What They Teach Me at Harvard Business School
Posted: Rabu, 08 Januari 2014 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Management
0
Harvard
Business School (HBS) punya kontribusi tersendiri bagi saya dalam membangun
hidup saya. Saya bukan lulusan sekolah bisnis paling tenar di dunia itu. Saya pun
baru sekali ke sana, itupun karena diundang untuk ikut Executive Education
Program, ikut Program for Case Methodology and Participant Cantered Learning,
sampai ke diskusi dan makan siang dengan beberapa profesor di sana.
Namun dari sana, saya jadi pernah ikut Alumni Conference mereka di Tokyo sekitar 2-3 tahun lalu. Saya bisa berada di forum itu karena pernah mengikuti program eksekutif dua minggu "Strategic Marketing Management". Smart, kan? Dengan melakukan seperti itu, saya bangga karena dianggap sebagai alumni Harvard, sehingga dapat image lebih hebat lagi.
Namun dari sana, saya jadi pernah ikut Alumni Conference mereka di Tokyo sekitar 2-3 tahun lalu. Saya bisa berada di forum itu karena pernah mengikuti program eksekutif dua minggu "Strategic Marketing Management". Smart, kan? Dengan melakukan seperti itu, saya bangga karena dianggap sebagai alumni Harvard, sehingga dapat image lebih hebat lagi.
Di Boston, kampus Harvard Business School dianggap yang paling mewah dibanding kampus-kampus Harvard yang lain. Kata orang sana, paling kaya. Apalagi dibanding kampus Sloan Business School di Massachusetts Institute of Technology atau MIT yang terkesan agak tua dan kumuh.
HBS tidak punya undergrad atau program S1, karena itu bisa memilih mahasiswa postgrad atau S2 dari mana saja dengan bebas. Mereka juga tidak mau punya program MM atau MBA eksekutif yang sekolahnya Sabtu dan Minggu. Sebab, mereka tidak percaya bisa memberikan pendidikan berkualitas lewat program seperti itu. Semuanya fulltime program dua tahun penuh. Tiap tahun, Harvard hanya menerima 900 mahasiswa dari sekitar 10 ribu pelamar. Jadi, jumlah mahasiswa Harvard stabil di sekitar 1.800 orang, karena programnya dua tahun.
Tidak perlu pakai GMAT karena mereka tidak percaya pada standar orang lain. Tapi Anda mesti bikin delapan esai dengan judul yang sudah ditentukan. Di sinilah Anda dinilai bukan cuma kepintaran, tapi juga kepemimpinan dan kreativitas!
Mereka juga sangat percaya terhadap penggunaan business-case dalam pengajaran orang-orang berpengalaman. Buku teks atau jurnal mesti dibaca sendiri, tidak perlu disampaikan melalui kuliah. ‘The Professors do not need to teach, they must learn from the Students.’ Bahkan mahasiswa harus disebut sebagai participant, karena rata-rata mereka berpengalaman kerja delapan tahun.
Mereka suka pada kartun yang menggambarkan seseorang sedang mengajari seekor anjing untuk menyanyi, tapi anjingnya tidak bisa menyanyi. Kenapa? Karena orang tersebut mau mengajari anjing tanpa mau tahu apakah anjing tersebut memang benar belajar menyanyi. Buat mereka, learning lebih penting daripada teaching. Sangat customer oriented, kan?
HBS juga punya pusat entrepreneurship yang kuat. Saya pernah terlibat diskusi dengan profesor kepala di lembaga itu yang sekaligus merupakan orang kedua di Harvard University. Kenapa mereka menganggap entrepreneurship sangat penting? Jawabannya, percuma belajar teori-teori bisnis tanpa punya jiwa kewirausahaan. Karena itu, lulusan HBS banyak yang memulai suatu bisnis yang white space atau yang sama sekali baru. Kalau pun jadi profesional, biasanya sangat kreatif. Walaupun ada juga yang terlalu berani sampai kebablasan dan hancur, seperti saya. Ups…
Untuk lulus HBS, Anda mesti membahas kurang lebih 500 kasus dalam dua tahun.
Tujuannya, tentu saja supaya Anda tahu banyak kasus sukses maupun gagal beserta analisisnya. Jadi, ketika bertemu suatu situasi yang pasti tidak sama, paling tidak ada berbagai benang merah yang bisa digunakan.
Situasi belajar di Harvard juga sangat kompetitif. Sebab, pada tahun pertama biasanya ada beberapa orang yang diminta keluar karena prestasinya tidak bagus. Karena itu, mereka yang survive sampai akhir dua tahun sangat bangga.
Ada beberapa hal yang saya pelajari di HBS. Program Strategic Marketing Management, satu-satunya program yang saya ikuti. Program itu saya gunakan untuk meningkatkan kredibilitas pribadi, karena saya hanya drop out UGM, lulusan Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali tanpa wisuda, serta punya MSc International Marketing dari Nanyang Technological University Singapore melalui proses belajar jarak jauh. Dengan demikian CV saya jadi kelihatan lebih cantik.
Program itu sendiri berjalan selama dua minggu di Boston. Selama total dua minggu, semua participant digembleng harus jadi student, termasuk membaca kasus dan diskusi kelas.
Baru setelah itu diberi tahu mengapa cara mengajarnya harus seperti itu. Kita semua juga diajari cara menulis kasus gaya Harvard.
Mereka memang hebat karena di dalam suatu kasus harus ada segala macam.
Mulai data, informasi, hasil riset, persaingan industri, sejarah perusahaan, situasi pada saat kasus dibahas dan sebagainya, bahkan aktor dalam kasus tersebut. Begitu kayanya isi sebuah kasus, sehingga bisa dibahas secara deep and wide.
Bahkan, pada suatu program eksekutif khusus untuk produk pertanian, pembahasan semua kasus dihadiri oleh aktor kasus itu sendiri. Dengan demikian, pada akhir sesi, si aktor yang dibahas di kelas bisa memberikan kesaksian maupun jawaban. Hal itu membuat sebuah Kasus jadi semakin hidup.
Di Harvard, sebuah kelas seorang profesor sesenior apa pun boleh dimasuki profesor lain. Bahkan, profesor lain yang lebih junior boleh memberikan komentar terhadap cara dia memandu diskusi. Student atau participant benar-benar pelanggan. Kalau feedback dari mereka jelek, profesor akan di-grounded sementara. Jadi, Harvard benar-benar horizontal atau sudah new wave sejak dulu.
Bandingkan dengan di Indonesia. Seorang profesor, apalagi yang senior, sering kali jadi raja atau superstar di kelas. Mahasiswanya tidak boleh membantah walaupun mereka belum tentu mengerti apa yang dikatakan sang profesor.
Pelajaran selanjutnya, dan ini yang paling penting, saya terkesan pada seorang profesor yang mengatakan bahwa segala sesuatu haruslah dianalisis menggunakan tiga kata kunci. Yaitu why, what, dan how. Tidak perlu 5W+1H.
Why untuk reasoning supaya Anda tidak lupa menganalisis suatu situasi. What untuk strategi yang akan dijalankan sesuai dengan analisis tadi. How untuk taktik sebagai penjabaran dari strategi yang bersangkutan.
Saya sangat terkesan sekali pada why, what dan how ini. Karena itu, saya selalu mencoba memakai kerangka berpikir seperti itu di setiap analisis ataupun tulisan saya. Saya selalu menggunakannya dalam semua presentasi, tulisan, maupun karya lainnya. Itulah yang saya dapatkan dari Harvard. Beda dengan buku ‘What They Don't Teach You at Harvard Business School’ yang ditulis orang lulusan Harvard. Hehehe…
Semoga
menginspirasi…