Excellent Customer Service Culture

Posted: Senin, 16 Februari 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

All business is a service business. So, treat your customer exactly like the way you want to be treated when you are someone else’s customer...

Misi setiap usaha, perusahaan, community brand ataupun personal brand adalah meraih kesetiaan setiap pelanggannya. Semua bisnis – mulai dari sebuah kantor dokter gigi di kota kecil sampai sebuah jaringan hotel internasional, dari sebuah toko kecil sampai sebuah bengkel – memerlukan satu hal yang sama, yaitu kesetiaan pelanggan. Dan kabar baik bagi Anda adalah bisnis Anda akan sukses jika Anda mengembangkan kesetiaan pelanggan. Tetapi, ada yang harus diperhatikan, lawan kesetiaan pelanggan bukanlah ketidaksetiaan, tetapi sikap apatis pelanggan. Pelanggan yang mempunyai keluhan atau lari ke toko lain untuk mendapat keuntungan dari pesaing Anda, bukanlah ancaman yang paling besar bagi Anda. Anda harus lebih khawatir terhadap semua yang dahulu menjadi pelanggan Anda tetapi sekarang sudah tidak lagi peduli dengan Anda.

Survei yang dilakukan oleh beberapa perusahaan menunjukkan angka yang mengejutkan, bahwa ternyata pelanggan berpaling dan meninggalkan kita karena ‘lemahnya’ pelayanan (service) kita. Kecenderungan yang terjadi di banyak perusahaan, termasuk juga credit union, standar pelayanan perusahaan biasanya rigid dan menciptakan budaya servis sebagai sebuah tugas bisnis, sebagai tugas terhadap penguatan brand Anda. Semestinya, jika servis telah menjadi sebuah budaya dalam perusahaan, servis tersebut berperan sebagai Service dalam huruf S besar. Bukan saja after service, before service atau product service tapi servis yang mampu menjadi solusi bagi pelanggan Anda. ‘… if you have problems, please come to me, I have solution’, kira-kira seperti ini yang akan Anda janjikan kepada pelanggan Anda. Solution is your positioning. Jika sudah seperti ini servis menjadi ‘panggilan jiwa’ bagi seluruh elemen perusahaan Anda.



Anda mungkin sudah mengetahui, bahwa lebih dari 63% pelanggan setiap tahunnya meninggalkan suatu brand. Alasannya jelas, karena kurang puas terhadap pelayanan brand. Jika sudah mengalami hal seperti ini, berarti perusahaan ini sakit. Mengapa perusahaan menderita sakit? Menurut Jagdish N. Seth, perusahaan sakit karena perilaku pemimpinnya yang cenderung merusak diri sendiri. Mereka ini sudah tidak mau dan mampu lagi melakukan self service, jadi bagaimana mungkin mampu memberikan excellent service kepada pelanggannya? Menurutnya hal ini disebabkan oleh adanya 7 penyakit yang telah hidup dalam tubuh pemimpin perusahaan, yang disebutnya sebagai Self Destructive Habits, yaitu menyangkal realita baru (denial), arogansi, rasa puas diri (complemancy), ketergantungan pada kompetensi, cepat memandang persaingan sebagai sebuah ancaman, ketegangan teritorial antar lini, dan obsesi terhadap volume.

Self Destructive Habits inilah yang secara terus menerus akan mengikis adanya passion for service dan passion for people yang seharusnya dimiliki oleh mereka yang menjalankan service business. Karena sekali lagi, all business is service business. Orang-orang yang sebelumnya diharapkan menjadi change agent sebuah pelayanan ini, akhirnya adalah sekumpulan orang yang tidak saja kehilangan kedua passion tadi, tapi juga kehilangan passion for business dan passion for knowledge. Mereka tidak mampu lagi untuk menjalankan bisnisnya dengan optimal dan yang lebih parah mereka kehilangan semangat untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Mereka inilah orang-orang yang selalu mengedepankan tigas penghambat pertumbuhan manusia, yaitu banyak alasan (excuse), cenderung untuk menyalahkan (blame), dan mudah untuk melakukan pembenaran (justify).

The 6th Core Elements of the Excellent Customer Service’s Culture
Untuk mengikis atau paling tidak meminimalisasi kondisi perusahaan yang cenderung produktif untuk meningkatkan tingkat customer migration, maka perusahaan perlu menciptakan dan menerapkan budaya excellent customer service yang tidak rigid, namun mampu menyatukan stakeholder perusahaan dengan visi yang menghidupinya. Bukan suatu pekerjaan yang mudah untuk bisa membangun sebuah corporate culture, karena di dalamnya dibutuhkan resource yang luar biasa. Membangun resource terbesar dan paling berharga bagi perusahaan bukanlah people, melainkan the right people. Karena hanya dengan the right people inilah perusahaan akan mampu membangun yang namanya corporate culture tadi.

Corporate culture inilah yang nantinya akan memperkuat dan memperkokoh brand perusahaan, mempercantik image dari brand itu sendiri, dan yang lebih penting adalah menciptakan customer advocacy dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Dan untuk menuju fase ini, perusahaan harus memiliki impian besar akan wujud perusahaan nantinya. You know your face in final wait.

‘You have to think, so why don’t think big?’ demikian ujar usahawan sukses dan legendaris dunia, Donald Trump, yang kata-katanya banyak didengar eksekutif di seluruh dunia. Benar! Kita semua harus berpikir, lantas mengapa harus tanggung-tanggung? Apa yang Anda pikirkan itulah yang akan menjadi kenyataan, dan Anda adalah apa yang Anda pikirkan. Kalau Anda berpikir kecil, maka seperti itu pulalah hasil yang Anda dapatkan. Demikian pula sebaliknya. Sederhana kedengarannya, tetapi entah mengapa tidak sesederhana itu manusia menafsirkannya. Sebagian manusia ternyata berpikir begitu kecil dan lokal, yang kasat mata, yang mudah ditebak dan diterka hasilnya, bahkan terperangkap pikiran masa lalu, sehingga mereka terkurung pada kehidupan yang serba terbatas. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang mampu keluar dari belenggu-belenggu itu, tentang hal-hal yang belum dikerjakan orang-orang lain dan melihat masa depan dengan mata futuristiknya (visionable-man). Mereka inilah yang berhasil menaklukkan ego pikiran dan ego lingkungan, bahkan ego intelektualnya untuk mengarungi dunia baru.
Dunia baru itu kita sebut dunia powerhouse, yaitu dunia ekonomi yang serba besar dan iconic.

Suatu ketika dalam hidupnya dan sebelum menutup matanya, mereka-mereka inilah yang begitu ingin menyaksikan setidaknya perusahaan yang mereka bangun dan kembangkan, mampu menjadi kebanggaan bangsa dan tercatat dalam daftar terhormat seperti Fortune 500 Global Companies. Dan mereka inilah yang sangat meyakini bahwa hanya dengan corporate culture yang kokoh dan benar-benar excellent, maka bisnis mereka pun akan juga excellent. Dan yang dibutuhkan hanyalah excellent people.

Untuk membangun yang namanya budaya tersebut, sebuah perusahaan tanpa terkecuali credit union, membutuhkan tidak saja the right people namun juga kondisi lingkungan yang mampu membawa mereka tetap right di jalurnya. Perusahaan harus mampu menciptakan kondisi lingkungan yang menerapkan global standard bagi manajemen perusahaan itu sendiri, dengan regional perspective yang memudahkan perusahaan dalam menciptakan ‘gambaran dirinya’, dan tentu saja menggunakan local touch sehingga perusahaan tetap menginjakkan kaki dimana mereka berada, down to eart. Hal-hal inilah yang akan membantu the right people atau sekadar people yang sudah ada atau akan masuk dalam lingkungan perusahaan, untuk mempunyai keempat passion tadi. Passion for people, untuk tetap menjadikan mereka manusia yang mampu memberikan value bagi manusia yang lain, memanusiakan manusia. Passion for knowledge, untuk tetap menjaga keinginan mereka untuk terus belajar dan mengembangkan diri demi perbaikan dan transformasi yang optimal dari perusahaannya. Passion for service, untuk tetap menjaga arti dari setiap karya dan kerja mereka sebagai sebuah proses pelayanan. Dan terakhir passion for business, untuk tetap menjaga proses bisnis perusahaan sebagai bagian dari their life dan their future.

Pertanyaannya kemudian adalah apa saja yang dibutuhkan sebagai fondasi awal dalam membangun dan mengembangkan budaya pelayanan yang sempurna atau prima? Kita mesti mengembangkan 6 elemen dasar pengembangan pelayanan prima, yaitu pola pikir (mindset), sistem kerja (tool set), dimensi nilai pelayanan (value dimension), budaya perusahaan (corporate culture), mengetahui bagaimana menjalin relasi dengan pelanggan (customer relation), dan penanganan komplain (recovery).

Mindset. Pola pikir menjadi bagian yang paling penting bagi pembangunan dan pengembangan budaya pelayanan. Kita harus mampu mempersiapkan pola pikir yang positif bagi internal usaha kita. Artinya secara tidak langsung telah tercipta budaya pelayanan yang ‘luar biasa’ secara personal. Hal ini sebagai fondasi awal dalam menciptakan pelayanan sebagai sebuah calling dan bukan lagi job.

Semua elemen dalam manajemen pertama kali harus memiliki mental kelimpahan atau mental untuk berbagi (abundant generosity). Hal ini penting sebagai mindset awal setiap manajemen dalam memberikan pelayanan. Ada kepuasan dan ketulusan ketika kita bisa berbagi untuk orang lain, bukan karena adanya kompensasi lain, seperti imbalan materi. Mental kelimpahan dan keinginan untuk berbagi ini sudah seharusnya dibungkus dengan perasaan yang tulus, bukan karena pamrih. Ya, ada semacam genuine compassion. Maka service kita akan semakin natural.

Selanjutnya, kita mesti mempunyai pola pikir bahwa segala sesuatu itu bisa kita kerjakan dan wujudkan. Kita selalu mempunyai keyakinan bahwa segala sesuatu yang menjadi tanggung jawab kita dapat kita kerjakan dengan baik. Ada semangat bahwa ‘semua dapat dilakukan’ (the ‘can do’ spirit). Dasar utama dari semangat ini adalah karena kita selalu mempunyai keinginan untuk belajar dan terus bertumbuh (eagerness to learn and grow).

Dan selanjutnya yang tidak kalah penting adalah kemampuan kita untuk dapat menciptakan take personal responsibility, kemampuan dan kemauan untuk bertanggung jawab secara pribadi. Dan terakhir kita harus selalu mencoba belajar untuk melihat segala permasalahan tidak hanya dari satu sudut pandang. Cobalah melihat dari sudut pandang pelanggan (see the world from the customer point of view), sehingga kita mampu memberikan pelayanan yang tidak sekadar service tapi juga pelayanan yang penuh empati.

Toolset. Anda perlu memperhatikan ‘pepatah manajemen’ berikut. ‘Saat ini yang dibutuhkan oleh perusahaan, bukan karyawan yang loyal terhadap atasan maupun perusahaan, namun karyawan yang mampu secara konsisten memberikan yan terbaik akan apa yang menjadi tanggung jawabnya …’. Inilah inti dan elemen dasar dari penciptaan sistem kerja yang berkualitas di perusahaan Anda. Don’t be the best for everything, but to do your best and to be different ... Perusahaan yang berani ‘tampil beda’ dan mampu berbeda dibanding pesaingnya adalah mereka yang akan memenangkan persaingan pasar.

Bagaimana Anda bisa menciptakan sistem kerja yang mampu membuat kita selalu ‘tampil beda’ di mata pelanggan? Pertama kali, Anda harus ‘membereskan’ produk dan servis perusahaan Anda terlebih dahulu. Pastikan produk dan pelayanan Anda utuh dan sempurna (excellent product and service). Kalau produk dan pelayanan Anda sudah beres dan prima, Anda tinggal memikirkan bagaimana menciptakan sistem penyediaan (produk dan pelayanan) yang efisien, efficient delivery sistem. Artinya tidak hanya produk dan pelayanan yang sempurna tapi juga proses hantaran yang efisien dan tepat sasaran.

Pastikan juga bahwa setiap sumber daya manusia yang Anda miliki merupakan mereka yang masuk dalam kategori the right people. Karena percuma saja produknya bagus, pelayanannya sempurna, proses hantarannya cepat, kalau people-nya tidak mampu mendukung semua itu. Anda membutuhkan competent and well-trained people.

Sekarang evaluasi prosedur dan birokrasi di perusahaan Anda. Pastikan bahwa Anda mempunyai user-friendly policies and procedures, prosedur dan kebijakan yang bersahabat, tentunya bagi pelanggan. Uniknya, ini bisa terwujud jika perusahaan Anda rutin untuk use the quantitative and qualitative analysis to develop the customer information database. Perusahaan mempunyai database yang up-to-date dan detail karena terus mengembangkan analisis kuantitatif maupun kualitatif setiap waktunya.

Database saja tidak akan cukup. Anda juga harus mampu memastikan bahwa comprehensive feedback system yang perusahaan Anda kembangkan telah berjalan maksimal. Ada sistem umpan balik yang dikembangkan secara berkesinambungan. Dan tentu saja selanjutnya adalah bagaimana perusahaan mampu menerapkan sistem perbaikan yang terus menerus (a system for continuous improvement).

Jika semua hal di atas tadi mampu dijalankan dan dikembangkan oleh perusahaan, maka secara otomatis, perusahaan akan mampu menciptakan yang namanya effective organizational system, sistem organisasi yang efektif. Mulai dari prosedur dan juga kebijakan, hingga produk dan servisnya mampu diterima dengan baik oleh pelanggan dan tentu saja mampu menciptakan customer satisfaction. Dan akhirnya perusahaan akan benar-benar mempunyai toolset yang luar biasa, jika kedelapan hal tersebut mampu dipadukan dengan suatu sistem yang namanya mastering growth, profitability, and innovation system. Sistem ini yang nantinya akan membantu perusahaan untuk mampu melihat dan menciptakan pertumbuhan dan keuntungan usaha melalui pengembangan inovasi.

Value Dimension. Pola pikir dan sistem kerja yang Anda kembangkan akan dengan mudah dilihat dan dievaluasi oleh pelanggan ‘hanya’ dengan memperhatikan dimensi nilai yang perusahaan Anda kembangkan. Apakah baik atau buruk, menjadi sesuatu yang sangat mudah ditafsirkan oleh pelanggan karena value dimension yang terpancar dari brand Anda. Untuk itu perusahaan mestinya mampu terus memperhatikan, mengevaluasi dan melakukan proses perbaikan secara terus menerus terhadap beberapa hal berikut. Pertama tentu saja sikap karyawan (staff attitude). Selanjutnya apakah karyawan Anda memang dapat diandalkan (reliability), mempunyai kecepatan dalam bekerja (speed), memperhatikan dan memberikan penampilan fisik yang prima (physical appearance), mampu menghargai nilai uang (value of money), mempunyai fleksibilitas (flexibility), dan terakhir memiliki perhatian secara pribadi (personal attention).

Value dimension ini seharusnya dijalankan secara konsisten (consistency) sebagai sebuah komitmen (commitment) terhadap budaya pelayanan yang akan dikembangkan. Kenapa? Karena inilah yang akan menjadi karakter merek Anda (brand character).

Corporate culture. Budaya perusahaan merupakan sekumpulan nilai dan norma yang dihayati dan dijalankan oleh sekelompok orang dalam mengembangkan usahanya pada sebuah organisasi, yang ikut menentukan bagaimana cara mereka berinteraksi dan berelasi dengan stakeholder maupun shareholder organisasi tersebut. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana kita mampu mengidentifikasi ada atau tidaknya budaya perusahaan ini?

Ada beberapa elemen yang dapat menggambarkan adanya budaya perusahaan. Pertama, adanya paradigma, yang berarti cara penghayatan ataupun pikiran internal usaha terhadap organisasinya. Apakah mereka ini berpandangan positif, prospektif dan mantap dalam menatap usaha organisasi ke depan, atau justru sebaliknya? Kedua, adanya sistem kontrol terkait dengan proses-proses yang ada di perusahaan dalam upaya memonitor atau mengatur segala kegiatan organisasi.

Ketiga, adanya struktur organisasi yang tercermin dari hierarki dan garis hubungan kerja antar-lini, antar-fungsi dan bahkan antar-organisasi. Keempat, adanya simbol yang terlihat dalam bentuk gambar ataupun lambang-lambang yang mampu ditampilkan secara kasat mata (logo dan atau positioning). Dan terakhir, adanya ritual rutin, yaitu semacam praktek dan perilaku sehari-hari yang dijalani sebagai sebuah kebiasaan, namun terkadang dijalani melampaui batas-batas kebutuhan organisasi.

Kalau di atas merupakan indikator ada tidaknya sebuah budaya perusahaan. Berikut ini adalah hal-hal yang ‘harus ada’ jika perusahaan ingin membangun sebuah excellent corporate culture. Pertama, pastikan perusahaan Anda mempunyai service philosophy, ada falsafah pelayanan dalam perusahaan. Selanjutnya, perusahaan mesti memiliki dalam new staff recuitment dan new staff orientation, bahkan sampai dengan sistem training and development.

Kemudian, perusahaan juga harus mampu menciptakan suatu sistem reward-punishment and recognition yang proporsional, sistem appraisals and promotion yang berkesinambungan. Mampu menciptakan internal communication dan management and staff interaction system yang kondusif dan produktif, termasuk juga dengan penciptaan physical atmosphere and ambience.

Selanjutnya, perkuat budaya perusahaan Anda dengan kesinambungan dan keterlibatan dalam company social event, evaluasi optimal melalui staff suggestions schemes (program sumbang saran karyawan), dan ciptakan budaya management role modeling (model manajemen kepemimpinan melalui keteladanan). Inilah yang disebut dengan brand management dan culture management dalam sebuah organisasi.

Customer Relations. Ada empat cara bagi perusahaan untuk menjalin relasi dengan pelanggannya. Pertama melalui sistem yang sering disebut dengan one shot deal interaction. Dalam interaksi ini terjadi transaksi singkat, dan berlangsung sesaat. Biasanya tanpa dilanjutkan dengan relasi dalam jangka panjang. Contohnya seperti ketika kita membeli majalah atau koran di lampur merah. Kedua, yang sering disebut dengan interaction satisfaction. Dalam interaksi ini, perusahaan berkesempatan untuk memberikan pelayanan yang memuaskan dan memberikan kesan positif tentang produk ataupun perusahaan Anda.
Selanjutnya, perusahaan juga bisa menciptakan reliable relationship. Dalam interaksi ini, kedua belah pihak (perusahaan dan pelanggan) mempunyai kepentingan untuk memberikan kesan yang positif dan menjaga hubungan kerja agar tetap harmonis. Contohnya seperti ketika kita berlangganan koran maupun majalah. Sebagai pelanggan kita menjaga sikap positif kita dengan tidak terlambat dalam membayar biaya berlangganan, sedangkan perusahaan akan memberikan kesan positif dengan selalu mengirimkan koran ataupun majalah yang kita pesan sesuai dengan waktu yang telah disepakati.

Terakhir, perusahaan seharusnya mampu mencapai dan atau menciptakan yang namanya powerful relationship. Dimana dalam interaksi ini kedua belah pihak selalu berusaha untuk lebih mengenal dan memberikan nilai tambah bagi mitra usahanya. Semacam hubungan yang terjalin antara suami dan istri.

Keempatnya interaksi tersebut menjadi suatu indikator sejauhmana kita mampu mengajak pelanggan menjadi mereka yang benar-benar mencintai produk dan perusahaan kita, bukan sebatas transaksi sesaat. Menurut Patricia Seybold dalam bukunya Customer Relationship Management, upaya-upaya untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan, salah satunya dengan membantu pelanggan menyelesaikan masalahnya merupakan bagian dari Critical Success Factor (CSF) dalam membangun budaya pelayanan yang prima. Pada bagian lain dalam jurnal ini, saya telah menyampaikan mengenai klasifikasi pelanggan berdasarkan karakter mereka terhadap sebuah brand atau produk.

Pertama adalah mereka yang dikategorikan sebagai terrorist customer, yaitu pelanggan yang senang menjelek-jelekkan sebuah merek, bisa karena tidak suka atau bisa juga karena pernah merasa tidak puas akan pelayanannya. Kedua, adalah mereka yang saya sebut dengan transactional customer, yaitu pelanggan yang hubungannya dengan merek sifatnya sebatas transaksi saja. Pelanggan semacam ini akan dengan mudahnya datang dan pergi, karena tidak mempunyai relationship yang baik dengan produk dan merek, basis relationship-nya adalah transactional.

Selanjutnya adalah pelanggan yang masuk dalam ketegori relationship customer, pelanggan jenis ini telah melakukan repeat buying dan pola hubungannya dengan produk dan merek adalah relational. Kemudian, kategori pelanggan yang masuk dalam loyal customer. Mereka ini adalah pelanggan yang tidak hanya melakukan repeat buying, tapi lebih jauh lagi sangat loyal kepada merek dan produknya. Mereka ini biasanya mau merekomendasikan produk atau merek yang mereka ‘loyali’ kepada pelanggan lain. Terakhir adalah mereka yang masuk dalam kategori advocator customer, yaitu pelanggan yang selalu mati-matian membela merek dan produk. Pelanggan ini akan selalu menjadi juru kampanye dan juru bicara yang baik kepada pelanggan lain. Namun di suatu kesempatakn juga bisa menjadi pelanggan yang akan sangat marah kalau mendengar pelanggan lain menjelek-jelekkan merek dan produk yang mereka gunakan.

Recovery. Sebagus atau seprima apapun perusahaan memberikan pelayanan, pasti akan tetap memberikan beberapa kesan atau ketidakpuasan di mata pelanggan. Ini yang disebut dengan kewajaran yang harus selalu dihindari. Pelanggan akan dengan tegas dan keras menyampaikan komplain akan ketidakpuasan mereka terhadap pelayanan yang diberikan.

Wah, gimana sih ini. Sudah mahal-mahal bayar fee-nya, kok ditanya muter-muter gak jelas jawabnya. Giliran bayar aja dia ngejar-ngejar. Waktu ada masalah, ia susah benar dihubunginya. Kalimat-kalimat omelan semacam itu, seringkali kita dengar khususnya dari mereka para pembeli jasa kita. Mereka yang educated dan sopan, membahasakan dengan halus dan beretika. Sementara lebih banyak lagi pembeli yang terbiasa mengumpulkan rupiah demi rupiah melalui perjuangan berat, maka mereka ini membahasakan dengan lebih keras dan kasar. Sedikit ‘ketidakbenaran’ atau salah jawab saja, sudah dapat memancing reaksi cacian. Lucunya, banyak kasus perseteruan yang membesar sebenarnya bermula dari hal yang awalnya nampak ‘remeh’.

Apa sebenarnya yang terjadi? Seringkali laporan pengaduan staf kita atas kata-kata reaksi complaint tersebut memancing reaksi spontan kemarahan balik kita. Sikap kita ini bukannya ‘memadam’-kan masalah, namun malah lebih buruk lagi seolah meniupkan ‘bara api’ sehingga akhirnya menyala membesar menjadi api ‘beneran’ dan terjadilah ‘kebakaran’. Selanjutnya bisa dibayangkan manakala word of mouth complaint ini menjadi gosip yang menyebar, maka tidak peduli berapa besar, meyakinkan, dan majal iklan yang dibuat, tetap saja calon pembeli jasa kita lebih memercayai omongan dari mereka yang pernah mempunyai pengalaman berhubungan dengan kita. Lebih parahnya lagi, manakala si calon pembeli jasa kita tidak mendengar dari mulut pertama yang complaint tetapi dari orang kesekian. ‘Kata si X yang pernah beli, dan seterusnya …’ menjadi idiom pembuka. Seringkali pada kasus semacam ini terjadi pembesar-besaran berita, sehingga masalah yang tadinya simple menjadi sesuatu yang seolah heboh dan serius.

Tentu saja kita sebagai penjual jasa sangat-sangat tidak menginginkan menghadapi situasi semacam ini. Lantas, bagaimana mengatasinya? Pertama-tama, tentu saja kita harus memahami apa itu 3 pilar utama dalam handling complaint, yakni kesiapan mental-attitude, komunikasi yang baik, dan pengetahuan yang memadai.

Kesiapan mental-attitude dimulai dari mind set yang siap menempatkan pembeli atau pelanggan adalah ‘benar’. Apapun yang di-complaint pelanggan harus ditempatkan sebagai kebenaran dahulu, tentu saja dari kacamata pelanggan. Mind set demikian diharapkan memengaruhi perilaku (attitude) kita termasuk organisasi dalam memberikan respon atau reaksi umpan balik. Memang, dari kacamata kita, kita akan dengan mudah menemukan sejumlah pembelaan yang terkadang keluar dalam bentuk serangan balik menyalahkan si pelanggan. ‘Dia aja gak baca kontraknya’, ‘Dia aja gak baca manualnya’, ‘Udah pernah dijelasin, nanya terus’, dan sebagainya adalah sejumlah reaksi serangan balik atas complaint yang terjadi.

Dan umumnya benar sekali lagi dari kacamata kita. Sikap ini jelas tidak menunjukkan kesiapan atau mind set bahwa pelanggan adalah benar atau pelanggan adalah raja (idiom yang umum berlaku). Ibarat menghadapi kemarahan seorang raja, maka sikap yang sebenarnya perlu dilakukan, adalah berdiam menyimak untuk memahami dengan jelas apa yang sebenarnya dikeluhkan oleh pelanggan kita tersebut.

Seringkali mereka tidak juga memiliki kemampuan komunikasi cukup dalam menjelaskan masalah pokok yang di-complaint. Di sini perlunya mental menghadapi cacian dengan senyuman dan keberanian untuk berkomunikasi dengan baik meladeni dan merumuskan apa sebenarnya yang menjadi pokok masalah dengan tenang tanpa terkesan defensif atau bahkan sebaliknya, emosional menyerang balik. Kesiapan untuk berani menghadapi complaint pelanggan ini adalah hal yang paling mendasar, jangan malah dihindari complaint pelanggan tersebut.

Kemampuan berkomunikasi yang baik dimulai dengan kemampuan merumuskan apa message yang ingin disampaikan oleh lawan bicara. Reaksi yang tenang, serius menyimak, dan mengonfirmaksikan seolah merupakan pengakuan atas ‘kesalahan-kesalahan serta permohonan maaf’ yang serta merta akan mengurangi kemarahan dari pelanggan kita yang complaint tersebut. Geisture tubuh kita ini adalah bagian dari skill komunikasi yang baik tersebut. Selain dengan bahasa tubuh, maka pemilihan kata yang sopan, santun, serta menunjukkan empati menjadi hal penting lainnya.

Perlu dipahami bahwa tidak mesti semua complaint pelanggan dapat kita jawab seketika sesuai keinginan si pelanggan tersebut. Materi jawaban di sini bukanlah hal yang utama, tetapi adalah bagaimana membuat si pelanggan merasa sudah terperhatikan kegelisahan maupun kegusarannya. Di sinilah skill komunikasi verbal yang baik mendapatkan nilainya.

Dalam memahami complaint, perlu dibedakan antara complaint yang benar menyangkut kesalahan internal dengan complaint yang terjadi lebih karena kekurangpahaman atau kesalahpahaman dari si pelanggan. Untuk hal yang kedua tentu saja lebih mudah menjawabnya sejauh informasinya dikuasai, namun untuk hal yang pertama dibutuhkan jawaban yang membuat nyaman di penanya. Hal penting di sini adalah diberikannya gambaran mengenai waktu yang diperlukan apakah untuk hanya memberikan jawaban atau ‘sukur-sukur’ untuk menyelesaikan complaint tersebut.

Pada akhirnya pelanggan akan tetap terjaga kesetiaannya, walau sedang complaint manakala dia merasa terperhatikan dan nyaman. Salah satu elemen yang membuat nyaman adalah saat mereka merasa telah berbicara dengan orang yang dianggap memiliki pengetahuan dan pemahaman sebagai apa yang mereka complaint tersebut. Harapannya tentu saja complaint-nya akan terjawab dengan cepat dan tepat. Di sinilah pentingnya pengetahuan atau penguasaan materi masalah. Pengetahuan dasar yang harus dipahami adalah mengenai organisasi serta proses kerjanya. Beberapa pertanyaan yang sering atau berulang kali ditanyakan biasanya dibukukan dalam FQA, Frequent Question Answer.

Pada akhirnya, setelah ketiga pilar utama handling complaint tersebut dikuasai, selanjutnya adalah bagaimana menerapkannya dalam organisasi. Berdasarkan ketiga hal tersebut, maka dibuat organ-organ maupun program-program di organisasi, seperti diwujudkannya fungsi customer handling, dan fungsi customer communication, maupun fungsi penyediaan dan kemudahan akses pengetahuan perusahaan untuk mereka yang bertugas. Setelah fungsi organisasi dan prasarananya tersedia, pada akhirnya the man behind the gun menjadi penentu akhir, penempatan maupun kesesuaian sumber daya manusia baik skill, mental-attitude, serta pengetahuan sebagai faktor-faktor yang perlu diwujudkan. Bila ini terlaksana, maka perusahaan akan menjadi learning organization, dimana organisasi akan beradaptasi dan tumbuh sesuai dengan situasi.

Handling complaint ini merupakan bagian dari recovery yang perusahaan mesti jalankan, untuk bisa membantu pelanggan keluar dari ketidakpuasannya. Namun secara prinsip, perusahaan harus menjadikan komplain ataupun keluhan pelanggan sebagai suatu proses belajar dan pengembangan diri. Dengan kata lain perusahaan harus juga menjalankan 5 credo recovery. Pertama, problems can be good for you, masalah dapat menjadi hal yang menguntungkan bagi Anda. Ingat, tanpa kesalahan Anda tidak akan pernah mencapai sukses.

Selanjutnya, make it easy for customers to complaint, buatlah pelanggan Anda mudah untuk menyampaikan komplain ataupun keluhan mereka, dan jangan pernah menghindari hal ini. Why do customer bother to complain? Kita harus mengetahui mengapa pelanggan mau meluangkan waktu untuk menyampaikan komplain maupun keluhan kepada kita. Saya bisa pastikan bahwa jawabannya hanya ada satu, karena mereka ‘mencintai’ Anda (produk dan merek). Jadi, kenapa harus takut dan menghindar?

When things go wrong, use emphaty and be specific with your follow-up action plan. Ketika terjadi masalah, gunakanlah empati dan jelaskan langkah konkrit atas tindak lanjut Anda untuk menyelesaikan masalah tersebut secara spesifik. Dan terakhir, Anda juga harus mengerti bahwa they bounced back when they are satisfied, mereka akan kembali lagi, jika mereka merasa puas.

Excellent Customer Service hanya bisa dijalankan dan dikembangkan sebagai sebuah culture, jika perusahaan secara tegas dan jelas mempunyai komitmen bersama, dan mampu menjalankannya secara konsisten. Karena budaya yang kuat hanya bisa terbentuk melalui sumber daya manusia yang kuat (the right people) dan juga kebiasaan yang berjalan secara berkesinambungan dan memberikan dampak atau hasil yang dapat dirasakan oleh banyak orang. Excellent customer service culture ini sebenarnya adalah proses awal bagi perusahaan untuk menciptakan dan memperkuat yang namanya community brand atau brand image suatu organisasi. Selamat mencoba! ■

0 komentar: