Brand Portfolio Models
Posted: Jumat, 12 Juni 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Marketing
0
Pemasar mesti jeli dalam menetapkan strategi tersebut, yang disesuaikan dengan situasi pasar, tingkat persaingan, dan produk yang dipasarkan.
Pemasar benar-benar harus pintar. Pintar soal apa? Namanya pemasar, maka ia harus pintar di dalam menyusun dan menjalankan strategi pemasaran merek yang diusungnya. Jika tidak, langkahnya akan menjerumuskan mereknya sendiri. Ia mesti rela disebut sebagai pemasar yang gagal.
Tentu kita tidak mau dicap seperti itu, bukan? Kalau memang ya, di dalam mengelola merek, kita wajib menyiapkan secara serius. Tidak ada kata main-main di sini, karena bukan permainan yang mudah dan murah. Banyak ongkos yang perlu dipersiapkan.
Nah, untuk dimengerti, salah satu proses di dalam membangun merek adalah brand portfolio models. Ini merupakan tantangan bagi pemasar untuk memperkaya merek, bukan hanya single brand, tetapi membentuk sekumpulan merek. Tentu saja dengan kekuatan dan keterbatasan masing-masing merek tersebut.
Brand portfolio amat membantu pemasar dalam melakukan analisis; pertama, apakah merek kita sudah perlu ditambah portofolionya atau tidak? Kedua, bagaimana kita memprioritaskan merek kita? Ketiga, apakah kita terlalu banyak memiliki merek? Dan keempat, apakah merek kita ada yang arus dibuang?
Setidaknya ada dua model dasar terkait brand portfolio untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, yaitu house of brand dan branded house.
House of Brand
Model pertama ini merupakan model klasik tetapi yang paling powerful di dalam brand portfolio. Dengan model ini, maka perusahaan akan mempunyai sejumlah merek yang berbeda di tengah kategori produk yang sama. Meski begitu, setiap merek akan berdiri sendiri, memiliki segmentasi, target market, dan positioning yang tidak sama satu sama lain.
Keunggulan yang paling jelas dalam struktur house of brand ini adalah setiap merek mempunyai target market dan positioning sendiri-sendiri. Ini bisa dilakukan oleh perusahaan selama merek itu memiliki target yang jelas dan tidak melemahkan 'saudara' (merek lain)-nya. Strategi ini pernah dilakukan oleh Pepsi Co dengan meluncurkan Sierra Mist ketika melawan Coca Cola - Sprite. Pepsi sadar, kalau menggunakan merek utamanya untuk berperang dan masuk ke Lemon Line justru akan membingungkan konsumen.
Strategi semacam ini tergolong rendah risiko karena tidak bergantung pada satu merek tertentu. Kalau mengalami nasib sial pun, misalnya terjadi skandal merek, perusahaan masih bisa menggenjot kinerja merek lainnya. P&G, umpamanya, pada tahun 1980-an terpaksa harus kehilangan salah satu mereknya, Rely, karena dihubungkan dengan toxic shock syndrome, sebuah penyakit mematikan. Akan tetapi, matinya merek Rely tidak lantas mematikan nama besar P&G.
Sebagai pemasar, barangkali kita juga masih ingat kisah baik house of brand GM. Perusahaan raksasa Amerika Serikat itu memiliki sederet merek, antara lain Cadillac, Chevrolet, Buick, Pontiac, Hummer, Saturn, dan sebagainya. Merek-merek itu mulanya memiliki posisi yang jelas. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka menjadi semakin mirip sehingga perusahaan harus menjual mobil yang sama dalam rangkaian merek yang berbeda (merek redudansi). Sehingga, banyak konsumen yang bertanya, apa perbedaan antara Saturn dengan Chevrolet, keunikan Buick, dan keunggulan Cadillac? GM pun akhirnya 'membunuh' beberapa merek di antaranya.
Branded House
Model portofolio kedua ini bisa pula menjadi pilihan. Sistemnya, perusahaan hanya memakai satu merek untuk banyak kategori produk yang dipasarkan. Dell, contohnya, memiliki line up produk, mulai dari personal komputer, notebook, server, monitor, dan printer. Gampangnya, satu untuk semua.
Perusahaan lain yang menggunakan strategi semacam ini adalah Virgin Group. Kita bisa bayangkan, merek ini lahir tak lebih dari sekadar toko musik di London, Inggris. Sejalan dengan pertumbuhan yang membaik, merek tersebut kemudian dimanfaatkan untuk berekspansi ke lebel rekaman, industri penerbangan, dan telepon seluler. Semua kategori bisnis itu menggunakan satu nama, Virgin. Ini sama seperti yang dilakukan oleh produsen elektronik sekarang.
Keunggulan dari model ini, pemasar menjadi lebih fokus kepada pengelolaan merek. Artinya, karena hanya menggunakan satu merek, maka konsentrasi pemasar pasti diarahkan pada pengembangan merek tunggal tersebut. Selanjutnya, seluruh kegiatan pemasaran akan ditujukan ke satu merek tanpa harus menghabiskan banyak pengeluaran. Di model ini memang skala ekonomisnya akan lebih maksimal, jika dibandingkan dengan banyak merek.
Namun, jika memilih metode ini, pemasar cenderung kehilangan kemampuan diferensiasi. Keberadaan satu primary brand pasti akan menekan pengembangan merek tersebut ke kategori pasar yang lain. Ini dimungkinkan akibat kebijakan pemasar yang tidak mau pusing dengan banyak merek atau malas membuat merek baru. Jadi, pilihannya adalah menempelkan satu merek, termasuk ke produk baru. Hal ini akan melemahkan positioning merek tersebut.
Penerapan branded house mempunyai tantangan lain, yaitu tertahannya inovasi dan kreativitas karena pemasar tidak berusaha untuk mencari ide-ide kreatif baru dalam pengembangan merek. Yang akan terjadi justru perusahaan akan menilai suatu bisnis baru tidak berhasil karena merek tersebut sudah negatif. Padahal, merek yang dimaksud masih 'mengandung' ekuitas yang positif.
Perlu disadari bahwa perusahaan yang hanya memiliki satu merek, sejatinya berada dalam lingkup yang sangat berbahaya. Sebab, apabila satu merek itu terjerumus ke jurang kehancuran, karena tidak ada merek lain, maka tamatlah riwayat merek tersebut. Jadi amat jelas, model ini rentan dengan risiko, kesalahan, keterpurukan, dan kematian. Waspadalah, waspadalah!!
Dari dua brand portfolio models di atas, yakni house of brand dan branded house, pemasar tidak boleh salah dalam memilih strategi di antara keduanya. Pemasar mesti jeli dalam menetapkan strategi tersebut, yang disesuaikan denigan situasi pasar, tingkat persaingan, dan produk yang dipasarkan. Pilihlah yang terbaikk agar tidak mengikis kekuatan ekuitas merek kita.
Kita salah melangkah, hasilnya bisa 'salah kaprah'.
Think big, start small ...
Pemasar benar-benar harus pintar. Pintar soal apa? Namanya pemasar, maka ia harus pintar di dalam menyusun dan menjalankan strategi pemasaran merek yang diusungnya. Jika tidak, langkahnya akan menjerumuskan mereknya sendiri. Ia mesti rela disebut sebagai pemasar yang gagal.
Tentu kita tidak mau dicap seperti itu, bukan? Kalau memang ya, di dalam mengelola merek, kita wajib menyiapkan secara serius. Tidak ada kata main-main di sini, karena bukan permainan yang mudah dan murah. Banyak ongkos yang perlu dipersiapkan.
Nah, untuk dimengerti, salah satu proses di dalam membangun merek adalah brand portfolio models. Ini merupakan tantangan bagi pemasar untuk memperkaya merek, bukan hanya single brand, tetapi membentuk sekumpulan merek. Tentu saja dengan kekuatan dan keterbatasan masing-masing merek tersebut.
Brand portfolio amat membantu pemasar dalam melakukan analisis; pertama, apakah merek kita sudah perlu ditambah portofolionya atau tidak? Kedua, bagaimana kita memprioritaskan merek kita? Ketiga, apakah kita terlalu banyak memiliki merek? Dan keempat, apakah merek kita ada yang arus dibuang?
Setidaknya ada dua model dasar terkait brand portfolio untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, yaitu house of brand dan branded house.
House of Brand
Model pertama ini merupakan model klasik tetapi yang paling powerful di dalam brand portfolio. Dengan model ini, maka perusahaan akan mempunyai sejumlah merek yang berbeda di tengah kategori produk yang sama. Meski begitu, setiap merek akan berdiri sendiri, memiliki segmentasi, target market, dan positioning yang tidak sama satu sama lain.
Keunggulan yang paling jelas dalam struktur house of brand ini adalah setiap merek mempunyai target market dan positioning sendiri-sendiri. Ini bisa dilakukan oleh perusahaan selama merek itu memiliki target yang jelas dan tidak melemahkan 'saudara' (merek lain)-nya. Strategi ini pernah dilakukan oleh Pepsi Co dengan meluncurkan Sierra Mist ketika melawan Coca Cola - Sprite. Pepsi sadar, kalau menggunakan merek utamanya untuk berperang dan masuk ke Lemon Line justru akan membingungkan konsumen.
Strategi semacam ini tergolong rendah risiko karena tidak bergantung pada satu merek tertentu. Kalau mengalami nasib sial pun, misalnya terjadi skandal merek, perusahaan masih bisa menggenjot kinerja merek lainnya. P&G, umpamanya, pada tahun 1980-an terpaksa harus kehilangan salah satu mereknya, Rely, karena dihubungkan dengan toxic shock syndrome, sebuah penyakit mematikan. Akan tetapi, matinya merek Rely tidak lantas mematikan nama besar P&G.
Sebagai pemasar, barangkali kita juga masih ingat kisah baik house of brand GM. Perusahaan raksasa Amerika Serikat itu memiliki sederet merek, antara lain Cadillac, Chevrolet, Buick, Pontiac, Hummer, Saturn, dan sebagainya. Merek-merek itu mulanya memiliki posisi yang jelas. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka menjadi semakin mirip sehingga perusahaan harus menjual mobil yang sama dalam rangkaian merek yang berbeda (merek redudansi). Sehingga, banyak konsumen yang bertanya, apa perbedaan antara Saturn dengan Chevrolet, keunikan Buick, dan keunggulan Cadillac? GM pun akhirnya 'membunuh' beberapa merek di antaranya.
Branded House
Model portofolio kedua ini bisa pula menjadi pilihan. Sistemnya, perusahaan hanya memakai satu merek untuk banyak kategori produk yang dipasarkan. Dell, contohnya, memiliki line up produk, mulai dari personal komputer, notebook, server, monitor, dan printer. Gampangnya, satu untuk semua.
Perusahaan lain yang menggunakan strategi semacam ini adalah Virgin Group. Kita bisa bayangkan, merek ini lahir tak lebih dari sekadar toko musik di London, Inggris. Sejalan dengan pertumbuhan yang membaik, merek tersebut kemudian dimanfaatkan untuk berekspansi ke lebel rekaman, industri penerbangan, dan telepon seluler. Semua kategori bisnis itu menggunakan satu nama, Virgin. Ini sama seperti yang dilakukan oleh produsen elektronik sekarang.
Keunggulan dari model ini, pemasar menjadi lebih fokus kepada pengelolaan merek. Artinya, karena hanya menggunakan satu merek, maka konsentrasi pemasar pasti diarahkan pada pengembangan merek tunggal tersebut. Selanjutnya, seluruh kegiatan pemasaran akan ditujukan ke satu merek tanpa harus menghabiskan banyak pengeluaran. Di model ini memang skala ekonomisnya akan lebih maksimal, jika dibandingkan dengan banyak merek.
Namun, jika memilih metode ini, pemasar cenderung kehilangan kemampuan diferensiasi. Keberadaan satu primary brand pasti akan menekan pengembangan merek tersebut ke kategori pasar yang lain. Ini dimungkinkan akibat kebijakan pemasar yang tidak mau pusing dengan banyak merek atau malas membuat merek baru. Jadi, pilihannya adalah menempelkan satu merek, termasuk ke produk baru. Hal ini akan melemahkan positioning merek tersebut.
Penerapan branded house mempunyai tantangan lain, yaitu tertahannya inovasi dan kreativitas karena pemasar tidak berusaha untuk mencari ide-ide kreatif baru dalam pengembangan merek. Yang akan terjadi justru perusahaan akan menilai suatu bisnis baru tidak berhasil karena merek tersebut sudah negatif. Padahal, merek yang dimaksud masih 'mengandung' ekuitas yang positif.
Perlu disadari bahwa perusahaan yang hanya memiliki satu merek, sejatinya berada dalam lingkup yang sangat berbahaya. Sebab, apabila satu merek itu terjerumus ke jurang kehancuran, karena tidak ada merek lain, maka tamatlah riwayat merek tersebut. Jadi amat jelas, model ini rentan dengan risiko, kesalahan, keterpurukan, dan kematian. Waspadalah, waspadalah!!
Dari dua brand portfolio models di atas, yakni house of brand dan branded house, pemasar tidak boleh salah dalam memilih strategi di antara keduanya. Pemasar mesti jeli dalam menetapkan strategi tersebut, yang disesuaikan denigan situasi pasar, tingkat persaingan, dan produk yang dipasarkan. Pilihlah yang terbaikk agar tidak mengikis kekuatan ekuitas merek kita.
Kita salah melangkah, hasilnya bisa 'salah kaprah'.
Think big, start small ...