Perjalan Seribu Langkah Dimulai dari Langkah Pertama

Posted: Jumat, 25 Juni 2010 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0



1 Mei 2010, pagi...
Hari itu, di Indonesia, sensus nasional yang dilakukan sepuluh tahun sekali dimulai. Presiden dan semua kepala daerah, disensus pertama kali pagi itu. Dari semua data yang dikumpulkan secara populasi di seluruh Indonesia, akan didapatkan gambaran manusia Indonesia pada awal dekade baru, yaitu 2010 sampai 2019!

Sementara itu, di Shanghai, hari itu juga berlangsung pembukaan Shanghai Expo selama enam bulan. Slogannya adalah Better City, Better Life. Dahsyat! Shanghai seolah menobatkan diri sebagai ibukota dunia baru dalam dekade 2010-2019 ini.



Dulu, pada zaman Revolusi Industri, London dianggap sebagai ibukota dunia. Lantas, waktu ekonomi lebih bersifat moneter, ibukota dunia pindah ke New York. Sekarang, justru dengan makin menghebatnya Revolusi ICT, malah Shanghai yang jadi ibukota baru. Aneh, kan?

Silicon Valley hanya merangsang kreativitas dan pengembangan teknologi baru. Tapi, pasar terbesar justru ada di Asia. khususnya di Tiongkok! Padahal, dulu London (baca. Eropa) ya memang jadi penemuan teknologi industri yang baru sekaligus jadi pasar terbesar teknologi itu.

Teknologi tersebut akhirnya menciptakan over-supply di pihak produsen, sehingga mereka harus mencari pasar di luar Eropa. Value-creation yang terjadi karena teknologi industri akhirnya bisa dinikmati seluruh dunia. Artinya, memang ada value-created di sisi demand.

Bagitu juga dengan New York yang menciptakan pasar uang lewat financial engineering technology yang paling canggih. Sekarang, pasar terbesar produk dan servis ICT justru ada di Asia! Artinya, ada decoupling antara value-creation center dan value-creation market.

Saya melihatnya, hal itu terjadi antara lain karena 'kegagalan' pasar keuangan dalam hal transparansi nilai. Karena itu, value creation yang dijanjikan tidak menjadi value created di pasar.

Krisis Asia 1998 disebabkan adanya ketidakjujuran para pengusaha Asia dalam melakukan financial engineering. Banyak proyek di-mark-up supaya terlihat cantik dalam rangka mendapat pinjaman USD dengan bunga rendah. Akhirnya, aliran pinjaman dalam valuta asing itu malah banyak yang tidak dipakai dalam proyek, melainkan didepositokan dalam mata uang lokal. Selisih bunga itulah yang memberikan other income secara mudah bagi sebuah perusahaan.

Nah, waktu itu, Barat menghujat Asia sebagia manusia yang seolah tidak bermoral! Asia lantas sadar dan melakukan banyak perbaikan. Mereka bangkit melawan KKN dan justru berusaha kembali pada Asian values sesungguhnya yang penuh kejujuran.

Pada Krisis Global 2008, yang terjadi sebaliknya. Sekarang giliran Barat-lah (baca. Amerika) yang tidak jujur. Kalau di Asia, penyakit itu masiih diderita oleh para birokrat. Di Barat, malah banyak terjadi di perusahaan swasta, bahkan perusahaan publik! Mereka melakukan berbagai cara untuk 'menggelembungkan' aset supaya terlihat cantik, sehingga bisa diperdagangkan di pasar modal dengan harga tinggi. Berbagai produk keuangan derivatif pun ikut diciptakan tanpa melihat risiko untuk pasar.

Mereka hanya berusaha melakukan value creation di sisi supply dan tidak peduli pada value creation pada sisi demand. Apa yang terjadi pada era ICT ini? Justru terjadi transparansi! Hal tersebut tidak bida dibendung lagi. Karena itu, orang tidak hanya bisa menciptakan persepsi, tapi memang harus ada kenyataannya. Karena itulah, persepsi indah yang diciptakan di Wall Street akhirnya terkuak 'kebodongan'-nya. Dunia jadi sadar bahwa sudah banyak kebohongan di sana.

Bahkan, Presiden Obama pun yang begitu populer masih 'diganjal' senat untuk melakukan reformasi total. Itu menunjukkan bahwa sistem demokrasi akhirnya dipakai untuk mempertahankan hal yang salah.

Karena itulah, uang sekarang banyak meninggalkan Barat menuju ke Asia. Orang mulai mencari kejujuran itu di Asia karena ada value created yang sesungguhnya. Orang yang mau memakai kemajuan ICT untuk menciptakan persepsi bahwa perusahaannya cantik juga sudah hancur ketika peristiwa Dotcom Bubble beberapa tahun lalu. Jadi, kalau direnungi, ketika revolusi industri dimulai di Eropa dan London menjadi ibukota dunia, kita berada pada Era Kapitalis 1.0. Semua nilai tambah didapatkan dari rational power.

Teknologi industri bisa membuat sebuah produk jadi massal, sehingga cost bisa turun, sehingga bisa dijual lebih murah. Dengan demikian, ada value creation bagi produsen dan value created bagi konsumen.

Tapi, para pengusaha tidak puas. Karena itu, mulai masuk teknologi baru yang namanya ya financial engineering itu. Era Kapitalis 2.0!

Kekuatannya ada pada emotional power. Segala macam rekayasa akuntansi dilakukan dicampur dengan penciptaan persepsi pada produk-produk keuangan. Banyak orang, sampai sekarang pun, jadi kaya dengan cara seperti itu. Krisis Asia 1998 dan Krisis Global 2008 menjadi peringatan bahwa yang begitu tidak bisa berlanjut terus menerus.

Banyak yang kebablasan dan sekarang semua arsitekturnya hendak ditata ulang. Karena itu, New York yang sebelumnya bersinar menjadi redup kembali. Nah, sekarang memang Era Kapitalis 3.0, dimana ICT berjaya. Dotcom Boom yang akhirnya 'pecah' beberapa tahun lalu juga menjadi peringatan bahwa janganlah cara Kapitalis 2.0 dipakai pada era 3.0.

Mengapa?
Sebab, kekuatan Era Kapitalis 3.0 justru ada di spiritual power. Teknologi ICT yang akhirnya menghebohkan dengan kehadiran social media itu menghasilkan transparansi. 'Sing becik ketitik, sing olo ketoro!' Begitu pepatah Jawa bilang.

Amat sulit menyembunyikan kebenaran. Sudah tidak bisa hanya ada value creation pada produsen, tapi tidak value created pada konsumen. It does not work! Dan pasar yang siap dengan sifat seperti itu ya Asia.

Semua nabi dan guru spiritual lahir di Asia. Karena itu, seharusnya perbuatan baik sesama manusia juga ada di Asia. Hablum minallah, hamblum minannas! Percuma saja rajin beribadah kalau semua ajaran agama dari Tuhan, tidak dimaknai dengan kejujuran pada orang lain. Dunia sedang kembali mencari maknanya! The world is searching its meaning!

Nah, di situlah Asia menjadi pusatnya, bukan Barat lagi. Mereka di sana sudah terlalu jauh dari pusat. Tidak ada yang salah jadi kapitalis! Tanpa kapitalisme, dunia tidak bisa menghasilkan value creation. Tapi, masalahnya, juga harus ada value created yang baik dan benar pula untuk dunia. Bukankah dunia tidak cuma punya produsen dan pengusaha, tapi juga punya konsumen dan msyarakat secara keseluruhan. Dunia bukan cuma punya generasi sekarang, tapi juga punya generasi yang akan datang.

Karena itu pula, pengambilan keuntungan jangka pendek yang akan 'menghancurkan' dunia pada jangka panjang termasu tidak jujur. Kapitalis 3.0 tidak akan mengambil deviden sekarang, kalau memang diperlukan investasi untuk pelestarian masa depan.

Lihat, recall besar-besar dilakukan oleh Toyota di seluruh dunia saat ini membuktikan bahwa teknologi industri berbasis 1.0 juga harus jujur. Kalau ada cacat kualitas, berarti tidak ada value created seperti yang dijanjikan, produsen harus bertanggung jawab juga. Walaupun tidak ada rekayasa keuangan.

Kalau seorang marketer cuma berusaha membuat good product yang dijual dengan good price, dia baru Marketer 1.0. Kalau dia juga berusaha memuaskan customer dengan customer service yang baik, tingkatannya Marketer 2.0. Tapi, kalau sudah sampai ke human spirit, dalam arti tidak mbujuki, bahkan tidak hanya ngambil profit jangka pendek, dia sudah mencapai Marketer 3.0.

Kata kuncinya CARE, bukan lagi SERVICE!
Dua kata ini sangat berbeda! Karena itu, jangan hanya bisa mengubah nama departemen dari customer service menjadi customer care tanpa ngerti maksudnya. Servis masih 2.0, karena tidak peduli pada sustainability. Customer loyalty yang diciptakan hanya bersifat semu. Begitu sadar, customer malah akan tambah marah dan berbalik!

Saat ini, hanya CARE yang bisa karena sudah menyentuh human spirit customer. CARE pada customer, sesama manusia dan alam semesta! CARE pada masa kini dan masa mendatang!

Bagi Indonesia, hasil sensus nasional yang telah selesai kemarin itu sangat penting karena merupakan titik awal wajah Indonesia dalam menghadapi dekade yang baru dimulai 2010. Apapun hasilnya, Indonesia memerlukan Kapitalis 3.0 dan Marketer 3.0 dalam membawa bangsa yang kita cintai ini ke tingkat yang lebih tinggi.

Tidak mudah memang untuk terus meng-update diri dari 1.0 dan 2.0 ke 3.0. TAPI HARUS!

Saya ingin menutup artikel ini dengan mengutip judul artikel di atas. 'Perjalanan seribu langkah, dimulai dari langkah pertama...'

Kenapa ada titik-titiknya? Karena ada lanjutannya, 'Banyak orang yang sudah melakukan langkah pertama, namun langka sekali orang yang tidak pernah kehabisan bahan bakar untuk terus melangkah!'

Dan di 1 Mei 2010 itu saya mengikuti Markplus Festival di Surabaya, dan inilah melalui artikel inilah saya membagikannya pada sahabat-sahabat sekalian.

Bagaimana pendapat Anda? 'MULAI DARI DIRI SENDIRI, MULAI DARI YANG KECIL, DAN MULAI DARI SEKARANG!'

0 komentar: