Civilized Consumer
Posted: Kamis, 29 September 2011 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Management
0
Sulit saya menjelaskan apa itu “civilized”, tapi gampangnya saya mengambil contoh negara tetangga Singapura. Warga Singapura saya katakan civilized. Kenapa? Karena ketika mereka akan melintasi traffic light, saat lampu menyala merah, maka tak satupun dari mereka yang nyelonong seenaknya. Tak ada yang “curi start” dengan menggerombol di tengah-tengah perempatan seperti kebanyakan dilakukan pengendara sepeda motor di Jakarta.
Warga Singapura juga civilized karena mereka tak sembarangan membuang kertas atau puntung rokok di jalanan, itu sebabnya jalan-jalan di Singapura bersih bukan main. Bersih bukan karena banyak petugas dinas kebersihan yang siap memunguti serpihan sampah, tapi karena kesadaran tak membuang sampah sudah menjadi culture yang mendarah daging. Akhir tahun lalu saya mengintroduksi fenomena maraknya kemunculan konsumen kelas di Indonesia, yaitu apa yang saya sebut consumer 3000. Saya katakan di situ bahwa salah satu ciri dari konsumen gaya baru ini adalah bahwa mereka adalah konsumen yang lebih civilized. Kenapa begitu? Karena makin tingginya kemakmuran kelas menengah ini akan diikuti meningkatnya pengetahuan (karena akses informasi dan pendidikan yang kian besar), dan pada gilirannya diikuti terdongkraknya tingkat civilization mereka.
Ada hubungan yang tak terelakkan (inevitable) antara meningkatnya kemakmuran suatu negara dengan tingkat civilization warganya. Negara-negara yang sudah sangat makmur seperti Swiss, Kanada, Australia, juga Singapura memiliki warganegara yang sangat civilized. Di negara makmur baru seperti Thailand dan Malaysia kita melihat bahwa kemajuan mereka tak hanya sebatas meningkatnya kemakmuran ekonomis tapi juga terdongkraknya civilization.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sejak 5 tahun terakhir pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran Indonesia melesat bukan main. Konsumen kelas menenagah kita kini telah tembus 100 juta kepala. Tapi bicara civilization kita pantas bermuram durja.
Pembangun, Bukan Perawat
Karena punya uang, kita bisa membangun apa saja: bandara nan megah, busway yang wah, atau stadion SEA Games sekelas olimpiade. Namun, kalau sudah sampai ke urusan merawat, kita paling tidak becus. Ambil contoh busway. Pada saat pertama kali dibangun di jaman Bang Yos, terminal busway kita sangat wah, bahkan mungkin lebih wah dari di Singapura atau KL. Namun apa yang terjadi setahun kemudian?
Pelan tapi pasti kekumuhan dan keterpurukan mulai mewabah. Kini, karcis elektronik mulai tidak difungsikan, coretan Pillox bertebaran di dinding loket, puntung rokok dan sampah plastik berserakan di mana-mana, lantai-lantai seng mulai bolong raib entah ke mana. Itu terjadi bukan hanya karena petugas kebersihan kurang banyak atau petugas karcis kurang disiplin, tapi karena kita semua sebagai konsumen layanan publik tidak civilized.
Ngantri? No Way!
Kalau Anda bandingkan suasana di Bandara Changi Singapura atau minimal Bandara Svarnabhumi, Bangkok, Thailand, dengan Terminal I Bandara Soekarno-Hatta atau bandara di berbagai kota di Tanah Air, maka Anda akan langsung bisa merasakan civilization dua negara ini memang beda. Di Changi dan Bangkok para penumpang ngantri demikian rapi, di Bandara Soetta kita mengelus dada. Penumpang bergerombol di depan check-in counter, berebut agar dilayani lebih dulu. Jelas-jelas di situ ada queau line dan garis merah batas antri, tapi penumpang kita nekat saja menerobosnya. Itu terjadi karena, sebagai konsumen layanan publik kita masih kampungan, belum civilized.
