Principle 5. Love Is Caring

Posted: Senin, 20 Juni 2011 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Ini adalah hari keenam saya menulis seri tulisan Credit Union Marketing Is Love Marketing, sebuah konsep mengenai pemasaran melalui CU. Melalui konsep ini saya ingin mangatakan bahwa strategi pemasaran Anda di CU akan sukses kalau Anda terus menebar cinta kepada pelanggan di CU. Seperti telah saya uraikan sebelumnya, konsep ini mengandung 8 prinsip cinta yaitu: memberi (giving), ngobrol (conversation), mendengar (listening), berbagi (sharing), peduli (caring), empati (empathy), kepercayaan (trust), pertemanan (friendship). Hari ini giliran saya mengulas prinsip yang kelima yaitu: ‘Love Is Caring’.

Hakikat cinta adalah peduli, ‘caring’. Ketika Anda tidak ‘care’ kepada istri-suami, pacar, anak, kerabat, atau siapapun yang Anda cintai, maka sesungguhnya Anda tidak mencintai mereka. Begitupun jika Anda tidak ‘care’ dengan pelanggan dan anggota Anda di CU, maka sesungguhnya Anda tidak mencintai mereka.

Banyak kalangan yang mengatakan marketing di CU dikatakan sukses jika kita punya puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan jutaan anggota. Saya bilang salah besar. Tak ada gunanya kita punya ratusan ribu anggota jika kita tak tahu siapa mereka, kita tak pernah curhat-curhatan dengan mereka, dan kita tak pernah mendengarkan mereka. Tak ada gunanya kita punya jutaan anggota jika tak pernah sedikitpun kita ‘care’ kepada mereka, dan tak pernah kita melayani mereka.



Act of Caring
Kepedulian haruslah mewujud dalam tindakan nyata. Tanpa ada sebuah tindakan kongkrit maka cinta Anda hanyalah cinta pepesan kosong belaka. ‘Love without positive act of caring is nothing’. Kita peduli pada Prita Mulyasari (…dan rasa keadilan yang dikebiri) dengan tindakan kongkrit mengumpulkan uang receh melalui #koinkeadilan atau @koinpeduliprita sebagai bentuk protes. Tony Hsieh, CEO Zappos, peduli dengan konsumennya dalam bentuk ‘extraordinary service’ yang dilakukan secara personal melalui Twitter.

Beberapa waktu lalu, seorang mahasiswa kita di Australia, Teguh Iskanto, menuliskan ‘pengalaman pahit’-nya berdialog dengan orang-orang terhormat anggota DPR yang sedang berkunjung di Australia. Si mahasiswa dengan sangat detail menceritakan kronologi dialog yang diwarnai beberapa insiden memalukan, salah satunya mengenai ‘email bodong’ anggota dewan. Saya melihat aksi sang mahasiswa adalah bentuk ‘extraordinary love’ melalui sebuah tindakan kongkrit yang membuka mata kita semua betapa memprihatinkannya kinerja wakil rakyat kita.

Saya menyakini maksud si mahasiswa bukanlah untuk mendeskreditkan, memperolok, atau mempermalukan para anggota dewan yang terhormat. Tapi justru sebaliknya, secara tulus dilandasi kepedulian luar biasa, ‘caring’, kepada DPR dan Indonesia yang lebih baik. Inilah cinta tulus seorang mahasiswa kepada negerinya. Justru ketika si mahasiswa tidak cinta, maka ia akan cuek-bebek, mati rasa… dan mengatakan 'emang gua pikirin!!!'. ‘Without action, even the greatest loves can die.’

Credit Union Adalah Medium Peduli
Kata Tony Hsieh, ‘Twitter makes me think about how to make a positive impact on other people’s lives’. Itu kalau Twitter sebagai sebuah media jejaring sosial dan komunikasi. Maksud Tony tak lain adalah bahwa Twitter adalah medium yang hebat untuk membantu orang lain: ‘medium to help others’. Nah, bukankah CU juga seharusnya demikian? CU adalah medium untuk peduli. Celakanya, tips sederhana dari Tony ini jarang sekali dilakukan merek-merek kita di tanah air, termasuk di antaranya CU.

Coba saja Anda berselancar menelusuri ‘timeline’ dari akun Twitter atau Facebook merek-merek di Indonesia, termasuk juga info tentang CU. Maka pasti Anda akan menjumpai ‘timeline’ yang isinya didominasi jualan, jualan, dan jualan. Ada yang ngecap mengenai keunggulan produk; ada yang promosi program dan event pemasaran yang sedang mereka kampanyekan; ada yang getol membombardir konsumen dengan sales promo yang meletihkan otak. Bahkan termasuk memproklamirkan kehebatan CU-nya sendiri dengan berbagai hal yang membuat otak kita menjadi ‘stag’, jenuh, dan kadang sampai pada level muak. Mereka masih menganggap Twitter atau Facebook adalah ‘TV mini’, ‘Radio mini’, atau ‘koran mini’ untuk nge-‘blast’ pesan produk. Masih jarang dari mereka yang menggunakan Twitter atau Facebook sebagai ‘contact point’ untuk layanan pelanggan (customer service, customer care).

Ingat, Twitter, Facebook, bahkan YouTube bisa memainkan peran sebagai unit ‘mini CS/CC’, ‘micro helpdesk’; atau ‘mini call center’ yang sangat efektif. Comcast (@ComcastCares) adalah operator telekomunikasi terbesar di Amerika yang dianggap sebagai model kesuksesan CS dengan menggunakan Twitter. Melalui akun Twitter-nya Comcast menyelesaikan seluruh problem konsumen mulai dari koneksi yang ngadat, ‘billing’ yang ngawur, menerima komplain dan ‘feedback’ dari konsumen, hingga menyampaikan permintaan maaf kepada konsumen. Semua dilakukan secara ‘sincere’, ‘personalized’ dan sangat ‘human’ dengan menggunakan platform 140 karakter.

Selling through Serving

Karena itu saya melihat, mestinya perusahaan-perusahaan kita apalagi yang berbasis layanan seperti operator telekomunikasi, bank, hotel, rumah sakit, atau airlines, dan lagi-lagi CU juga semestinya seperti ini, mulai secara kreatif menggunakan Twitter, Facebook, dan media sosial lainnya sebagai unit CS/CC, tak hanya sekedar ‘tools’ untuk mempromosikan produk. Ada keunggulan utama jika perusahaan menggunakan media publik seperti Twitter, Facebook, dan media sosial lainnya sebagai unit CS seperti yang dinikmati @ComcastCares. Apabila perusahaan melakukannya dengan tulus-ikhlas, maka setiap interaksi penyelesaian masalah (problem solving) dengan seorang pelanggan akan ‘dilihat’ dan ‘dirasakan’ oleh pelanggan lain. Setiap interaksi itu bisa menjadi ‘panggung pertunjukkan’ yang disaksikan seluruh pelanggan kita di Twitter atau media sosial lain yang kita gunakan. Inilah yang dalam teori ECS (excellent customer service) disebut sebagai ‘moment of truth’.

Tak hanya itu, ‘moment of truth’ itu akan mendorong pelanggan di Twitter atau media sosial lain untuk menceritakan (melakukan ‘mention’ dan ‘retweet’) ke pelanggan lain. Ketika ‘moment of truth’ itu menyebar begitu mudah layaknya wabah, maka ‘positive word of mouth’ akan terjadi. Dan ketika ini terjadi, pada gilirannya Anda akan mendapatkan berkah paling berharga dari pelanggan, yaitu: ‘authentic love’. Apa itu? ‘Authentic love’ adalah cinta yang Anda dapatkan dari pelanggan bukan karena si pelanggan mendapatkan ‘merchandise’ atau hadiah 1 milyar rupiah dari Anda; tapi cinta tulus yang muncul karena mereka merasakan bahwa merek atau perusahaan atau CU Anda ‘baik sekali’ dengan mereka.

Inilah yang disebut sebagai ‘selling through serving’. Dengan tulus melayani maka sesungguhnya Anda ‘jualan’ kepada pelanggan: jualan yang sangat halus tapi ampuh.

Ingat satu hal ini, jualan paling ampuh di Twitter atau media sosial lain bukanlah dengan memberikan diskon 70% atau hadiah undian mobil BMW. Tapi dengan memberikan ‘perhatian’ dan ‘kepedulian’ yang tulus; dengan ‘authentic love’; dengan ‘truthful caring’.

‘In CU-land, to SELL is to CARE!!!’

Bagaimana pendapat Anda?

0 komentar: