0
Hidup Cuma Sekali, Mesti Sukses Dong!Begitu salah seorang kawan menegaskan prinsip hidup dan perjuangannya. Dan saya sangat terkesan. Pernyataannya mempesona. Saya bahkan terbius dengan kata-kata pendek itu. Ini suatu perumusan yang jenius. Sebuah cara mengetuk pintu otak yang ciami, rancak bana, anggun, sekaligus berwibawa. Ketukannya masuk ke belahan kiri, meluncur ke belahan kanan otak, lalu menukik menuju hati.
Bagaimana tidak? Ia mulai dengan menunjukkan kesadarannya. Ia sadar sekali bahwa hidup cuma sekali. Ya, hidup cuma sekali. Walau kita berkali-kali mandi, berkali-kali makan dan minum, berkali-kali tidur dan bangun, berkali-kali jatuh cinta atau patah hati, berkali-kali ganti baju-kaos-sepatu-sandal-handphone-motor-mobil-rumah, berkali-kali baca buku, berkali-kali menulis artikel, berkali-kali jalan-jalan kemana-mana, berkali-kali kena tipu atau justru menipu, berkali-kali dipukul atau memukul, berkali-kali sehat atau sakit, berkali-kali tertawa atau menangis, dan berkali-kali dalam bermacam-macam hal, tapi hidup tetap cuma satu kali saja.
Buat saya, pesona 'HCS, MSD!' - singkatan dari Hidup Cuma Sekali, Mesti Sukses Dong! tadi - bukan hanya karena soal 'sekali' itu. Soal yang lebih penting adalah bahwa yang sekali itu adalah 'hidup'. Kata pertama itu tidak tergantikan. Coba ganti dengan 'mati', sehingga menjadi Mati Cuma Sekali, Mesti Sukses Dong!. Pasti tidak nyambung, kan? Kata 'hidup' dalam 'HCS, MSD!' jelaslah tak tergantikan. Mau digantikan dengan kata apa, coba?
Kata 'hidup' mengingatkan saya pada Pam Stenzel, seorang anak yang lahir dari benih perkosaan di Amerika Serikat. Ia pernah memberikan kesaksian yang membuat hidup setiap orang yang mendengarkannya akan menjadi lebih hidup.
Dalam kesaksian yang beredar dalam format VCD diperalihan milenium yang lalu, ia berkata, 'Ayah biologisku adalah seorang pemerkosa. Aku bahkan tidak tahu apa kebangsaanku. Tapi aku tetap manusia dan punya nilai. Nilai hidupku tidak kurang sedikitpun dibandingkan dengan orang lain karena cara aku dikandung. Dan aku tidak layak dihukum mati akibat kejahatan ayahku. Aku sudah mendengar gelak tawa orang-orang. Di Minneapolis mereka berkata, 'Anak selalu diinginkan dan direncanakan. Dirimu adalah kesalahan.' Aku tidak percara itu, Aku percaya setiap anak diinginkan seseorang dan Tuhan mengasihinya... aku belum bertemu ibu kandungku. Ku harap suatu hari nanti bisa. Jika tidak bsa di bumi, mungkin di surga. Itu doaku sejak umur 4 tahun. Dan jika nanti kami bertemu, akan kugenggam tangannya dan berkata, betapa aku sangat mencintainya karena ia sangat mencintai aku. Ia cukup mencintaiku untuk memberiku hidup dan juga hadiah paling istimewa yang pernah diberikan kepadaku, yaitu keluargaku. Aku tidak tahu apa diriku hari ini jika ibu memutuskan untuk menggugurkanku. Aku amat bersyukur ia mencintaiku dan memberiku keluarga.'
Pam Stenzel nampaknya pantas menjadi guru saya. Ia menegaskan bahwa yang paling bernilai dalam hidup adalah hidup itu sendiri. Ini pelajaran yang luar biasa sekali. Hidup itu lebih penting dari kekayaan, dari popularitas, dari fasilitas, dari kegagalan, dari masalah, bahkan dari kesuksesan sekali pun. Banyak masalah masih mungkin diatasi kalau ada hidup. Kegagalan bisa diterjang kalau ada hidup. Daftarkan saja semua hal yang diinginkan, diangankan, dan diperbincangkan manusia dalam sejarah: pencarian hidup, perjalanan hidup, kekayaan hidup, fasilitas hidup, kebahagiaan hidup, keberhasilan hidup, kenikmatan hidup, dan sebagainya. Lalu coba bayangkan apa jadinya jika dalam semua hal yang diinginkan manusia itu ia kehilangan hidupnya sendiri. Masihkah ada nilainya semua itu? Apa arti kekayaan, nama besar, fasilitas hebat, dan keberhasilan spektakuler, jika orangnya sendiri sudah mati?
Hidup Cuma Sekali, Mesti Sukses Dong! Setuju, kan? Yang penting kalau mau sukses, jangan pakai cara nodong dong. Think Big Start Small...