Budaya Pamer
Konsumen yang tidak civilized juga bisa tercermin dari konsumsi yang salah kaprah dan tidak pada tempatnya. Beli iPad bukan untuk browsing internet berburu apps yang berguna, tapi untuk pamer saat nongkrong di kafe atau jalan-jalan di mal. Beli Alphard atau Mercy bukan untuk mendapatkan kenyamanan berkendara tapi untuk pamer status sosial ke tetangga. Punya 10 kartu kredit bukannya untuk kecepatan dan kepraktisan membayar, tapi untuk pamer gaya hidup ke teman. Ini adalah cermin tidak confidence-nya kita sebagai bangsa kelas buncit yang terjajah ratusan tahun.
Bajakan Amboy Nikmatnya
Produk bajakan di Indonesia, baik perangkat lunak komputer maupun rekaman film/musik, laris bak pisang goreng. Itu terjadi bukan saja karena di ITC Cempaka Mas banyak penjual yang menjajakan, tapi lebih karena kita semua sebagai konsumen membeli dan memakainya. Kita membelinya dengan enteng saja, tanpa sungkan, tanpa feeling guilty, tanpa pergolakan batin. Komentar kita juga enteng: “Nggak masalah, orang tetangga juga beli.” Celakanya, aksi pemerintah melarang pembajakan juga terkesan angot-angotan, seolah mengamini pencurian property right orang lain ini.
Sinetron dan Infotainment Lover
Tayangan sinetron yang ber-season-season, - bahkan seringkali diceritakan sang tokoh secara turun temurun, dari sejak remaja hingga usia kakek-nenek yang beranak cucu sedemikian banyak - yang ceritanya ngelantur nggak keruan, yang isinya membonsai akal sehat, adalah cermin belum civilized-nya konsumen kita. Jangan salahkan stasiun TV kita yang membombardir slot-slot prime time dengan sinetron buruk mutu. Jangan salahkan produser dan penulis naskah sinetron yang mencekoki kita dengan cerita mendayu-dayu, melecehkan kemampuan otak, dan tak jelas juntrungannya. Sinetron laris karena kebanyakan konsumen kita masih belum civilized. Parahnya hal ini didukung penuh oleh stasiun-stasiun TV dengan tayangan-tayangan infortainment yang begitu membombardir pasar, hampir setiap satu jam setiap harinya. Ini pula yang menghinggapi dunia ketiga lainnya, seperti negara-negara di Amerika Latin dengan telenovelanya. Sesuatu yang aneh jika ini terus ditiru. Bandingkan dengan tayangan-tayangan sinema dari Korea Selatan, lebih cepat, tidak mendayu-biru dan tidak terlalu mengerdilkan otak.
Health Unconscious
Mentang-mentang punya duit dan mampu beli, kita menjadi rakus, apapun makanan yang enak-enak dilahap. Inilah yang saya sebut “arogansi OKB” (orang kaya baru). Rendang, burger, sate-gule kambing, steak, gorengan, sambal goreng, soto betawi, semuanya masuk perut tanpa peduli itu bisa merontokkan kesehatan. Tak heran jika stroke, diabetes, atau asam urat kian marak menghantui masyarakat kita. Masalah itu terjadi karena meningkatnya daya beli yang diikuti naiknya konsumsi tidak diikuti dengan membaiknya civilization. Di negara-negara super makmur harapan hidup warganya tinggi bisa 80 hingga 90 tahun, karena mereka civilized dalam urusan makanan yang boleh masuk ke perut mereka. Indonesia memang negara berkembang yang sedang melaju kencang untuk menjadi negara makmur. Kemakmuran memang melaju kencang, namun civilization terseret-seret. Tak heran jika kita masih banyak menemukan kejadian yang mencerminkan tidak civilized-nya kita. Kejadian itu kadang memalukan, menggelikan, dan membikin kita tersenyum kecut. Nggak papa, yang penting kita terus belajar. Belajar untuk menjadi semakin civilized.
Think Big Start Small...
Warga Singapura juga civilized karena mereka tak sembarangan membuang kertas atau puntung rokok di jalanan, itu sebabnya jalan-jalan di Singapura bersih bukan main. Bersih bukan karena banyak petugas dinas kebersihan yang siap memunguti serpihan sampah, tapi karena kesadaran tak membuang sampah sudah menjadi culture yang mendarah daging. Akhir tahun lalu saya mengintroduksi fenomena maraknya kemunculan konsumen kelas di Indonesia, yaitu apa yang saya sebut consumer 3000. Saya katakan di situ bahwa salah satu ciri dari konsumen gaya baru ini adalah bahwa mereka adalah konsumen yang lebih civilized. Kenapa begitu? Karena makin tingginya kemakmuran kelas menengah ini akan diikuti meningkatnya pengetahuan (karena akses informasi dan pendidikan yang kian besar), dan pada gilirannya diikuti terdongkraknya tingkat civilization mereka.
Ada hubungan yang tak terelakkan (inevitable) antara meningkatnya kemakmuran suatu negara dengan tingkat civilization warganya. Negara-negara yang sudah sangat makmur seperti Swiss, Kanada, Australia, juga Singapura memiliki warganegara yang sangat civilized. Di negara makmur baru seperti Thailand dan Malaysia kita melihat bahwa kemajuan mereka tak hanya sebatas meningkatnya kemakmuran ekonomis tapi juga terdongkraknya civilization.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sejak 5 tahun terakhir pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran Indonesia melesat bukan main. Konsumen kelas menenagah kita kini telah tembus 100 juta kepala. Tapi bicara civilization kita pantas bermuram durja.
Tambah makmur yes! Tambah civilized, no!Berikut ini adalah gambaran tidak civilized-nya konsumen kita. Yuk kita cek satu-satu.
Pembangun, Bukan Perawat
Karena punya uang, kita bisa membangun apa saja: bandara nan megah, busway yang wah, atau stadion SEA Games sekelas olimpiade. Namun, kalau sudah sampai ke urusan merawat, kita paling tidak becus. Ambil contoh busway. Pada saat pertama kali dibangun di jaman Bang Yos, terminal busway kita sangat wah, bahkan mungkin lebih wah dari di Singapura atau KL. Namun apa yang terjadi setahun kemudian?
Pelan tapi pasti kekumuhan dan keterpurukan mulai mewabah. Kini, karcis elektronik mulai tidak difungsikan, coretan Pillox bertebaran di dinding loket, puntung rokok dan sampah plastik berserakan di mana-mana, lantai-lantai seng mulai bolong raib entah ke mana. Itu terjadi bukan hanya karena petugas kebersihan kurang banyak atau petugas karcis kurang disiplin, tapi karena kita semua sebagai konsumen layanan publik tidak civilized.
Ngantri? No Way!
Kalau Anda bandingkan suasana di Bandara Changi Singapura atau minimal Bandara Svarnabhumi, Bangkok, Thailand, dengan Terminal I Bandara Soekarno-Hatta atau bandara di berbagai kota di Tanah Air, maka Anda akan langsung bisa merasakan civilization dua negara ini memang beda. Di Changi dan Bangkok para penumpang ngantri demikian rapi, di Bandara Soetta kita mengelus dada. Penumpang bergerombol di depan check-in counter, berebut agar dilayani lebih dulu. Jelas-jelas di situ ada queau line dan garis merah batas antri, tapi penumpang kita nekat saja menerobosnya. Itu terjadi karena, sebagai konsumen layanan publik kita masih kampungan, belum civilized.
Budaya Pamer
Konsumen yang tidak civilized juga bisa tercermin dari konsumsi yang salah kaprah dan tidak pada tempatnya. Beli iPad bukan untuk browsing internet berburu apps yang berguna, tapi untuk pamer saat nongkrong di kafe atau jalan-jalan di mal. Beli Alphard atau Mercy bukan untuk mendapatkan kenyamanan berkendara tapi untuk pamer status sosial ke tetangga. Punya 10 kartu kredit bukannya untuk kecepatan dan kepraktisan membayar, tapi untuk pamer gaya hidup ke teman. Ini adalah cermin tidak confidence-nya kita sebagai bangsa kelas buncit yang terjajah ratusan tahun.
Bajakan Amboy Nikmatnya
Produk bajakan di Indonesia, baik perangkat lunak komputer maupun rekaman film/musik, laris bak pisang goreng. Itu terjadi bukan saja karena di ITC Cempaka Mas banyak penjual yang menjajakan, tapi lebih karena kita semua sebagai konsumen membeli dan memakainya. Kita membelinya dengan enteng saja, tanpa sungkan, tanpa feeling guilty, tanpa pergolakan batin. Komentar kita juga enteng: “Nggak masalah, orang tetangga juga beli.” Celakanya, aksi pemerintah melarang pembajakan juga terkesan angot-angotan, seolah mengamini pencurian property right orang lain ini.
Sinetron dan Infotainment Lover
Tayangan sinetron yang ber-season-season, - bahkan seringkali diceritakan sang tokoh secara turun temurun, dari sejak remaja hingga usia kakek-nenek yang beranak cucu sedemikian banyak - yang ceritanya ngelantur nggak keruan, yang isinya membonsai akal sehat, adalah cermin belum civilized-nya konsumen kita. Jangan salahkan stasiun TV kita yang membombardir slot-slot prime time dengan sinetron buruk mutu. Jangan salahkan produser dan penulis naskah sinetron yang mencekoki kita dengan cerita mendayu-dayu, melecehkan kemampuan otak, dan tak jelas juntrungannya. Sinetron laris karena kebanyakan konsumen kita masih belum civilized. Parahnya hal ini didukung penuh oleh stasiun-stasiun TV dengan tayangan-tayangan infortainment yang begitu membombardir pasar, hampir setiap satu jam setiap harinya. Ini pula yang menghinggapi dunia ketiga lainnya, seperti negara-negara di Amerika Latin dengan telenovelanya. Sesuatu yang aneh jika ini terus ditiru. Bandingkan dengan tayangan-tayangan sinema dari Korea Selatan, lebih cepat, tidak mendayu-biru dan tidak terlalu mengerdilkan otak.
Health Unconscious
Mentang-mentang punya duit dan mampu beli, kita menjadi rakus, apapun makanan yang enak-enak dilahap. Inilah yang saya sebut “arogansi OKB” (orang kaya baru). Rendang, burger, sate-gule kambing, steak, gorengan, sambal goreng, soto betawi, semuanya masuk perut tanpa peduli itu bisa merontokkan kesehatan. Tak heran jika stroke, diabetes, atau asam urat kian marak menghantui masyarakat kita. Masalah itu terjadi karena meningkatnya daya beli yang diikuti naiknya konsumsi tidak diikuti dengan membaiknya civilization. Di negara-negara super makmur harapan hidup warganya tinggi bisa 80 hingga 90 tahun, karena mereka civilized dalam urusan makanan yang boleh masuk ke perut mereka. Indonesia memang negara berkembang yang sedang melaju kencang untuk menjadi negara makmur. Kemakmuran memang melaju kencang, namun civilization terseret-seret. Tak heran jika kita masih banyak menemukan kejadian yang mencerminkan tidak civilized-nya kita. Kejadian itu kadang memalukan, menggelikan, dan membikin kita tersenyum kecut. Nggak papa, yang penting kita terus belajar. Belajar untuk menjadi semakin civilized.
Think Big Start Small...