Menyiasati Kondisi dengan Pemasaran Cerdas

Posted: Senin, 16 Februari 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Beberapa hari terakhir ini masyarakat kembali dihadapkan pada kenyataan naiknya harga-harga barang. Sepintas, landskap bisnis bagi perusahaan di Indonesia tampak semakin berat saja. Rasanya hampir semua industri akan terkena dampak fenomena ini karena menurunnya daya beli konsumen secara umum. Namun, sejarah membuktikan bahwa hanya para pemasar sejatilah yang mampu tetap optimistis dan menemukan peluang dalam keadaan krisis sekalipun.

Kalau boleh membandingkan antara krisis ekonomi yang menimpa Indonesia pada 1998, kenaikan bahan bakar minyak-gas pada akhir 2005, dan fenomena saat ini, ada pelajaran yang dapat kita petik. Secara umum, tingkat konsumsi masyarakat terhadap produk kebutuhan sekunder menurun dan akhirnya memaksa para pemasar memutar otak dalam aktivitas pemasaran mereka. Hal ini disebabkan penurunan dua hal, anggaran pemasaran dan daya beli konsumen. Itulah sebabnya, kita perlu mengadopsi gagasan low budget high impact marketing (pemasaran anggaran terbatas dengan dampak tinggi).

Pertama-tama, harus kita ingat baik-baik bahwa tidak ada obat mujarab dan instan untuk semua kondisi. Anggaran rendah belum tentu kecil nominalnya, tetapi lebih pada relativitasnya. Secara mudah, saya membagi usaha pemasaran dan dampaknya dalam empat kuadran. Pertama, seven dwarfs. Tidak ada upaya pemasaran yang dilakukan kecuali diskon. Anggarannya rendah dan hasilnya minim.

Kedua, snow white. Segala upaya pemasaran dilakukan dengan anggaran tinggi, tetapi hasil tetap saja minimal. Ketiga, legacy. Ini yang banyak dilakukan mayoritas perusahaan besar saat ini. Mereka melakukan berbagai aktivitas pemasaran dengan anggaran yang melimpah pula. Namun pada kasus ini, hasil yang didapatkan memang hebat dan dahsyat. Ini baru sepadan namanya.

Sebenarnya ada langkah yang lebih cerdas, yaitu apa yang saya sebut dengan new wave marketing. Ide new wave marketing adalah dengan anggaran yang relatif lebh rendah, bisa memberikan hasil yang sama dengan jenis legacy. Caranya? Saya akan tetap merujuk pada trilogi pemasaran strategisnya Hermawan Kartajaya, yaitu manajemen produk (product and service management), manajemen merek (brand management), dan manajemen pelanggan (customer-insight management).

Pada paradigma lama, manajemen produk didominasi oleh in house collaboration. Manajemen merek juga terlalu terpaku pada penggunaan media komersial. Adapun manajemen pelanggan cukup banyak disetir database pelanggan. Semua bentuk trilogi tersebut di atas masih penting tentunya, tetapi tidak cukup lagi. Teknologi, sebagai pendorong utama perubahan, telah menjadikan atau memungkinkan para pemasar mengadopsi berbagai aktivitas pemasaran yan lebih efisien dan menarik hati konsumennya.



Mass collaboration antara perusahaan dan berbagai pihak di luar perusahaan, terutama pelanggan, menemukan salah satu pembuktian terbaiknya pada kasus Connect & Develop dari P&G dan Wikipedia. Film Ayat-ayat Cinta benar-benar menemukan momentumnya setelah dipublikasikan secara gratis di berbagai media sosial sebelum peluncurannya. Adapun mobile interactivity memungkinka perusahaan mengelola dan menjangkau pelanggan dalam mobilitas setinggi apapun. Contoh klasiknya adalah BCA, sedangka salah satu contoh terbaru adalah aplikasi MORE yang memungkinkan konsumen berbelanja melalui katalog yang menempel di telepon seluler mereka.

Kedekatan dengan konsumen. Poin itulah yang menjadi panduan umum agar dapat menerapkan new wave marketing. Mengapa? Karena, perusahaan tidak bisa lagi mengandalkan sumber daya internal mereka sendiri dalam berbagai aktivitas pemasarannya. Ide pelibatan pelanggan dalam aktivitas pemasaran memang bukan hal baru. Akan tetapi, penggabungannya dalam trilogi pemasan yang baru dan kesadaran terhadap hubungan input-output masih terdengar asing bagi kebanyakan perusahaan.

Ide kedekatan dengan konsumen sebenarnya mulai dilakukan Walls dan Campina. Keduanya sudah mencoba going retail, tentunya dengan kecepatan yang berbeda. Walls juga mencoba menjadi sarana aspirasi dengan penggunaan duta yang mampu mencerminkan segmen pasar mereka. Campina pun menyediakan pembelian online. Aktivitas pemasaran yang dilakukan memang masih biasa-biasa saja.

Mungkin banyak yang belum mengetahui bagaimana produk es krim terkenal Ben & Jerry’s menyediakan opsi bagi pelanggan untuk memilih rasa es krim yang akan disediakan atau yang akan ‘dipetieskan’. Bahkan, rasa es krim yang tidak dijual lagi masih bisa dipilih kembali oleh pelanggan melalui situs mereka.

Pasar es krim memang sangatlah menarik jika dilihat dari pertumbuhan, potensi dan ukurannya. Namun, dengan keadaan sekarang, para pemasar harus fokus pada hasil dan penggunaan sumber daya. Keputusan untuk membenahi place ataupun promosi es krim haruslah bermuara pada dua hal. Pertama, sampainya produk ke tangan target pasar dengan biaya yang lebih rendah. So, quality, cost and delivery harus tetap menjadi prioritas utama bagi kita jika ingin ‘lebih dekat’ dengan konsumen. Kedua, interaksi antara perusahaan dan pelanggan serta antarpelanggan menjadi lebih produktif. Nah, di sinilah brand communication and activation Anda harus mampu bermain dengan cerdas. ■

0 komentar: