#Konsumen Narsis

Posted: Selasa, 31 Januari 2012 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Akhir 2010 saat guru marketing saya, Mas Siwo, mengintroduksi terminologi #Consumer3000, dan dalam beberapa kali diskusi, kami pun sudah sering mengatakan bahwa salah satu ciri dari konsumen gaya baru Indonesia ini adalah terhubung satu sama lain (connected). Dua ciri yang lain adalah, mereka berdaya beli tinggi (high buying power) dan berpengetahuan (knowledgable).

Bagi yang belum tahu, Consumer 3000 adalah istilah yang dipakai untuk menyebut konsumen kelas menengah (middle-class consumers) di Indonesia yang memiliki nilai-nilai (values), perilaku (behavior) dan sikap (attitude) yang unik dan berbeda dengan segmen konsumen lain. Mereka bisa terhubung satu sama lain dan gampang berkomunitas karena hadirnya social technologies seperti SMS, BBM, Facebook, Twitter, atau blog.

Fenomena connected customers adalah fenomena pemasaran baru yang begitu marak perkembangannya bak luapan tsunami sejak 5 tahun terakhir. Terhubungnya konsumen merubah secara fundamental keseluruhan nilai-nilai, perilaku, dan sikap konsumen Indonesia. Fenomena baru ini (menggunakan terminologi Rhenald Kasali) menjadikan “DNA” konsumen Indonesia berubah total. Fenomena baru ini membuat “isi otak” konsumen Indonesia mengalami “rebooting”, memori lama terhapus, kemudian terisi dengan hal-hal yang sama sekali baru.

2AM @ 7-Eleven

Posted: Rabu, 25 Januari 2012 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Jam di dinding menunjukkan pukul dua pagi lebih lima menit. Suasana lantai dua 7-Eleven Kelapa Gading hangat. Saya (yang kesempatan itu diajak seorang teman) cari tempat duduk di bawah, tak satupun kursi kosong tersisa. Naik ke lantai dua, nyaris semua meja terisi. Untung masih ada satu-dua kursi yang menghadap jendela kosong. Suasana agak gaduh, sebagian besar ABG. Ada yang lagi chit-chat, mengerjakan tugas kuliah, ada yang serius meeting, ada yang baca novel Harry Potter seri terbaru, tak ketinggalan, ada juga yang bengong.

Saya sudah nggak muda lagi, tapi boleh dong berlagak ABG. Karena itu saya pesan Chitato plus mengambil keju cair yang disediakan gratis. Kelakuan kampung saya keluar, itu keju diambil sebanyak mungkin untuk melumuri keping-keping Chitato renyah. Untuk pilihan minum, favorit saya adalah soda beku khas 7-Eleven, Slurpee aneka rasa yang diaduk warna-warni. Cool. Di tengah lautan ABG saya serasa 15 tahun lebih muda.

Itulah potongan laporan pandangan mata saya beberapa waktu lalu di tempat nongkrong ABG paling keren di Jakarta saat ini. Dari 3 kali nongkrong (kebetulan saya 3 hari di Jakarta dan 3 hari berturut-turut diajak ke tempat ini) di 7-Eleven dan bergumul dengan konsumen on the spot, saya menemukan banyak insight menarik mengenai gerai pendatang baru ini. Terus-terang saya penasaran kenapa 7-Eleven menjadi magnet yang luar biasa bagi konsumen.

Mari Menjadi Jokowi!

Posted: Minggu, 15 Januari 2012 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Sebelum demam mobil Esemka menyeruak di koran-koran beberapa hari lalu, terus terang selama ini saya berpikir bahwa membuat mobil nasional (mobnas) itu pekerjaan paling sulit di dunia. Kenapa begitu? Karena sudah berkali-kali bangsa ini merintis proyek mobnas tapi proses yang dilalui seperti benang ruwet dan ujung-ujungnya gagal hancur-lebur, persis banget kasus Bank Century.

Jalannya betul-betul berliku. Pertengahan 1990-an Mazda membuat MR alias Mobil Rakyat, lalu Habibie yang Menristek waktu itu merintis Maleo, kemudian Tommy Soeharto tampil dengan Timor, Bambang Trihatmojo tak mau kalah bikin Hyundai Accent, lalu Grup Bakrie dengan mobil B-97, terakhir PT Dirgantara Indonesia tak mau kalah merintis mini car Gang Car. Hampir semua rintisan mobnas itu pekat beraroma politik, ditekak-tekuk, dan akhirnya gagal total.

Mallism

Posted: Kamis, 05 Januari 2012 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Mallism atau kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “malisme” adalah istilah rekaan saya mengenai sebuah kepercayaan di kalangan kaum urban dalam memanjakan keinginan (wants) dan kebutuhan (needs) mereka di tempat keramat nan eksotik bernama mal. Istilah ini diilhami dari kata “animisme” (animism) dan “dinamisme” (dynamism) yang begitu saya hafal saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar di kampung.

Kenapa saya hafal? Karena pertanyaan, “Apa beda animisme dan dinamisme?” selalu saja keluar di setiap ujian mata pelajaran sejarah. Dan setiap kali pertanyaan itu keluar, saya selalu tepat menjawabnya. Anda penasaran ingin tahu jawaban itu? Setiap kali ujian multiple choice, jawaban cespleng inilah yang selalu saya pilih: “Animisme percaya pada roh-roh, sedang dinamisme percaya pada kekuatan gaib.”

Pada waktu SD dulu, guru sejarah saya mengajarkan bahwa di dalam animisme-dinamisme selalu ada kepercayaan yang diyakini pemeluknya, misalnya kepercayaan akan roh dan mahluk gaib. Di dalam animisme-dinamisme juga ada pemujaan, misalnya pemujaan kepada pohon keramat atau batu besar. Di dalam animisme-dinamisme juga selalu ada ritual-ritual, misalnya upacara persembahan berhala atau ritual pemberian sesaji.

Kalau animisme-dinamisme diikuti oleh manusia super-primitif, maka malisme dianut manusia super-modern, super-canggih, super-hedonis. Kalau animisme-dinamisme tumbuh subur di jaman paleolitikum, maka malisme tumbuh subur di jaman consumer 3000… sebut saja jaman “maleolitikum”. Di tengah perbedaan tersebut, animisme-dinamisme dan malisme memiliki persamaan mendasar. Ya, karena keduanya sama-sama memiliki tiga elemen: kepercayaan, pemujaan, dan ritual yang begitu khusu dijalankan para penganutnya.

Entrepreneur Nasionalis

Posted: Kamis, 05 Januari 2012 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Oktober 2010 untuk pertama kalinya guru saya Mas Siwo (Twitter: @yuswohady) memperkenalkan istilah Consumer3000 dan sejak itu di mana-mana (di seminar-seminar, di Twitter, di diskusi-diskusi, ngobrol dengan klien, di manapun) saya pun ikut-ikutan bicara memperkenalkan terminologi baru itu. Angka 3000 diambil karena angka tersebut merupakan angka ambang batas (treshold) GDP perkapita dimana suatu negara akan mencapai akselerasi perkembangan ekonomi (accelerated development) yang luar biasa. Harap diketahui sejak akhir tahun 2010, untuk pertama kali dalam sejarah negeri ini kita melampaui angka tersebut.

Angka itu sekaligus juga menjadi treshold mulai siknifikannya jumlah kelas menengah di Indonesia. Saat ini jumlah mereka (menurut Bank Dunia dengan kriteria pengeluaran $2-20 perhari) telah mencapai 134 juta, lebih dari 50% jumlah penduduk kita. Jumlah kelas menengah yang siknifikan akan menjadi pendorong perkembangan ekonomi yang luar biasa. Lapis kelas menengah yang kokoh ini memilki peran strategis baik dari sisi konsumsi (demand) berupa terbentuknya pasar yang besar, maupun dari sisi produksi (supply) karena mereka berpotensi menjadi entrepreneur yang menjadi driver pertumbuhan.