Kita Butuh Pemimpin, Bukan (Sekadar) Presiden
Posted: Selasa, 02 Juni 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Leadership
0
Sosok pemimpin ideal harus mampu bekerja, bukan untuk kepentingan golongan, kelompok, dan partainya lagi ...
Pemilu legislatif belum lama usai. Kini bangsa Indonesia dihadapkan pada kerja besar lainnya, yakni pemilihan presiden. Ya, dalam hitungan hari, rakyat Indonesia akan memilih presiden beserta wakil presidennya, yang diharapkan menjadi pemimpin. Sosok yang diharapkan mampu menggerakkan seluruh sumber daya yang ada, dalam mencapai tujuan berbangsa dan bernegara.
Membicarakan perkara kepemimpinan, pada masa-masa menjelang pemilihan presiden seperti, tidak akan lepas dari perkara siapa sosok yang akan menjadi pemimpin berikutnya. Dia akan meneria tongkat estafet dari pemerintahan sekarang.
Jauh-jauh hari, di masyarakat, berkembang perdebatan tentang siapa yang akan menjadi pemimpin berikutnya, apakah seorang sipil atau militer, tua-muda, muslim-nonmuslim, atau Jawa-luar Jawa. Diskursus berlatar belakang kepentingan dan pengerucutan primordialisme (etnis, agama, asal daerah, dan jenis kelamin) seakan memperkecil peluang munculnya sosok pemimpin yang betul-betul dibutuhkan bangsa ini, dalam menghadapi tantangan lima tahun ke depan. Maka tak heran, jika kemudian muncul semacam apatisme di sebagian masyarakat akan lahirnya pemimpin ideal.
Dalam kadar tertentu, diskursus yang sudah lama berkembang itu mungkin wajar saja. Akan tetapi, pembicaraan seperti itu tidak boleh membuat kita lupa bahwa yang terpenting dalam hal mencari pemimpin bukan lagi soal 'siapa' melainkan pada 'apa' dan 'bagaimana' kriteria seorang pemimpin. Artinya, yang harus kita perhatikan bukan lagi sekadar tokoh atau pemimpin (leader), tapi kepemimpinan (leadership) itu sendiri. Oleh sebab itu, pertanyaan yang harus dijawab tuntas adalah bagaimanakah pemimpin yang secara idel layak menerima tongkat estafet kepemimpinan untuk menjawab tantantang kehidupan bangsa minimal lima tahun mendatang? Baik itu dari segi ekonomi, maupun sosial dan politik.
Pemimpin ideal sejatinya adalah pemimpin terbaik dalam makna yang obyektif, yang didasarkan pada kepentingan yang lebih besar, dalam hal ini bangsa dan negara. Sosok pemimpin ideal harus mampu bekerja, bukan untuk kepentingan golongan, kelompok, dan partainya lagi. Dia akan memperlakukan siapa saja secara adil. Siapapun yang datang (pendukung maupun bukan pendukung) adalah anak atau warganya, dan akan bertindak obyektif. Sosok ini dituntut memiliki kepribadian dan moral terpercaya, tidak pilih kasih, cinta tanah air, rela berkorban, berani menegakkan kebenaran dan keadilan, dan dapat menumbuhkan solidaritas.
Pemimpin Ideal
Berbicara pemimpin ideal merupakan sesuatu yang sangat rumit. Ini disebabkan setiap orang memiliki cara pandang sendiri tentang pemimpin ideal. Meskipun demikian, ada hal-hal yang berlaku umum, yang dapat diterima semua pihak tentang kualitas pemimpin.
Pertama, pemimpin ideal haruslah seorang yang memiliki tingkat intelektualitas memadai. Intelektualitas di sini, tentu saja bukan melulu soal gelar formal atau gelar akademis yang berderet panjang di depan atau di belakang nama. Intelektualitas dalam konteks ini adalah keluasan, kedalam, dan kepekaan wawasan seseorang dalam menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa. Keluasan, kedalaman, dan kepekaan wawasan ini pada akhirnya akan tercermin pada setiap kebijakan yang akan diambil.
Pemimpin yang cerdas akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang cerdas dan terukur, yang tentu saja setelah melalui analisa-analisa mendalan. Memang, tidak akan pernah ada sebuah kebijakan, apapun bentuknya, yang mampu menyenangkan hati semua orang. Apalagi, masyarakat Indonesia begitu majemuk, dengan beragam latar belakang tingkat ekonomi, pendidikan, atau hal-hal menyangkut primordialisme tadi. Namun dengan kecerdasan yang dimilikinya, dia tentu saja mampu mencari atau menetapkan sebuah kebijakan, yang mendekati keinginan sebagian besar rakyat, dengan resistensi yang minimal dari sebagian kecil sisanya. Pemimpin yang cerdas tidak akan mengalami kesulitan ketika menganalisis segala macam persoalan yang rumit sekalipun, untuk kemudian menemukan strategi penyelesaiannya.
Menurut Plato, filsuf Yunani abad ke-5 SM, sebuah masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang dipimpin seorang filsuf (philosoper king). Karena filsuf dinilai paling tahu tentang makna dan hakikat kehidupan, juga tentang hal-hal yang baik dan buruk. Di samping itu, hanya filsuf yang telah mencapai derajat tertinggi melalui pencapaian intelektual dan spiritual.
Dalam hal ini, Plato memiliki pandangan utopis tentang kepemimpinan. Karena menurutnya, yang berhak mendapatkan kehormatan lebih dari sekadar memimpin dan memerintah ialah manusia-manusia berkeutamaan, yang sempurna dari segala sisi.
Tetapi dalam konteks kepemimpin republik, Plato terlalu utopis ketika mengemukakan pandangannya tentang pemimpin ideal. Karena kesempurnaan yang dimaksud Plato hanya dimiliki malaikat, atau setidaknya manusia setengah dewa. Dengan demikian, tingkat intelektualitas yang harus dimiliki seorang pemimpin, tidak serta merta meniscayakan dirinya menjadi filsuf, apalagi malaikat.
Di luar itu, seorang pemimpin tidak cukup hanya mengandalkan intelektualitas. Prinsip keadilan juga merupakan hal mutlak dimiliki pemimpin, hal yang juga akan mejadi kesepakatan bersama tentang kriteria pemimpin ideal.
Konsep keadilan mempunyai arti penting dalam pembicaraan mengenai pemimpin ideal. Secara definitif, keadilan adalah 'memenuhi hal-hak orang lain'. Keadilan dapat juga sebagai 'menjalankan tugas masing-masing dan tidak campur tangan dalam tugas selainnya'.
Konsep adil, bukan berarti membagi kue ke setiap individu atau kelompok dengan bentuk dan potongan yang sama. Membagi kue dalam ukuran yang sama ke setiap individu atau kelompok, bisa jadi merupakan bentuk ketidakadilan, jika individu atau kelompok uang diberi itu memiliki kapasitas yang berbeda. Sebagai contoh, kebutuhan makan atau minum seorang balita tentua berbeda dengan orang dewasa.
Secara praktis, seorang pemimpin yang adil adalah yang selalu menetapkan keputusan berdasarkan undang-undang atau hukum yang berlaku dan selalu berpihak serta membela kaum lemah. Kemudian, seorang pemimpin dapat dikatakan adil ketika dia menyadari dirinya sebagai pelayan rakyat, yang diangkat berdasarkan prosedur demokratis dan konstitusional, dan hanya untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada rakyat. Karena, sesuai dengan prinsip demikrasi, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.
Ketiga, pemimpin ideal haruslah orang yang sudah menjadi dewasa. Kedewasaan tidak ditentukan oleh faktor fisik atau usia. Kedewasaan tidak sama sekali terkait dengan usia seseorang. Kedewasaan lebih terkait dengan kemampuan (ability).
Berbeda dengan kanak-kanak yang memiliki pengetahuan amat terbatas sehingga belum mampu menentukan sikap yang baik. Semakin dewasa seseorang, segala macam kemampuannya akan berkembang. Ia akan menjadi makin mampu, makin berdaya, dan makin merdeka dari hal-hal di luar dirinya. Bertumbuh menjadi dewasa berarti makin mampu bertanggung jawab atas diri sendiri dan menolak pendiktean atau pemaksaan kehendak dari apapun yang berada di luar dirinya. Dan yang terpenting, pemimpin yang dewasa adalah ia yang memiliki kepekaan atau sensitivitas yang makin tinggi terhadap dosa atau kesalahan yang sangat kecil sekalipun.
Dengan demikian, kepemimpinan yang ideal harus mencakup setidaknya, aspek-aspek intelektualitas dalam arti yang luas serta prinsip-prinsip keadilan yang memungkinkan seorang pemimpin untuk tidak menggunakan cara-cara tidak terpuji, seperti berbohong, menipu, dan menindas, selain faktor kedewasaan seorang pemimpin.
Jadi, kriteria 'siapa' yang harus menjadi pemimpin berikutnya tidak begitu penting, juga tidak terlalu penting memilih kriteria pemimpin dari aspek-aspek primordial. Bangsa ini terlalu besar untuk diserahkan kepada pemimpin yang tidak 'cerdas'. Dan, bayangkanlah apa yang akan terjadi seandainya kita 'menyerahkan' bangsa dengan potensi sumber daya yang luar biasa ini pada pemimpin kanak-kanak, yang masih harus belajar mendewasakan diri.
Kembali pada soal 'siapa', kini rakyat Indonesia dihadapkan pada tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden. Siapakah yang akan naik ke podium kepresidenan, akan ditentukan dalam pemilihan presiden 8 Juli mendatang. Pada akhirnya, rakyatlah yang akan menentukan, siapa presidennya. Semoga saja, siapapun yang terpilih nantinga, bukan hanya 'seorang presiden' tapi 'seorang pemimpin'.