Built to Serve ...
Posted: Senin, 23 Februari 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Marketing
0
He who is greatest among you, let him be as the youngest, and he who governs as he who serves ...
Makan siang kedua sudah kami santap. Yang pertama di rumah karena kebetulan saya menempuh perjalanan siang. Kedua, makan siang setelah penerbangan Denpasar ke Jakarta. Ketika ditawarkan makan siang ketiga dalam penerbangan Jakarta ke Bangkok, saya menolak memilih dari daftar menu yang ada. ‘Saya minta instant noodle’, kata saya. Ms. Ra, begitu nama yang tertulis di ID Card yang nempel di dadanya, terhenyak sejenak. ‘Minumnya setelah take off?’, tanyanya lagi. ‘Coca Cola with ice’, saya menjawab dengan cepat.
Di sebelah saya, duduk teman saya, yang kebetulan juga berasal dari Indonesia. ‘Mr, what would you like to drink after take off?’, saya mendengar Ms. Ra bertanya, ‘Ice tea’, jawab sang teman. ‘Any meals for lunch?’. ‘Can I have instant noodle’, jawabnya lagi. Kali ini giliran saya yang terhenyak, lalu menegur teman saya dengan tertawa. ‘Walah, kok cuma teh? Masak di kelas bisnis minumnya ingat yang di rumah’, kata saya menggoda. ‘Apapun makanannya, minumnya tetap teh manis’, lanjut saya. Gerrr...
Setelah take off, Ms. Ra mulai mengedarkan minuman yang kami pesan. Saya bergurau lagi dengan teman saya ini, ‘Let’s have a toast. Air dan teh manis’, kata saya sambil mengangkat gelas. Ia pun mengangkat gelasnya, dan kami bersulang sambil tertawa. Ms. Ra beberapa saat kemudian menghampiri saya. Dia menyodorkan kembali menu yang telah dipersiapkan. Dengan senyumnya yang ramah, ia menerangkan menu andalan yang telah disiapkan siang itu. Maklum, pelanggan priority passenger dan solitaire, perlu dilayani dengan lebih serius. Saya mencoba mengerti. Toh, keputusan saya tetap. ‘Can I have instant noodle?’. ‘Of course, you can. But...’, selanya lagi. Ms. Ra berusaha meyakinkan saya bahwa menu makanan yang disiapkan sangat istimewa, karena khusus hanya untuk penerbangan waktu itu. Ketika saya tetap bersikukuh dengan pilihan saya, ia pun setuju dengan kembali tersenyum dan berkata, ‘Are you sure?’. ‘Yes, I am very sure. I just need instant noodle’.
Saya berujar, ‘Pak, luar biasa sikap mereka. Mereka tidak puas kalau kita hanya makan mie dan minum teh manis. Mereka berupaya agar kita menikmati yang terbaik. Andaikan karyawan credit union di negara kita kita memiliki sikap yang sama. They built to serve’, seperti biasanya saya menganalisis karena terbiasa sebagai 'marketer yang ga bisa diam'.
Tiba saatnya istirahat. Saya tidak tahu cara merebahkan kursi untuk menjadi flat bed. Saya tanyakan pada teman saya, ‘Bagaimana caranya?’. Ia menjawab, ‘Tidak usah repot, panggil saja mereka’. ‘Ah, masak gitu saja merepotkan. Tinggal tekan tombol yang ada di belakang’. Saya pun berdiri dan mencoba membuat flat bed. Belum usai saya mencoba karena jujur masih kebingungan, Ms. Ra sudah datang. Dengan sigap ia membantu saya menyiapkan ‘tempat tidur’ yang sangat nyaman. ‘Orang ndeso kayak saya kok bisa merasakan flet bed begini, ya’, kata saya. Teman saya hanya tersenyum. ‘Saya tidak pernah berpikir bahwa suatu kali saya bisa merasakan kenyamanan seperti ini’, lanjut saya dalam hati, tapi kali ini saya serius. Mata saya lalu terpejam sembari memanjatkan doa syukur. Saya memejamkan mata. Lalu saya merasa ada seseorang yang menyelimuti saya dengan selimut halus. Saya membuka mata. Ms. Ra rupanya. Ia kembali tersenyum, sambil merapikan selimut di badan saya ia mengucapkan, ‘Have a nice sleep, Sir’. ‘Thank you (hampir saja saya mengucapkan you too, seperti biasanya)’. He...he...
Kembali saya merenung. They are built to serve. Selalu ada cara untuk melayani. Tidak sekadar panggilan diskripsi pekerjaan, standard operating procedure atau bahkan key performance indicator. Saya dapat merasakan bahwa mereka melakukannya karena sikap yang muncul dari hati. Seperti ‘panggilan suara hati’. Tidak semua pramugari tentunya, namun setidaknya ada dalam diri pramugari yang bertugas saat itu.
Dalam penerbangan pulang, kami berdua juga mengalami hal yang sama, karena kebetulan dengan maskapai yang sama, dan lagi-lagi memesan persis sama untuk makanan dan mimum setelah take off. Saya sengaja untuk membandingkan sikap pramugari yang bertugas saat itu. Saya khawatir kasus Ms. Ra dan sejawatnya dalam penerbangan itu adalah pengecualian. Kali ini Ms. Mantana, pramugari yang melayani kami, ternyata juga memberikan pelayanan yang sama. Tanpa ada pengecualian.
Saya tidak bisa istirahat dengan nyaman. Bukan karena tempatnya yang tidak nyaman, namun memikirkan apa jadinya kalau maskapai kita dan bahkan tentu saja karyawan credit union kita memiliki sikap yang seperti itu. Bukan sekadar Garuda Girl atau Credit Union Girl. Melainkan Indonesian Girl. Apapun pesawatnya, apapun credit unionnya, kalau pramugari dan seluruh karyawannya orang Indonesia pasti penerbangan dan layanan menjadi nyaman.
Bagaimana kalau sikap seperti itu menjadi acuan bagi seluruh credit union di Indonesia? Mana mungkin anggota berpaling ke lembaga keuangan lain kalau dilayani bak raja. Sulit sekali membayangkan ada pelanggan yang berkategori swinger, jika aspirasi seluruh karyawan credit union ingin membuat sukses pelanggannya. Sikap melayani yang menjadi penguat brand akan membuat pesaing kebingungan. Apa yang mau dilawan karena mutu produk akan semakin seragam? Apa yang mau ditawarkan karena kualitas harga hampir sama? Apa yang mau dijadikan daya saing kalau product, price, place, dan promotion mudah ditiru? Sikap pelayanan adalah daya saing dekade mendatang. Kalau kita bisa menjadi karyawan yang built to serve, maka pangsa pasar dan keuntungan yang akan mencari kita. Kapan kita bisa?