Eat, Sleep, and Dream with Your Business!

Posted: Rabu, 08 Januari 2014 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Pada akhir 1980-an di Indonesia memang sudah terasa semakin kencangnya ‘arus globalisasi’. Jadi, hal itu bukan hanya karena buku-buku dunia menulis tentang hal itu. Pak Harto sendiri yang masih ‘sangat kuat’ setelah berkuasa sejak 1967 memberikan sinyal itu. ‘Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, siap atau tidak siap, Indonesia akan mengalami globalisasi.’ Seperti itu kira-kira ucapan Pak Harto yang berupaya untuk mengingatkan setiap pelaku pasar.

Inilah hebatnya Pak Harto sebagai the real businessman.


Ketika ada kesempatan KKN, ya diambil. Tapi, waktu sudah ada ‘tanda perubahan’ yang masih dini, mereka tidak segan berubah. Sedangkan yang bukan pengusaha beneran, hancur ketika ada perubahan, karena ‘telat berubah’!


Inilah pelaksanaan eat-sleep-dream with your business pada kasus saya sendiri. Saya bukan sekadar membaca buku dan jurnal untuk melihat tren ‘intelektual’. Saya juga menggunakan sensitivitas saya untuk mengerti tren ‘emosional’ Pak Harto waktu itu. Bukankah, waktu itu Soeharto sama dengan Indonesia?

Jadi, kalau Pak Harto bilang bahwa globalisasi akan datang ke Indonesia, berarti beliau sudah merasa tidak akan bisa ‘melindungi’ kawan dan keluarganya lagi kelak. Itu ‘peringatan dini’ juga kepada seluruh masyarakat Indonesia supaya lebih siap untuk berkompetisi!

Nah, pas pada awal 1990-an ada lagu Wind of Change. Nah, para seniman yang merupakan pembawa suara ‘hati nurani’ rakyat pun merasakan akan change itu. Para seniman biasanya memang ‘lebih peka’ , ‘lebih jujur’, dan sekaligus ‘lebih berani’ mengungkapkannya lewat karya musik, seni rupa maupun drama. Di film-film Kerajaan Tiongkok pun, sering digambarkan ‘keluhan’ para pengamen jalanan kalau melihat rajanya sudah tidak bijak lagi. Inilah tren ‘spiritual’ yang saya tangkap!

Saya padukan proses ‘penangkapan’ tren intelektual, emosional, dan spiritual ini dengan pemikiran Prof. Philip Kotler tahun 1998. The Father of Modern Marketing ini mengatakan, ‘This is the highest level of science in social science, especially in Business and Marketing.’ Inilah bentuk keilmiahan tertinggi di ilmu sosial, khususnya di bisnis dan pemasaran! Ilmu sosial itu memang harus induktif bukan deduktif.

Dalam bahasa sederhana, ‘Praktik yang diteorikan dan teori yang dipraktikan’. Masalahnya, perlu penghayatan penuh dan passion yang mendalam ketika Anda mau mengambil tren intelektual, emosional, dan spiritual itu.

Buat saya, terjun langsung menjadi konsultan dan marketing analyst untuk credit union beberapa tahun yang lalu bukan sekadar melihat peluang belaka. Tapi, saya memang sudah jatuh cinta dan memasukkan marketing in my blood!

Saya baca jurnal dari para periset ilmiah, buku populer dari para pemikir, menganalisis kisah sukses dan kisah gagal dari para praktisi, mengambil makna dari para seniman. Untuk kemudian saya menghubung-hubungkannya!

Saya tidak pernah berhenti memikirkan marketing dan credit union. Mandi dan jogging adalah dua aktivitas yang sering menimbulkan AHA dan WOW. Apalagi di long distance flight! Itu yang paling nikmat untuk berpikir! Tidak ada gangguan apa pun. Ngantuk bisa tidur, bosan mikir bisa nonton film, atau minta red wine untuk sekadar relaks. Saya biasa berpikir sambil bicara. Sering saya dapat ide baru ketika bicara dan menjawab pertanyaan atau memandu suatu diskusi kelas antar peserta.

Bahkan, beberapa kali saya terbangun di tengah malam karena mimpi saya bertemu AHA dan WOW! Bahkan teman-teman di jejaring sosial pun banyak membantu saya. Apa itu? Membantu mencari referensi dari buku dan jurnal. Juga mencari contoh-contoh praktik pendukung. Tapi, mereka juga berfungsi ‘mendebat’ saya. Semacam devil's advocate!

Saya perlu counterpart supaya tidak hanya melakukan shadow boxing. Tapi, saya melakukan itu semua setelah punya keyakinan kuat bahwa konsep saya memang kuat. Kalau tidak ada ‘embrio kuat’ seperti itu, diskusi akan jadi street smart discussion. Pelajarannya? Pertama, berada di bisnis apa pun, Anda harus menghayati bisnis Anda. Harus ada yang lebih besar dari ‘uang’ yang menjadi tujuan. Uang atau profit itu anggap saja sebagai bonus atau penghargaan terhadap upaya Anda.

Kedua, jangan alergi pada jurnal dan buku. Cara murah untuk mengetahui hasil riset para ahli dan pendapat para pemikir! Tidak perlu dituruti semua, karena sering ‘asumsi’-nya sama sekali tidak sama dengan situasi Anda.

Tapi, dengan membaca jurnal dan buku - asal yang dibaca yang ‘baik dan benar’ - pemikiran Anda jadi ada ‘frame’-nya. Ada kerangkanya, jadi nggak semerawut waktu mau membuat analisis. Orang yang tidak punya ‘frame’ akan bingung mau mulai dari mana untuk memecahkan masalah.

Ketiga, jangan berhenti di situ, tapi teruskan untuk mempelajari success and failure stories. Harvard Business School meminta mahasiswanya membaca sendiri jurnal dan buku-buku. Jarang ada kuliah tentang itu. Tapi, kalau mau lulus di situ, Anda harus membaca dan mendiskusikan sekitar 500 kasus riil!

Saya pernah ikut kursus dua minggu di kampusnya di Boston, bersama para participant dari Tiongkok, Hongkong, Macau, Taiwan, dan Singapura. Diajari bahwa dosen itu tidak boleh mengajar di kelas. Tugasnya hanya mengantarkan diskusi sambil meluruskan arah pembicaraan sesuai dengan frame. Bahkan, profesor dianjurkan ‘belajar’ dari mahasiswanya yang merupakan para praktisi pilihan dengan pengalaman kerja rata-rata delapan tahun!

Kemudian kita diajari cara menulis kasus Harvard! Wah, ternyata menulis kasus itu tidak gampang. Sebab, dengan membaca kasus itu, orang sudah harus mendapat poin mengapa suatu kesuksesan dan kegagalan terjadi!

Dengan menggabungkan ketiga hal tersebut dengan ‘penghayatan penuh’, Anda akan baru bisa eat, sleep, and dream with your business. Itu rahasia sukses sesungguhnya. Jangan hanya membaca buku ‘cara cepat jadi kaya!’ Cepat kaya, bisa cepat miskin juga! Hehehe…

0 komentar: