
Karena itu saya sarankan teman-teman yang mau menjadi nasionalis sekaligus pahlawan devisa seperti saya, pakailah tips 3M-nya Aa Gym dengan banyak-banyak makan ikan. Hehe…
Bulan November-Desember ini saya banyak membaca dan menganalisa mengenai Marketing Outlook 2012. Satu hal yang menjadi insight di situ adalah optimisme bahwa kita bisa mengatasi dampak krisis Eropa yang sedang terkena penyakit kronis utang. Kenapa begitu? Karena kemandirian ekonomi kita saat ini semakin solid karena begitu powerful-nya konsumsi domestik (domestic consumption) kita.
Porsi konsumsi domestik di dalam GDP kita saat ini sudah mencapai angka 60-an persen. Nilainya sudah mencapai Rp 3500 triliun, sebuah angka yang luar biasa besar. Dan lebih menarik lagi, dari jumlah segede itu, porsi dari kalangan kelas menengah (middle-class consumer, yes Consumer 3000) mulai cukup siknifikan. Tingginya permintaan domestik itulah yang berpotensi menggerakkan industri dan perekonomian kita.
Ketika industri kita menggeliat, maka penyerapan tenaga kerja dan peningkatan daya beli masyarakat akan terdongkrak pula. Dan ketika daya beli naik, maka permintaan domestik yang makin besar ini semakin menggairahkan industri kita. Begitu seterusnya, sehingga pertumbuhan ekonomi ini akan semakin terdongkrak naik.
#Cinta Produk Indonesia
Tapi itu semua terwujud dengan satu catatan. Yaitu jika konsumsi domestik itu terserap oleh industri dan produk-produk lokal. Kalau konsumsi domestik itu diserap oleh barang-barang impor, maka sami mawon, yang maju berkembang bukannya industri dan produk-produk kita, tapi industri dan produk-produk asing. Dalam konteks ini kecintaan kepada produk-produk lokal menjadi krusial. Nasionalisme konsumen menjadi harga mati kalau bangsa ini ingin jadi bangsa besar.
Dulu jaman awal-awal pemerintahannya, Pak Harto pernah mengkampanyekan penggunaan produk dalam negeri bahkan sampai ada menterinya. Lha sekarang, ketika kota-kota besar Tanah Air disesaki dengan mal-mal yang menjajakan bejibun merek global, apakah ide ini masih relevan? Ketika McD dan KFC ekspansif melakukan penetrasi ke second city dan nantinya third city, apakah pemikiran ini masih nyambung?
Saya kira sampai kiamat sekalipun, nasionalisme konsumen akan tetap urgen dan justru makin relevan. Ini adalah bentuk kecintaan kepada negeri ini. Ini adalah bentuk penghargaan kepada potensi-potensi luar biasa negeri ini. Ini juga merupakan bentuk kepeduliaan pada masa depan negeri ini. Kalau kita tidak menghargai rendang dengan membelinya, lalu siapa? Kalau kita tidak menghargai gerabah Kasongan atau lurik Yogya dengan membelinya, lalu siapa? Kalau kita tidak menghargai jamu lokal dengan membelinya, lalu siapa? Alangkah indahnya jika ngantri sampai pingsan di Pacific Place beberapa minggu lalu itu bukan ngantri Blackberry Bold tergress, tapi ngantri rendang atau ngantri jamu gendhong mbok-mbok.
#Belajar dari Korea
Korea Selatan adalah negara yang hebat nasionalisme konsumennya. Negara ini memiliki merek-merek mobil Hyundai dan Kia yang awalnya punya imej medioker. Namun karena kekuatan nasionalisme konsumennya, saat ini mereka menjadi merek-merek global yang disegani di seluruh dunia. Kalau Anda ke Korea maka mobil yang lalu-lalang di jalan tak jauh dari merek Hyundai dan Kia. Sangat sedikit mobil-mobil Jepang atau Amerika-Eropa, bahkan masyarakat Korea agak anti pada mobil Jepang.
Begitu juga dengan ponsel, di Seoul Anda akan sulit menemukan merek ponsel selain Samsung dan LG. Mereka bangga membeli dan memiliki merek bikinan dalam negeri, tak hanya sebatas mobil dan ponsel, tapi juga elektronik, tekstil, makanan-minuman, hingga kerajinan. Hebatnya lagi, dengan semangat nasionalisme konsumen pula, mereka mempopulerkan ginseng, Tae Kwon Do, hingga K-pop (Korean pop) menjadi produk yang tak hanya populer di dalam negeri tapi juga moncer di seluruh dunia.
#Anak Tiri
Anda tentu kenal dengan Ibu Martha Tilaar. Bicara nasionalisme konsumen saya jadi teringat kisah Bu Martha yang sering diceritakan ke publik. Ini kisah mengenai sejarah masuknya produk-produk kosmetik Martha Tilaar di mal-mal di Jakarta. Kisah bermula ketika di pertengahan 1990-an Bu Martha ingin mendongkrak brand image produk kosmetiknya dengan hadir di mal-mal bergengsi di Jakarta.
Pada saat Bu Martha mengajukan permintaan kepada manajemen sebuah mal, permintaannya itu ditolak mentah-mentah. Alasannya, produk-produk kosmetik lokal tidak bisa masuk di mal tersebut, tidak level. Mendengar jawaban itu Bu Martha sedih bukan main. Saking kesalnya Bu Martha bilang ke staf manajemen: “Kamu ini tinggal dimana, kok produk bangsa sendiri nggak diterima!” Setelah bersitegang, akhirnya permintaan Bu Martha diluluskan, tapi dengan catatan: harus di lantai 4! “Karena lantai 1 hanya untuk yang branded-branded dari luar,” ujar si staf.
Kisah Bu Martha mungkin memang terjadi lebih dari 15 tahun yang lalu. Namun kalau kita melihat kenyataan sampai detik ini, sesungguhnya kondisinya tidak berubah. Kalau kita amati lantai-lantai strategis mal di Jakarta, praktis semuanya didominasi oleh produk branded dari luar negeri. Produk lokal cukup puas ada di lantai 4 atau 5. Atau kalaupun ada di lantai bawah, tempatnya ngumpet di belakang. Produk lokal menjadi anak tiri di negerinya sendiri.
#3M
Saya paling suka 3M-nya Aa Gym. Karena itu untuk membangkitkan nasionalisme konsumen saya pikir tidak muluk-muluk cukup pakai tips:
“mulai dari diri sendiri; mulai dari hal kecil; mulai dari sekarang juga!”
Saya memulainya dari makan ikan. Harap para pembaca tahu, sejak beberapa minggu terakhir ini saya paling doyan makan ikan. Kalau meminjam tagline-nya Sosro: “Apapun makanannya, lauknya pasti ikan.”
Kenapa rupanya? Bulan lalu saya ikut seminar bareng dengan sahabat lama saya. Katanya: “Makan ikan itu lebih nasionalis daripada makan daging sapi”. Kenapa begitu? Ya karena ikan itu berlimpah tersedia di bumi pertiwi, dipancing dan dijaring para nelayan kita. Sementara daging sapi harus diimpor dari Australia dan Selandia baru, terlalu banyak makan devisa.
Karena itu saya sarankan teman-teman yang mau menjadi nasionalis sekaligus pahlawan devisa seperti saya, pakailah tips 3M-nya Aa Gym dengan banyak-banyak makan ikan. Hehe…
“Hidup nelayan Indonesia!!!”
Think Big Start Small...