One Moment In Time (Bagian 2)
Posted: Kamis, 12 Maret 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Life
0
I want one moment in the time
When I'm more than I thought I could be,
when all of my dreams are a heart beat away,
and the answer are all up to me
Give me one moment in time
When I'm racing with you
Then in that one moment of time
I will feel, I will feel eternity...
Itulah sepenggal bait lagu One Moment In Time... yang sangat saya suka. Inilah awal dari imajinasi itu muncul.
Angin yang bertiup sepoi-sepoi ditemani mendung menggantung, menjadi masa yang sangat menyenangkan bagi setiap anak.
Di balik jendela sebuah rumah sederhana, setengah tembok setengah gedhek (anyaman bambu), tampak seorang bocah sibuk dan tergesa mengerjakan tugas, memasukkan satu persatu dari setumpuk kue koyah ke dalam kemasan plastik. Sesekali matanya menatap nanar ke luar jendela, melihat beraneka layang-layang yang mengangkasa dengan gagah dan indahnya.
Di kejauhan terdengar suara teriakan gembira anak-anak yang berlarian mengejar layangan putus. Sayangnya, keceriaan itu tidak bisa dengan segera dinikmati oleh si bocah. Di usianya yang masih belia, sudah menanti serentetan tugas, yakni harus membantu menjalankan roda perekonomian keluarga mereka. Dan saat godaan untuk ikut bermain begitu mendera, serta merta dia memohon kepada ibunya, 'Ibu, udah boleh main, Bu? Sebentaaar saja', pinta si bocah. 'Tidak! Beresion dulu kerjaanmu. Kalau belum beres jangan harap boleh main keluar!', tegas sang ibu. Walaupun tahu jawaban yang akan diterimanya, tetap saja si bocah merasa kecewa dan sedih. Sambil berusaha tegar, sebisanya dipercepat gerakan jari-jari kecilnya agar sesegera mungkin menyelesaikan tugas. 'Huaah!', teriaknya sambil melompat gembira, 'Selesai akhirnya! Aku pergi, Bu...'
Sambil berpamitan, bergegas diambilnya layang-layang dan benang bekas yang telah disiapkan, dan ia pun segera berlari keluar. Namun, baru beberapa langkah keluar rumah, mendung yang menggelantung tiba-tiba berganti dengan titik-titik air hujan yang semakin deras mengguyur bumi. Keceriannya segera berubah menjadi gumpalan kekecewaan yang menyakitkan. Penantian panjang dan kerja kerasnya untuk bisa bermain layang-layang, kembali kandas!
Di hari yang lain, saat keinginannya untuk bermain tercapai, rupanya si bocah terlalu asyik bergembira. Ia pun lupa waktu sehingga pulang lewat waktu yang ditentukan. Maka ... sambutan pukulan pun menantinya sebagai hukuman. Keceriaannya pun berubah menjadi ringis kesakitan dalam sekejab. 'Sana mandi dan cuci bajumu sendiri! Ibu sudah peringatkan beberapa kali, masih saja lupa waktu!', perintah sang ibu memberi tambahan hukuman.
Sekeluar dari kamar mandi dan menyelesaikan hukumannya, si bocah mendapati sepiring nasi goreng hangat dan secangkir panas air jeruk kesukaannya telah disiapkan ibu di meja makan.
Suatu saat ketika dewasa, si bocah sadar, setiap kesalahan ada konsekuensinya, tetapi tidak pernah mengurangi kadar sayang seorang ibu kepada anaknya.
Rasa sakit dan kekecewaan yang dialami si bocah dan membekas di hati, seringkali menimbulkan sebuah pertanyaan yang berkepanjangan, 'Mengapa aku harus dilahirkan di keluarga yang miskin? Hanya ingin bermain seperti anak-anak lainnya saja begitu susah'.
Waktu berlalu, tahun berganti. Metamorfosis telah terjadi! Perubahan diri dari seorang bocah menjadi pria dewasa yang terus berjuang, belajar, berjuang, dan belajar tanpa kenal lelah, telah berhasil mengubah kehidupan dengan luar biasa. Penderitaan, kemiskinan, kekecewaan, dan kesedihan yang bergelut di dalam diri seorang bocah, membuahkan sebuah tekad yang bulat untuk mengubah keadaan!
Dan kini, saat sukses telah ada di genggamannya, dimana saja, dia rajin membagi pengalaman perjuangannya, sekaligus terus belajar dan berjuang tanpa henti. Dia pun menjuluki dirinya sebagai ... Sang Pembelajar!
Sahabat sekalian,
Kisah di atas adalah cerita nyata. Sebuah momen di kehidupan yang begitu membekas, karena saat saya menuliskan ini, rasa yang dulu pernah ada, walaupun dengan kadar yang berbeda, denyutnya masih terasa. Gemblengan penderitaan dan himpitan kemiskinan adalah masa-masa pembelajaran terbesar di kehidupan saya. Dari sanalah saya bertekad kuat untuk belajar mati-matian dan berjuang habis-habisan.
Itulah salah satu momen yang telah mengubah kehidupan saya yang kemudian memunculkan sebuah kesadaran dan filosofi, success is my right. Sukses adalah hak saya, dan hak semua orang yang mau berjuang!
Tak bisa dihindari, dalam hidup ini pastilah kita akan bertemu dengan momen-momen yang sarat dengan pembelajaran, baik berupa kesulitan, rintangan, cemoohan, hinaan, bahkan kegagalan yang kadang membuat kita malu dan jatuh. Jika kita memaknai dengan sikap negatif, maka kita akan makin terjerumus dalam himpitan beban dan penderitaan yang berkepanjangan. Tetapi, jika kita memaknainya dengan sikap optimis positif dan kaya mental, kita akan mampu mengubah setiap momen menjadi batu pijakan guna mencapai kesuksesan.
Mari, kita biasakan untuk menanamkan sikap optimis positif, menumbukan kekayaan mental, berjuang keras, dan senantiasa membawanya dalam doa, dengan demikian kita akan mampu mengubah keadaan kritis menjadi sebuah kesempatan, serta kegagalan menjadi kesuksesan!
Tuhan telah memberikan kita 'deposito' yang disebut dengan waktu. Waktu yang dimiliki setiap manusia sama 24 jam sehari. Yang membedakan adalah bagaimana cara memanfaatkan waktu, menjadi sukses dan terhormat atau sekadar hidup tanpa makna.
Setiap waktu begitu berharga sehingga selalu menghasilkan momen-momen yang akan mengubah hidup kita, so berikan yang terbaik dari diri kita untuk momen-momen spesial dalam hidup ini ...
When I'm more than I thought I could be,
when all of my dreams are a heart beat away,
and the answer are all up to me
Give me one moment in time
When I'm racing with you
Then in that one moment of time
I will feel, I will feel eternity...
Itulah sepenggal bait lagu One Moment In Time... yang sangat saya suka. Inilah awal dari imajinasi itu muncul.
Angin yang bertiup sepoi-sepoi ditemani mendung menggantung, menjadi masa yang sangat menyenangkan bagi setiap anak.
Di balik jendela sebuah rumah sederhana, setengah tembok setengah gedhek (anyaman bambu), tampak seorang bocah sibuk dan tergesa mengerjakan tugas, memasukkan satu persatu dari setumpuk kue koyah ke dalam kemasan plastik. Sesekali matanya menatap nanar ke luar jendela, melihat beraneka layang-layang yang mengangkasa dengan gagah dan indahnya.
Di kejauhan terdengar suara teriakan gembira anak-anak yang berlarian mengejar layangan putus. Sayangnya, keceriaan itu tidak bisa dengan segera dinikmati oleh si bocah. Di usianya yang masih belia, sudah menanti serentetan tugas, yakni harus membantu menjalankan roda perekonomian keluarga mereka. Dan saat godaan untuk ikut bermain begitu mendera, serta merta dia memohon kepada ibunya, 'Ibu, udah boleh main, Bu? Sebentaaar saja', pinta si bocah. 'Tidak! Beresion dulu kerjaanmu. Kalau belum beres jangan harap boleh main keluar!', tegas sang ibu. Walaupun tahu jawaban yang akan diterimanya, tetap saja si bocah merasa kecewa dan sedih. Sambil berusaha tegar, sebisanya dipercepat gerakan jari-jari kecilnya agar sesegera mungkin menyelesaikan tugas. 'Huaah!', teriaknya sambil melompat gembira, 'Selesai akhirnya! Aku pergi, Bu...'
Sambil berpamitan, bergegas diambilnya layang-layang dan benang bekas yang telah disiapkan, dan ia pun segera berlari keluar. Namun, baru beberapa langkah keluar rumah, mendung yang menggelantung tiba-tiba berganti dengan titik-titik air hujan yang semakin deras mengguyur bumi. Keceriannya segera berubah menjadi gumpalan kekecewaan yang menyakitkan. Penantian panjang dan kerja kerasnya untuk bisa bermain layang-layang, kembali kandas!
Di hari yang lain, saat keinginannya untuk bermain tercapai, rupanya si bocah terlalu asyik bergembira. Ia pun lupa waktu sehingga pulang lewat waktu yang ditentukan. Maka ... sambutan pukulan pun menantinya sebagai hukuman. Keceriaannya pun berubah menjadi ringis kesakitan dalam sekejab. 'Sana mandi dan cuci bajumu sendiri! Ibu sudah peringatkan beberapa kali, masih saja lupa waktu!', perintah sang ibu memberi tambahan hukuman.
Sekeluar dari kamar mandi dan menyelesaikan hukumannya, si bocah mendapati sepiring nasi goreng hangat dan secangkir panas air jeruk kesukaannya telah disiapkan ibu di meja makan.
Suatu saat ketika dewasa, si bocah sadar, setiap kesalahan ada konsekuensinya, tetapi tidak pernah mengurangi kadar sayang seorang ibu kepada anaknya.
Rasa sakit dan kekecewaan yang dialami si bocah dan membekas di hati, seringkali menimbulkan sebuah pertanyaan yang berkepanjangan, 'Mengapa aku harus dilahirkan di keluarga yang miskin? Hanya ingin bermain seperti anak-anak lainnya saja begitu susah'.
Waktu berlalu, tahun berganti. Metamorfosis telah terjadi! Perubahan diri dari seorang bocah menjadi pria dewasa yang terus berjuang, belajar, berjuang, dan belajar tanpa kenal lelah, telah berhasil mengubah kehidupan dengan luar biasa. Penderitaan, kemiskinan, kekecewaan, dan kesedihan yang bergelut di dalam diri seorang bocah, membuahkan sebuah tekad yang bulat untuk mengubah keadaan!
Dan kini, saat sukses telah ada di genggamannya, dimana saja, dia rajin membagi pengalaman perjuangannya, sekaligus terus belajar dan berjuang tanpa henti. Dia pun menjuluki dirinya sebagai ... Sang Pembelajar!
Sahabat sekalian,
Kisah di atas adalah cerita nyata. Sebuah momen di kehidupan yang begitu membekas, karena saat saya menuliskan ini, rasa yang dulu pernah ada, walaupun dengan kadar yang berbeda, denyutnya masih terasa. Gemblengan penderitaan dan himpitan kemiskinan adalah masa-masa pembelajaran terbesar di kehidupan saya. Dari sanalah saya bertekad kuat untuk belajar mati-matian dan berjuang habis-habisan.
Itulah salah satu momen yang telah mengubah kehidupan saya yang kemudian memunculkan sebuah kesadaran dan filosofi, success is my right. Sukses adalah hak saya, dan hak semua orang yang mau berjuang!
Tak bisa dihindari, dalam hidup ini pastilah kita akan bertemu dengan momen-momen yang sarat dengan pembelajaran, baik berupa kesulitan, rintangan, cemoohan, hinaan, bahkan kegagalan yang kadang membuat kita malu dan jatuh. Jika kita memaknai dengan sikap negatif, maka kita akan makin terjerumus dalam himpitan beban dan penderitaan yang berkepanjangan. Tetapi, jika kita memaknainya dengan sikap optimis positif dan kaya mental, kita akan mampu mengubah setiap momen menjadi batu pijakan guna mencapai kesuksesan.
Mari, kita biasakan untuk menanamkan sikap optimis positif, menumbukan kekayaan mental, berjuang keras, dan senantiasa membawanya dalam doa, dengan demikian kita akan mampu mengubah keadaan kritis menjadi sebuah kesempatan, serta kegagalan menjadi kesuksesan!
Tuhan telah memberikan kita 'deposito' yang disebut dengan waktu. Waktu yang dimiliki setiap manusia sama 24 jam sehari. Yang membedakan adalah bagaimana cara memanfaatkan waktu, menjadi sukses dan terhormat atau sekadar hidup tanpa makna.
Setiap waktu begitu berharga sehingga selalu menghasilkan momen-momen yang akan mengubah hidup kita, so berikan yang terbaik dari diri kita untuk momen-momen spesial dalam hidup ini ...