Belajar dari Bank Muamalat
Posted: Selasa, 22 Juni 2010 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Management
0
Salam Sukses!
Di sebuah negeri dengan penduduk hampir sebagian besar muslim, ternyata tidak bisa begitu saja membuat Bank Muamalat menjadi bank terbesar di negeri ini. Memang ada sejumlah faktor penyebabnya. Bank Muamalat bagaimanapun termasuk bank muda, karena baru muncul di tahun 90-an.
Meski masih muda, Bank Muamalat sebenarnya mempunyai peluang jauh lebih besar untuk cepat berkembang dibandingkan dengan bank-bank muda lainnya. Termasuk yang dilahirkan setelah Pakto 1988.
Kenapa? Karena Bank Muamalat ini memang beda dengan kebanyakan bank lainnya. Dulu, sebelum munculnya Bank Muamalat, hampir semua bank di Indonesia adalah bank konvensional. Alias bank yang menggunakan sistem bunga. Sementara, Bank Muamalat muncul dengan premis bahwa bunga bank adalah riba, yang hukumnya haram menurut Islam. Karena itu, dalam operasinya Bank Muamalat tidak menganut sistem bunga, tapi sesuai dengan syariah menganut sistem bagi hasil.
Sistem bagi hasil ini sangat menarik. Di Malaysia misalnya, bank yang menganut sistem bagi hasil ini ternyata bisa berkembang pesat. Karena, bisa memberikan return yang lebih tinggi dibandingkan bank konvensional. Sayangnya, yang terjadi di Malaysia itu tidak terjadi di Indonesia. Sehingga, bank syariah di Indonesia tidak berkembang sepesat di Malaysia. Kenapa?
Sejak kemunculan Bank Muamalat tujuh tahun lalu, melalui sebuah publisitas yang bisa jadi sulit dicari bandingannya, ternyata respons target pasar tidak begitu bagus. Bukan hanya dalam jumlah nasabah yang masih biasa-biasa, tapi juga pemahaman terhadap praktek sistem syariah.
Betul, masyarakat sudah tahu bahwa bank syariah menerapkan sistem tanpa bunga atau sistem bagi hasil. Tapi, apa bentuknya dan apa saja layanan yang berlandaskan pada prinsip bagi hasil ternyata tidak banyak dikenal orang. Bahkan, karena tidak paham maksud prinsip bagi hasil, seringkali ditemui sejumlah calon nasabah tidak percaya bahwa layanan produk perbankan yang diberikan bank syariah sebenarnya tidak ada bedanya dengan bank konvensional. Tabungan, deposito, dan giro ditawarkan juga oleh bank syariah. Yang menarik, karena berlandaskan pada prinsip syariah, produk perbankan dan keuangan yang bisa ditawarkan sebenarnya jauh lebih luas dibandingkan dengan bank konvensional.
Bank syariah, misalnya, punya produk yang disebut dengan ijaroh. Dalam sistem bank ataupun keuangan konvensional, termasuk credit union, ijaroh ini mirip dengan leasing. Tentu saja, ini menjadi kelebihan tersendiri. Sebab, kita tahu bahwa bank konvensional itu dilarang menawarkan leasing. Bukan hanya itu, bank syariah juga menawarkan sistem gadai. Meski harus diakui bahwa penawaran seperti ini tidak bisa berdiri sendiri, tapi menjadi bagian dari penawaran produk lainnya.
Selain itu, yang juga belum banyak dipahami banyak orang adalah penerapan sistem bagi hasil. Di sistem perbankan konvensional, besarnya return dalam bentuk bunga yang akan diterima nasabah sebenarnya tidak begitu jelas. Seringkali, bank menetapkan return yang akan diterima nasabah dalam sebuah angka tertentu. Tapi, apakah angka yang ditetapkan itu memang menguntungkan buat dirinya atau bank, nasabah seperti tidak punya banyak pilihan. Apalagi, angka serupa juga ditawarkan oleh bank konvensional lainnya. Termasuk dalam hal ini credit union.
Di sistem syariah, return yang akan diterima nasabah didasarkan pada besarnya return dari pooling dana yang akan digunakan oleh bank dalam sebuah kegiatan investasi. Kalau dana ttersebut masuk di sektor yang memang memberikan return tinggi, penabung atau deposan akan mendapatkan bagian return yang cukup tinggi pula. Tapi, kalau sektor yang dibiayai ternyata tidak memberikan return tinggi, bagian return yang diterima nasabah juga tidak tinggi. Dengan kata lain, sistem bagi hasil itu sebenarnya mirip dengan sistem yang ditawarkan oleh fund management, yang kita tahu kini semakin banyak dipilih orang untuk mendayagunakan dana yang dimilikinya.
Kerepotan lain adalah pemahaman yang terkait dengan sistem tanpa bunga. Ternyata, banyak orang menafsirkan sistem tanpa bunga, yang di Malaysia disebut dengan sistem tanpa faedah, sebagai perbankan yang tidak memberikan return sama sekali.
Tentu saja kekurangpahaman atau kesalahpahaman terhadap perbankan syariah ini cukup merepotkan bagi Bank Muamalat. Karena itu, Bank Muamalat mau tidak mau terpaksa harus memberikan porsi ekstra untuk mendidik nasabah. Hanya saja, sejauh ini upaya tersebut memang tidak memberikan banyak hasil. Maklum, mendidik pasar jika dilakukan sendiri, memang tidak mudah. Terutama karena kesulitan dalam bentuk menarik perhatian nasabah.
Nah, seperti biasa, mari kita tarik problematika di atas ke dalam lingkup bisnis credit union. Di credit union ada produk leasing, sistem pembagian bunga juga berdasarkan pooling dana, dan tentunya sistem bagi hasil melalui deviden. Credit union juga mempunyai pasar riil (UKM) yang di Indonesia, dengan credit union memiliki produk-produk seperti di atas - menurut saya sangat customized, mestinya mudah mendekatkan diri credit union dengan anggota atau pelanggannya, demikian juga sebaliknya.
Nah, dimana problemnya? Pemahaman akan produk dan sistem (product knowledge) ternyata menjadi begitu vital jika credit union ataupun Bank Muamalat mau berkembang dengan pesat.
Karena itu, ketika izin bagi perbankan syariah dan juga perkoperasian tidak lagi bersifat eksklusif, Bank Muamalat dan credit union justru mempunyai kesempatan untuk berkembang. Sebab, keberadaan pesaing pasti akan menimbulkan noise yang pada akhirnya akan menarik perhatian calon nasabah. Bila terjadi hal seperti ini, mendidik pelanggan jadi lebih mudah dilakukan.
Ingat, kuncinya menjadi spesialis atau fokus. BCA bisa terus menjadi pilihan karena fokus pada pengembangan layanan melalui teknologinya. Namun, di sisi lain tetap membiarkan pesaing-pesaingnya mengikuti teknologi yang dikembangkannya. Dan ketika dengan fokusnya itu, BCA menjadi different.
Bagaimana pendapat Anda? Be different!
Di sebuah negeri dengan penduduk hampir sebagian besar muslim, ternyata tidak bisa begitu saja membuat Bank Muamalat menjadi bank terbesar di negeri ini. Memang ada sejumlah faktor penyebabnya. Bank Muamalat bagaimanapun termasuk bank muda, karena baru muncul di tahun 90-an.
Meski masih muda, Bank Muamalat sebenarnya mempunyai peluang jauh lebih besar untuk cepat berkembang dibandingkan dengan bank-bank muda lainnya. Termasuk yang dilahirkan setelah Pakto 1988.
Kenapa? Karena Bank Muamalat ini memang beda dengan kebanyakan bank lainnya. Dulu, sebelum munculnya Bank Muamalat, hampir semua bank di Indonesia adalah bank konvensional. Alias bank yang menggunakan sistem bunga. Sementara, Bank Muamalat muncul dengan premis bahwa bunga bank adalah riba, yang hukumnya haram menurut Islam. Karena itu, dalam operasinya Bank Muamalat tidak menganut sistem bunga, tapi sesuai dengan syariah menganut sistem bagi hasil.
Sistem bagi hasil ini sangat menarik. Di Malaysia misalnya, bank yang menganut sistem bagi hasil ini ternyata bisa berkembang pesat. Karena, bisa memberikan return yang lebih tinggi dibandingkan bank konvensional. Sayangnya, yang terjadi di Malaysia itu tidak terjadi di Indonesia. Sehingga, bank syariah di Indonesia tidak berkembang sepesat di Malaysia. Kenapa?
Sejak kemunculan Bank Muamalat tujuh tahun lalu, melalui sebuah publisitas yang bisa jadi sulit dicari bandingannya, ternyata respons target pasar tidak begitu bagus. Bukan hanya dalam jumlah nasabah yang masih biasa-biasa, tapi juga pemahaman terhadap praktek sistem syariah.
Betul, masyarakat sudah tahu bahwa bank syariah menerapkan sistem tanpa bunga atau sistem bagi hasil. Tapi, apa bentuknya dan apa saja layanan yang berlandaskan pada prinsip bagi hasil ternyata tidak banyak dikenal orang. Bahkan, karena tidak paham maksud prinsip bagi hasil, seringkali ditemui sejumlah calon nasabah tidak percaya bahwa layanan produk perbankan yang diberikan bank syariah sebenarnya tidak ada bedanya dengan bank konvensional. Tabungan, deposito, dan giro ditawarkan juga oleh bank syariah. Yang menarik, karena berlandaskan pada prinsip syariah, produk perbankan dan keuangan yang bisa ditawarkan sebenarnya jauh lebih luas dibandingkan dengan bank konvensional.
Bank syariah, misalnya, punya produk yang disebut dengan ijaroh. Dalam sistem bank ataupun keuangan konvensional, termasuk credit union, ijaroh ini mirip dengan leasing. Tentu saja, ini menjadi kelebihan tersendiri. Sebab, kita tahu bahwa bank konvensional itu dilarang menawarkan leasing. Bukan hanya itu, bank syariah juga menawarkan sistem gadai. Meski harus diakui bahwa penawaran seperti ini tidak bisa berdiri sendiri, tapi menjadi bagian dari penawaran produk lainnya.
Selain itu, yang juga belum banyak dipahami banyak orang adalah penerapan sistem bagi hasil. Di sistem perbankan konvensional, besarnya return dalam bentuk bunga yang akan diterima nasabah sebenarnya tidak begitu jelas. Seringkali, bank menetapkan return yang akan diterima nasabah dalam sebuah angka tertentu. Tapi, apakah angka yang ditetapkan itu memang menguntungkan buat dirinya atau bank, nasabah seperti tidak punya banyak pilihan. Apalagi, angka serupa juga ditawarkan oleh bank konvensional lainnya. Termasuk dalam hal ini credit union.
Di sistem syariah, return yang akan diterima nasabah didasarkan pada besarnya return dari pooling dana yang akan digunakan oleh bank dalam sebuah kegiatan investasi. Kalau dana ttersebut masuk di sektor yang memang memberikan return tinggi, penabung atau deposan akan mendapatkan bagian return yang cukup tinggi pula. Tapi, kalau sektor yang dibiayai ternyata tidak memberikan return tinggi, bagian return yang diterima nasabah juga tidak tinggi. Dengan kata lain, sistem bagi hasil itu sebenarnya mirip dengan sistem yang ditawarkan oleh fund management, yang kita tahu kini semakin banyak dipilih orang untuk mendayagunakan dana yang dimilikinya.
Kerepotan lain adalah pemahaman yang terkait dengan sistem tanpa bunga. Ternyata, banyak orang menafsirkan sistem tanpa bunga, yang di Malaysia disebut dengan sistem tanpa faedah, sebagai perbankan yang tidak memberikan return sama sekali.
Tentu saja kekurangpahaman atau kesalahpahaman terhadap perbankan syariah ini cukup merepotkan bagi Bank Muamalat. Karena itu, Bank Muamalat mau tidak mau terpaksa harus memberikan porsi ekstra untuk mendidik nasabah. Hanya saja, sejauh ini upaya tersebut memang tidak memberikan banyak hasil. Maklum, mendidik pasar jika dilakukan sendiri, memang tidak mudah. Terutama karena kesulitan dalam bentuk menarik perhatian nasabah.
Nah, seperti biasa, mari kita tarik problematika di atas ke dalam lingkup bisnis credit union. Di credit union ada produk leasing, sistem pembagian bunga juga berdasarkan pooling dana, dan tentunya sistem bagi hasil melalui deviden. Credit union juga mempunyai pasar riil (UKM) yang di Indonesia, dengan credit union memiliki produk-produk seperti di atas - menurut saya sangat customized, mestinya mudah mendekatkan diri credit union dengan anggota atau pelanggannya, demikian juga sebaliknya.
Nah, dimana problemnya? Pemahaman akan produk dan sistem (product knowledge) ternyata menjadi begitu vital jika credit union ataupun Bank Muamalat mau berkembang dengan pesat.
Karena itu, ketika izin bagi perbankan syariah dan juga perkoperasian tidak lagi bersifat eksklusif, Bank Muamalat dan credit union justru mempunyai kesempatan untuk berkembang. Sebab, keberadaan pesaing pasti akan menimbulkan noise yang pada akhirnya akan menarik perhatian calon nasabah. Bila terjadi hal seperti ini, mendidik pelanggan jadi lebih mudah dilakukan.
Ingat, kuncinya menjadi spesialis atau fokus. BCA bisa terus menjadi pilihan karena fokus pada pengembangan layanan melalui teknologinya. Namun, di sisi lain tetap membiarkan pesaing-pesaingnya mengikuti teknologi yang dikembangkannya. Dan ketika dengan fokusnya itu, BCA menjadi different.
Bagaimana pendapat Anda? Be different!