Michael Jackson. Big Brand Small Character
Posted: Senin, 29 Juni 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Marketing
0
... pada lagu-lagunya yang bertempo lambat, pendengar jauh lebih bisa meraba-rasakan basah air mata Jacko yang menetes di sepanjang garis partitur karyanya ...
Akhir minggu lalu, saya memberikan motivasi kepada teman-teman mudika se-Bali dalam acara Jumpa Muda-Mudi Katholik se-Dekanat Bali Barat dan Bali Timur di dua tempat yang berbeda. Dalam kesempatan itu, tanpa pernah saya duga sebelumnya, saya memang telah mempersiapkan sebuah tema bagi mereka, heal the world, make a better place .... Sebuah tema yang terinspirasi oleh lagu kesukaan saya, Heal the World miliknya The King of Pop, Michael Jackson.
'Get lucky' ... Jumat sebelum berangkat menuju lokasi pertemuan, setelah lama tidak mendengar kabar tentang Michael Jackson, saya mendengarnya kembali ketika secara sepintas melihatnya di sebuah berita televisi. Ya, sudah lama tidak ada kabar tentang sang maestro ini. Dalam sejarah musik pop, tidak ada artis yang diolok-olok, dihina-dina, sesering Jacko, demikian dia lebih populer dipanggil. Lagu-lagu hit Jacko hingga awal tahun 90-an sungguh fantastis. Tapi di luar panggung, Jacko menjadi bulan-bulanan para jurnalis. Sehingga, di dunia seni, Jacko dikenal glorious. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, Jacko justru notorious.
Jika digabungkan, lengkaplah sudah, Jacko adalah figur mysterious...
Tersangka perundungan atau pelecehan seksual pada anak, manusia yang takut tua, bocah ingusan di tubuh dewasa, itulah beberapa sebutan untuk Jacko. Jacko pula, si pecinta aneh yang seakan kehilangan akal sehat ketika menikahi putri mendiang Elvis Presley, LIsa Presley.
Meninggalnya Jacko mengingatkan kita pada John Lennon yang tewas ditembak 19 tahun silam. Satu lagu yang dianggap sebaagi in memoriam bagi kematian tragis personel The Beatles itu adalah All You Need Is Love.
Walau nama Lennon dan McCartney tercatat sebagai pencipta All You Need Is Love, dari liriknya yang penuh kontradiksi, kita langsung tahu: itulah tipikal kata-kata gubahan John Lennon. Setiap kali ada kegetiran, ironi, kegalauan, dan setumpuk perasaan suram lain di dalam lagu-lagu The Beatles, itulah tampilan kreativitas yang berbalut dengan kepahitan hidup seorang John Lennon.
Menyematkan lagu dengan kematian sosok legenda juga dilakukan terhadap King of Rock'n Roll, Elvis Presley. Meninggal akibat overdosis 22 tahun lalu, dunia mengenang kematian Elvis dengan lagu My Way. Walau dalam pentas terakhirnya, Elvis masih berlagak konyol saat terlupa satu dua bait lirik My Way, itu hanya kelakar yang menyesakkan dada.
Saat itu audiens tetap takjub menyaksikan sang raja beratraksi di panggung. Tapi, dengan mata telanjang, terlihat betapa Elvis sakit parah. Lagu My Way pun terdengar seperti salam perpisahan. Itulah lambaian tangan terakhir penyanyi bersuara gospel yang melewati tahun demi tahun akhir hidupnya dalam kesepian.
Satu nama lagi, Freddie Mercury. The Great Pretender ternyata bukan lagu biasa. Belakangan publik sadar, The Great Pretender adalah sebuah pengakuan dari vokalis Queen itu. Sekian lama menyamarkan diri lewat penampilan maskulin, selubung kehidupan Freddie sebagai gay dan pengidap AIDS terbuka di masa-masa akhir hidupnya. Jadi, sungguh pantas bahwa The Great Pretender digumamkan oleh sekian juta pengagum Freddie saat maut menjemputnya tahun 1991.
Lewat lagulagu yang mereka nyanyikan, John Lennon, Elvis Presley, dan Freddie Mercury sudah menceritakan sisi paling pribadi yang mereka alami. All You Need Is Love, My Way, dan The Great Pretender laksana testimoni tentang chapter demi chapter kehidupan mereka. Mereka merintih sekaligus mencoba membebaskan dan membesarkan hati sendiri. Tidak hanya itu, John, Elvis, dan Freddie tanpa sadar seolah juga meramalkan kematian mereka.
Kini, hal yang sama terjadi pula pada Michael Jackson. Jacko bisa saja membuat penonton histeris dengan aksi teatrikalnya, seperti dalam lagu Black or White. Tapi, justru pada lagu-lagunya yang bertempo lambat, pendengar jauh lebih bisa meraba-rasakan basah air mata Jacko yang menetes di sepanjang garis partitur karyanya.
Ben, misalnya. Kita tahu lagu itu bercerita tentang seekor tikus. Tapi, kalau kita simak baik-baik, Jacko justru seperti bercerita tentang dirinya sendiri. Ben, kau selalu berkeliaran ke sana kemari. Tapi, tidak ada satu ruang pun yang menginginkanmu..., begitu pengakuan Jacko.
Juga, ada One Day in Your Life. Baris kata yang memancarkakn Jacko memandang dirinya sebagai sosok tak berharga namun tetap sudi memuliakan sesama.
Simak pula ketika Jacko bercerita tentang kesedihan dia untuk datang saat sahabat sedang ditimpa kesusahan. Mungkinkah lirik You are Not Alone itu sesungguhnya adalah harapan, bahkan permohonannya kepada kita, dan bukan janji yang dia sodorkan untuk kita? Sangat mungkin demikian.
Karena pada Will You Be There, Jacko justru merintih dengan penuh terus terang. Saat terbenam dalam kegelapan, ketika lunglai dalam keputusasaan, akankah engkau peduli? Akankah engkau ada di sini?
Pada nada dan bait melankolis seperti itulah, sosok Jacko yang sesungguhnya terpantul lebih nyata. Yaitu, Jacko yang sepanjang hayatnya tak berkeputusan memermak penampilan dan hidup dalam kemewahan infantil sebagai upaya bawah sadar untuk menjahit carut marut psikis akibat dera kehampaan dan kegersangan batin.
Wow... sungguh sebuah contoh big brand yang pernah ada karena karya Tuhan. Namun, karena small character-nya dia harus melantunkan sendiri setiap kepedihan yang dia rasakan sepanjang hidup. Tapi di balik itu, dia tetap masih bisa peduli pada sesama.
Dia bukan Obama, Oprah, atau Mandela yang tanpa topeng berkeinginan untuk mengubah dunia. Tapi dia mampu untuk menjadikan dunia di sekitarnya menjadi lebih baik ... Heal the World, Make a Better Place...
Selamat jalan, 'Ben'. You are Not Alone (again)...
Akhir minggu lalu, saya memberikan motivasi kepada teman-teman mudika se-Bali dalam acara Jumpa Muda-Mudi Katholik se-Dekanat Bali Barat dan Bali Timur di dua tempat yang berbeda. Dalam kesempatan itu, tanpa pernah saya duga sebelumnya, saya memang telah mempersiapkan sebuah tema bagi mereka, heal the world, make a better place .... Sebuah tema yang terinspirasi oleh lagu kesukaan saya, Heal the World miliknya The King of Pop, Michael Jackson.
'Get lucky' ... Jumat sebelum berangkat menuju lokasi pertemuan, setelah lama tidak mendengar kabar tentang Michael Jackson, saya mendengarnya kembali ketika secara sepintas melihatnya di sebuah berita televisi. Ya, sudah lama tidak ada kabar tentang sang maestro ini. Dalam sejarah musik pop, tidak ada artis yang diolok-olok, dihina-dina, sesering Jacko, demikian dia lebih populer dipanggil. Lagu-lagu hit Jacko hingga awal tahun 90-an sungguh fantastis. Tapi di luar panggung, Jacko menjadi bulan-bulanan para jurnalis. Sehingga, di dunia seni, Jacko dikenal glorious. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, Jacko justru notorious.
Jika digabungkan, lengkaplah sudah, Jacko adalah figur mysterious...
Tersangka perundungan atau pelecehan seksual pada anak, manusia yang takut tua, bocah ingusan di tubuh dewasa, itulah beberapa sebutan untuk Jacko. Jacko pula, si pecinta aneh yang seakan kehilangan akal sehat ketika menikahi putri mendiang Elvis Presley, LIsa Presley.
Meninggalnya Jacko mengingatkan kita pada John Lennon yang tewas ditembak 19 tahun silam. Satu lagu yang dianggap sebaagi in memoriam bagi kematian tragis personel The Beatles itu adalah All You Need Is Love.
Walau nama Lennon dan McCartney tercatat sebagai pencipta All You Need Is Love, dari liriknya yang penuh kontradiksi, kita langsung tahu: itulah tipikal kata-kata gubahan John Lennon. Setiap kali ada kegetiran, ironi, kegalauan, dan setumpuk perasaan suram lain di dalam lagu-lagu The Beatles, itulah tampilan kreativitas yang berbalut dengan kepahitan hidup seorang John Lennon.
Menyematkan lagu dengan kematian sosok legenda juga dilakukan terhadap King of Rock'n Roll, Elvis Presley. Meninggal akibat overdosis 22 tahun lalu, dunia mengenang kematian Elvis dengan lagu My Way. Walau dalam pentas terakhirnya, Elvis masih berlagak konyol saat terlupa satu dua bait lirik My Way, itu hanya kelakar yang menyesakkan dada.
Saat itu audiens tetap takjub menyaksikan sang raja beratraksi di panggung. Tapi, dengan mata telanjang, terlihat betapa Elvis sakit parah. Lagu My Way pun terdengar seperti salam perpisahan. Itulah lambaian tangan terakhir penyanyi bersuara gospel yang melewati tahun demi tahun akhir hidupnya dalam kesepian.
Satu nama lagi, Freddie Mercury. The Great Pretender ternyata bukan lagu biasa. Belakangan publik sadar, The Great Pretender adalah sebuah pengakuan dari vokalis Queen itu. Sekian lama menyamarkan diri lewat penampilan maskulin, selubung kehidupan Freddie sebagai gay dan pengidap AIDS terbuka di masa-masa akhir hidupnya. Jadi, sungguh pantas bahwa The Great Pretender digumamkan oleh sekian juta pengagum Freddie saat maut menjemputnya tahun 1991.
Lewat lagulagu yang mereka nyanyikan, John Lennon, Elvis Presley, dan Freddie Mercury sudah menceritakan sisi paling pribadi yang mereka alami. All You Need Is Love, My Way, dan The Great Pretender laksana testimoni tentang chapter demi chapter kehidupan mereka. Mereka merintih sekaligus mencoba membebaskan dan membesarkan hati sendiri. Tidak hanya itu, John, Elvis, dan Freddie tanpa sadar seolah juga meramalkan kematian mereka.
Kini, hal yang sama terjadi pula pada Michael Jackson. Jacko bisa saja membuat penonton histeris dengan aksi teatrikalnya, seperti dalam lagu Black or White. Tapi, justru pada lagu-lagunya yang bertempo lambat, pendengar jauh lebih bisa meraba-rasakan basah air mata Jacko yang menetes di sepanjang garis partitur karyanya.
Ben, misalnya. Kita tahu lagu itu bercerita tentang seekor tikus. Tapi, kalau kita simak baik-baik, Jacko justru seperti bercerita tentang dirinya sendiri. Ben, kau selalu berkeliaran ke sana kemari. Tapi, tidak ada satu ruang pun yang menginginkanmu..., begitu pengakuan Jacko.
Juga, ada One Day in Your Life. Baris kata yang memancarkakn Jacko memandang dirinya sebagai sosok tak berharga namun tetap sudi memuliakan sesama.
Simak pula ketika Jacko bercerita tentang kesedihan dia untuk datang saat sahabat sedang ditimpa kesusahan. Mungkinkah lirik You are Not Alone itu sesungguhnya adalah harapan, bahkan permohonannya kepada kita, dan bukan janji yang dia sodorkan untuk kita? Sangat mungkin demikian.
Karena pada Will You Be There, Jacko justru merintih dengan penuh terus terang. Saat terbenam dalam kegelapan, ketika lunglai dalam keputusasaan, akankah engkau peduli? Akankah engkau ada di sini?
Pada nada dan bait melankolis seperti itulah, sosok Jacko yang sesungguhnya terpantul lebih nyata. Yaitu, Jacko yang sepanjang hayatnya tak berkeputusan memermak penampilan dan hidup dalam kemewahan infantil sebagai upaya bawah sadar untuk menjahit carut marut psikis akibat dera kehampaan dan kegersangan batin.
Wow... sungguh sebuah contoh big brand yang pernah ada karena karya Tuhan. Namun, karena small character-nya dia harus melantunkan sendiri setiap kepedihan yang dia rasakan sepanjang hidup. Tapi di balik itu, dia tetap masih bisa peduli pada sesama.
Dia bukan Obama, Oprah, atau Mandela yang tanpa topeng berkeinginan untuk mengubah dunia. Tapi dia mampu untuk menjadikan dunia di sekitarnya menjadi lebih baik ... Heal the World, Make a Better Place...
Selamat jalan, 'Ben'. You are Not Alone (again)...