The Real Transformation in Credit Union

Posted: Selasa, 21 Juni 2011 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Selamat Pagi dan Salam Sukses!

Tulisan ini pernah saya 'share' ke sahabat CU sekalian melalui akun facebook 'Credit Union Community' medio Januari 2011 lalu. Tulisan ini juga pernah dimuat dalam majalah Kalimantan Review beberapa bulan lalu. Dan entah kebetulan atau tidak, bulan ini saya mendapat kabar terjadinya 'perceraian' antara 3 CU yang cukup besar di Kalimantan dengan BK3CU Kalimantan, tempat mereka selama ini berkomunitas. Inilah transformasi yang saya bayangkan dan juga diskusikan dengan Saudara saya di Inkopdit, Mas Ari Setiawan sekitar 3-4 tahun lalu.

Saya mem-posting kembali tulisan ini melalui blog saya, dan kemudian men-'share'-nya kembali kepada sahabat sekalian, bukan untuk membenarkan atau menyalahkan pihak beserta keputusan-keputusan yang muncul dalam problem ini, tapi lebih sebagai refleksi bersama bahwa CU suka tidak suka akan terus bertransformasi. Positif atau negatif, itu kembali ke perspektif kita dalam melihat.

Semoga menginspirasi....



Apa kabar credit union di 2011 ini? Pajak. pengembangan operasional dan manajerial, menjaga momentum dan passion, dan masih banyak problem lainnya yang siap menanti keseriusan sahabat credit union sekalian. Semoga tulisan ini menginspirasi dan sekaligus mampu menjawab kebimbangan (kekhawatiran) credit union akan RUU Perkoperasian yang baru!

Ada tiga penyebab ‘otak’ sebuah organisasi menjadi lumpuh, yaitu faktor atasan yang dominan, faktor bawahan yang ‘malas’ berpikir, dan faktor lingkungan. Jadi, sebelum kita mengubah cara berpikir kita dan cara memandang kita, maka kita belum dapat dikatakan berhasil. Bahasa selain sebagai penentu dan pembeda kelas kita, juga mencerminkan cara berpikir kita...

Menciptakan credit union yang inklusif dan transformatif!
Mungkin inilah PR terbesar dan terdepan credit union di 2011. Para pemimpin credit union mungkin berpikir bahwa untuk membuat credit unionnya inklusif dan transformatif hanya masalah visi yang jelas, pemberian insentif yang tepat, dan pelatihan (pendidikan) yang banyak. Namun hal tersebut tidaklah tepat. Setiap credit union harus menjadi learning organization, suatu organisasi yang semua anggotanya mahir dalam menciptakan, memperoleh, dan mentransfer pengetahuan, dan terus menerus mentransformasi dirinya.

Credit union adalah sebuah entitas bisnis yang memiliki karakteristik unik yang tidak dimiliki oleh perusahaan atau lembaga keuangan pada umumnya. Karena karakteristik yang unik ini, pengelolaan dan transformasi credit union memiliki pola yang unik pula. Credit union umumnya memiliki visi jangka panjang yang solid karena adanya kepemilikan dan komitmen jangka panjang yang jelas. Credit union semestinya juga memiliki fleksibilitas dan kecepatan pengambilan keputusan yang tinggi karena sebagai sebuah perusahaan, credit union dikelola oleh para policy maker yang sekaligus menjadi pemilik. Dan yang terakhir, sekakli lagi seharusnya, loyalitas, kedekatan, dan kecintaan para pengelola kunci credit union umumnya demikian tinggi sehingga kohesivitasnya juga demikian tinggi.

Mengenai yang terakhir tersebut di atas, barangkali menarik pernyataan yang dikemukakan Sigmund Freud, seorang psikolog terkemuka. Kata Freud, ada dua faktor kunci untuk mencapai hidup yang sempurna yaitu: “to love” (“lieben”) dan “to work” (“arbeiten”). Pernyataan tersebut juga bisa diartikan bahwa kesempurnaan hidup seseorang akan terwujud jika dua hal, yaitu “saling mencintai di dalam keluarga” dan “bekerja” tersatukan. Kalau keluarga dan kerja adalah segalanya bagi hidup kita, bisa kita bayangkan betapa kokoh dan solidnya sebuah entitas yang mampu menggabungkan keduanya, dan entitas itu tak lain adalah perusahaan keluarga. Dalam konteks inilah, saya berpendapat bahwa credit union tidak ubahnya sebuah perusahaan keluarga.

WhatBeberapa faktor yang dikemukakan di atas adalah beberapa daya saing inheren (inherent competitive advantages) yang dimiliki oleh credit union, yang memungkinkannya selangkah lebih unggul dari perusahaan biasa. Namun di balik keunggulan tersebut terdapat kelemahan inheren (inherent competitive disadvantages) yang seringkali menghambat pengelolaan dan transformasinya. Pertama, credit union umumnya sulit berubah dan melakukan transformasi karena para perintis dan founding father credit union umumnya sangat dominan. Implikasinya, perubahan terhadap warisan (legacy) pendahulu baik berupa strategi, sistem, budaya, maupun gaya kepemimpinan umumnya sulit dilakukan bahkan dianggap tabu oleh generasi penerusnya.

Kedua, di tengah tingginya kohesivitas antar anggota dalam pengelolaan credit union, dalam banyak kasus konflik kepentingan antar anggota ternyata sangat signifikan. So, penyelesaian konflik antar anggota ternyata merupakan masalah yang dianggap paling penting oleh credit union. Tingginya konflik antar anggota ini seringkali menyebabkan tingginya corporate politic di dalam credit union yang ujung-ujungnya berdampak tidak fokusnya credit union dalam membangun strategi, melakukan pengambilan keputusan, alokasi sumber daya, dan sebagainya.

Ketiga, suksesi menjadi agenda sangat penting bagi credit union karena ia secara langsung menentukan sustainability credit union dalam jangka panjang, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Suksesi ini seringkali menimbulkan masalah karena munculnya persoalan non-teknis dan muatan emosional yang tinggi dalam pelaksanaannya. Credit union umumnya tidak secara formal dan sistemik dalam mengelola persoalan suksesi ini sehingga persoalan ini umumnya tak terkelola dengan baik, khususnya dalam bidang manajerial.

WhySejak bergabung dan kemudian meninggalkan credit union, begitu banyak pelajaran dan perspektif yang saya peroleh yang barangkali tak akan saya temukan di buku teks manajemen manapun. Yang paling menarik dan agak mengejutkan saya adalah kenyataan bahwa ternyata pembenahan dan transformasi credit union tidak bisa hanya dilakukan dari aspek teknis bisnisnya saja: perombakan strategi, restrukturisasi organisasi, pembaruan budaya perusahaan, penajaman visi-misi, penerapan tool-tool manajemen canggih mulai dari Balance Scorecard hingga Six Sigma.

Secanggih apapun strategi yang dihasilkan, setajam apapun visi yang mampu dibuat, sesolid apapun konsep organisasi yang dirancang, itu semua tak ada artinya kalau kita tak menyentuh bagian yang sangat esensial yang memang menjadi ciri tipikal credit union. Setiap credit union selalu memiliki tiga area pengelolaan yang saling terkait, tergantung satu sama lain, dan ketiganya sama pentingnya. Saya menggambarkan tiga aspek pengelolaan ini layaknya tiga kaki yang menopang berdirinya sebuah credit union. Kaki-kaki ini ketiga-tiganya harus ada, karena kalau salah satu saja buntung, maka jalannya credit union jadi pincang tidak keruan. Tiga kaki yang sama pentingnya dengan Tiga Pilar credit union ini adalah, pertama, pengelolaan bisnis (business management); kedua, pengelolaan manusia (people management), dan terakhir, pengelolaan kepemilikan (ownership management).

Yang pertama menyangkut pengelolaan teknis bisnis credit union – menjalankan strategi, mengimplementasi visi-misi, membangun disain organisasi, dan sebagainya. Area ini generik sifatnya, artinya akan kita temui di jenis perusahaan apapun, apakah itu credit union ataupun bukan. Aspek ini penting namun seperti saya katakan di depan, menjadi loyo begitu dua aspek yang lain terabaikan.

Yang kedua menyangkut tetek-bengek pengelolaan manusia yang dalam hal ini merupakan salah satu stakeholder utama credit union, mengingat posisinya sebagai pemilik. Berbagai isu yang menyangkut pengelolaan manusia ini sangat beragam dan luas cakupannya: mulai dari pembagian “kekuasaan” di antara anggota pemilik; penentuan anggota yang akan duduk di dalam manajemen dan kepengurusan; membangun trust dan people bond; mengelola berbagai kepentingan yang bermain di antara anggota yang terlibat di dalam credit union; menentukan garis besar kebijakan anggota berkaitan dengan arah ke depan credit union; menyatukan visi anggota, mengelola konflik antar anggota; sampai dengan merencanakan suksesi dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Sementara yang ketiga menyangkut pengelolaan kepemilikan saham credit union. Isu yang terkait dengan kepemilikan inipun memiliki cakupan yang amat luas dan sangat stratejik bagi masa depan credit union. Isu tersebut mulai dari perumusan struktur dan distribusi kepemilikan antar anggota yang terlibat; kapitalisasi modal; cakupan dan mekanisme kontrol anggota di dalam credit union; kebijakan untuk menarik modal dari luar anggota atau mempertahankan dominasi kepemilikan anggota, hingga penciptaan mekanisme penggalangan modal di lingkungan credit union untuk menopang ekspansi dan pertumbuhan credit union.

HowDua area terakhir yang saya uraikan di atas adalah aspek yang saya katakan tipikal credit union, yang justru sangat esensial, namun celakanya seringkali luput dari perhatian para praktisi atau mereka yang mengatakan penggerak bahkan fasilitator credit union. Mereka menganggap bahwa manajemen manusia dan kepemilikan ini bisa dilakukan secara asal-asalan, informal, dan seperlunya saja. Padahal dua aspek ini juga butuh pengelolaan yang sama seriusnya dengan pengelolaan bisnis. Artinya, pengelolaan dua aspek terakhir ini perlu juga dilakukan melalui sebuah perencanaan yang formal dan sistemik.

Pengelolaan manusia dan kepemilikan ini sederhana dan mudah, namun coba Anda bayangkan betapa kompleksnya kalau kita dihadapkan dengan sebuah credit union yang sudah berumur lima tahun atau lebih, dimana di dalamnya terlibat ratusan bahkan ribuan manusia dengan ratusan hingga ribuan kepentingan pula yang berbeda-beda, dengan struktur kepemilikan yang ruwet. Sebuah credit union yang awalnya hanya mencakup satu komunitas, dengan berkembangnya waktu kemudian menjadi jaringan dari begitu banyak komunitas sebagai akibat dari inklusifitas credit union itu sendiri.

So, seperti yang saya sampaikan di awal tulisan ini, untuk mampu mentransformasi credit union, perlu segera dilakukan perubahan. Dan kadangkala, perubahan membutuhkan tekanan untuk mempercepat prosesnya. Bagi saya ada lima bentuk tekanan yang dapat kita gunakan untuk menggulirkan perubahan terus menerus, yaitu tekanan untuk tumbuh (growth pressures), tekanan kerja sama (integration and collaboration pressures), tekanan-tekanan identitas, tekanan CEO baru (new broom pressures), dan tekanan kekuasaan dan politik organisasi (power and political pressures).

Sebagai penutup tulisan ini mari kita bahas satu persatu.
#1. Growth Pressures
Para pemimpin credit union dapat menciptakan perubahan dengan menetapkan target pertumbuhan yang besar. Dalam filosofi teleologi, perubahan dicanangkan melalui sasaran (goals) dan diniatkan (purposeful). Dubai misalnya, semula hanya terdiri atas areal padang pasir yang tandus. Oleh Sheikh Mohammed bin Rashid, diciptakan perubahan yang sungguh-sungguh diniatkan melalui sebuah rencana besar. Sekarang Dubai telah berubah menjadi kawasan bisnis yang ramai dan bahkan mendapat julukan sebagai Hongkong of the Middle East. Tentu saja tak semua orang setuju dengan sebuah rencana besar. Sebagian orang tidak mampu membaca tanda-tanda zaman di depan. Tetapi bagi seseorang yang penuh niat dan cita-cita, sesuatu yang diimpikan dapat dijadikan kenyataan melalui kerja keras dan membangun sebuah team yang unggul. Seperti kata filsuf, cara terbaik meramalkan masa depan adalah dengan menciptakannya sendiri.

#2. Integration and Collaboration Pressures
Perubahan juga dapat diciptakan dengan membuat link antara entitas kita dengan entitas milik orang atau credit union lain yang mempunyai standar tinggi. Bentuknya bisa macam-macam, mulai dari merger semu (misalnya aliansi), jejaring horizontal dan vertical, sampai merger yang sebenarnya.
Credit Union Lantang Tipo di Kalimantan Barat misalnya. Mereka melakukan perubahan dengan mengintegrasikan seluruh sistem IT yang ada di antara kantor-kantor cabang dengan kantor pusatnya. Penerapan sistem ATM yang terintegrasi, menuntut seluruh sistem terkait satu dengan yang lainnya dengan kecermatan tinggi. Saya yakin CU Lantang Tipo akan berevolusi menjadi payment settlement agent dengan membuka jaringan ATM-nya untuk memberikan kemudahan pembayaran bagi anggotanya di masa-masa yang akan datang. Integrasi ini menciptakan perubahan yang menuntut integritas ke dalam lebih besar.
Semua bentuk integrasi di atas akan memperkuat perubahan dengan sejumlah syarat. Pertama, para pemimpin pihak-pihak yang terkait bersedia melakukan kerja keras mengikuti standar tertinggi yang tersedia. Kedua, sistem yang baru memungkinkan untuk mendatangkan eksekutif-eksekutif baru yang bukan berasal dari dalam dan ada keterbukaan dalam berinteraksi. Ketiga, sistem ini memiliki kemampuan menerima umpan balik yang positif dari luar maupun dalam entitas usaha credit union.

#3. Identity Pressures

Menjadi semakin dewasa ternyata membuat segala sesuatu menjadi semakin kompleks. Manusia yang bersekolah semakin tinggi bisa menjadi pandai sekaligus bisa menjadi complicated. Manusia yang kompleks jalan berpikirnya seperti kumpulan benang-benang kusut yang terjalin berantakan sehingga sulit sekali dipakai untuk mengambil keputusan. Hal yang sama juga terjadi pada credit union sebagai sebuah organisasi. Kala entitas usaha tumbuh, seharusnya credit union bukan hanya terus melakukan hal-hal yang lama. Pendidikan credit union misalnya, mesti terus di-recode tidak hanya di-update untuk menyesuaikan dengan proses pertumbuhan credit union. Kita tidak bisa terus beranggapan bahwa dengan bambu runcing kita mampu melawan mereka yang bersenjatakan pistol dan sejenisnya.

#4. Tekanan CEO Baru (New Broom Pressures)
Dewasa ini, disadari atau tidak, bahwa tidak mudah melakukan perubahan dengan mengandalkan tenaga-tenaga yang sudah lama berada di dalamnya. Memang tidak semua pemimpin ‘impor’ dapat membantu perubahan dan tidak semua pemimpin ‘pribumi’ tidak berorientasi pada pembaharuan. Keduanya sama-sama memiliki potensi untuk memperkuat perubahan, sepanjang mau membuka pikiran, tidak terlalu percaya dengan cara pandang lama, dan mau bertindak seperti seorang wisatawan yang selalu bertanya dalam keterasingan.
Perasaan keterasingan inilah yang menjadi modal besar bagi seorang pemimpin ‘impor’. Pemimpin impor bisa didatangkan dari luar credit union, atau luar industri. Sekarang masalahnya adalah apakah pemimpin itu hanya mau hidup nyaman, menikmati fasilitas yang disediakan baginya atau menjejakkan sejarah. Orang-orang yang hanya ingin menikmati, akan disenangi banyak kalangan di dalam (populis), tapi tidak akan melakukan apa-apa. Sebaliknya, orang yang ingin meninggalkan jejak sejarah akan melakukan perubahan. So, wajar bila beban perubahan credit union mulai banyak diharapkan dari para eksekutif impor, khususnya bagi mereka credit union yang sudah sangat terikat oleh tradisi. Hadirnya CEO baru yang masih muda, yang bersemangat tinggi, dengan cara pandang baru, dapat mendorong lahirnya perubahan-perubahan.

#5. Power and Politica Pressures
Politik bukan hanya ada di level pemerintahan. Proses politik, dengan nuansa yang berbeda juga ada pada level credit union sebagai sebuah organisasi. Pada level ini, pertarungan antarkepentingan yang berbeda-beda sangat mungkin terjadi. Perubahan koalisi dapat menimbulkan perubahan yang mendasar, karena organisasi pada dasarnya merupakan cerminan dari pandangan orang atau kelompok yang mendominasinya. Tetapi perubahan dengan cara ini hanya akan menghasilkan kinerja yang positif manakala didasarkan pada prinsip-prinsip yang logis dan profesional. Ingat, ‘kala kita bodoh, kita ingin menguasai orang lain, dan kala kita bijak kita ingin menguasi diri kita sendiri’.

So, saya pikir inilah yang dibutuhkan untuk menjadikan credit union tidak saja inklusif, transformatif (siap menghadapi dan menjalani transformasi), tapi sekaligus sebagai learning organization.

...lebih baik segera menyalakan lilin, daripada berlama-lama merutuki kegelapan...

Saya yakin, seharusnya Anda setuju dengan saya. Terima kasih. Think Big Start Small!

0 komentar: