Mall Is the Killer App, How About CU?
Posted: Rabu, 27 Juli 2011 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Credit Union
2
Apa kabar Credit Union?
This article on how CU could be a 'killer' or even 'killed'!
Istilah killer app sering dipakai di dunia inovasi teknologi untuk menggambarkan produk/teknologi lama yang tergantikan (istilah kejamnya: 'dibunuh' atau 'dihabisi') oleh produk/teknologi yang lebih baru. Mesin ketik 'dibunuh' oleh komputer pribadi (dengan program Wordstar-nya waktu itu). Koran, majalah, dan buku cetak 'dihabisi' pelan-pelan oleh portal berita, blog, dan ebook. iPod dengan iTunes-nya menjadi killer app bagi perusahaan rekaman dan toko-toko CD seperti Disc Tara atau Aquarius. Bahkan kantor pos 'dibunuh' oleh yang namanya SMS!
Tapi bagaimana ceritanya mal kok menjadi killer app? Ya, ini setidaknya berdasarkan pengamatan saya keseharian. Kian lama mal semakin mengambil begitu banyak aktivitas keseharian kita. Begitu memikatnya mal, sehingga kita kian tak berdaya 'terhisap' ke dalamnya. It’s the center of our life.
Terus terang, saya adalah pecinta mal. Ya, karena dorongan istri (yang dipengaruhi anak-anak, sebagai 'the great infleuncer'), hampir tiap minggu saya ke mal, bahkan bisa beberapa kali seminggu. Berbeda dengan kebanyakan orang yang ke mal kesurupan berbelanja, saya ke mal untuk memata-matai orang kesurupan berbelanja.
Nah, sekian lama mengamati denyut kehidupan mal, saya melihat ekspansi (tepatnya 'hegemoni' atau 'penjajahan') mal ini semakin merajalela dalam menyusupi dan merasuki seluruh aspek kehidupan kita masyarakat urban. Ide awalnya, mal tak jauh beda dengan pasar Inpres, yaitu tempat untuk kita berbelanja kebutuhan. Tapi dalam perjalanannya, mal kemudian menjajah seluruh sisi kehidupan kita. Singkatnya, apapun aktivitas kita saat ini dilakukan di tempat 'keramat' bernama mal. Coba kita lihat.
This article on how CU could be a 'killer' or even 'killed'!
Istilah killer app sering dipakai di dunia inovasi teknologi untuk menggambarkan produk/teknologi lama yang tergantikan (istilah kejamnya: 'dibunuh' atau 'dihabisi') oleh produk/teknologi yang lebih baru. Mesin ketik 'dibunuh' oleh komputer pribadi (dengan program Wordstar-nya waktu itu). Koran, majalah, dan buku cetak 'dihabisi' pelan-pelan oleh portal berita, blog, dan ebook. iPod dengan iTunes-nya menjadi killer app bagi perusahaan rekaman dan toko-toko CD seperti Disc Tara atau Aquarius. Bahkan kantor pos 'dibunuh' oleh yang namanya SMS!
Tapi bagaimana ceritanya mal kok menjadi killer app? Ya, ini setidaknya berdasarkan pengamatan saya keseharian. Kian lama mal semakin mengambil begitu banyak aktivitas keseharian kita. Begitu memikatnya mal, sehingga kita kian tak berdaya 'terhisap' ke dalamnya. It’s the center of our life.
Terus terang, saya adalah pecinta mal. Ya, karena dorongan istri (yang dipengaruhi anak-anak, sebagai 'the great infleuncer'), hampir tiap minggu saya ke mal, bahkan bisa beberapa kali seminggu. Berbeda dengan kebanyakan orang yang ke mal kesurupan berbelanja, saya ke mal untuk memata-matai orang kesurupan berbelanja.
Nah, sekian lama mengamati denyut kehidupan mal, saya melihat ekspansi (tepatnya 'hegemoni' atau 'penjajahan') mal ini semakin merajalela dalam menyusupi dan merasuki seluruh aspek kehidupan kita masyarakat urban. Ide awalnya, mal tak jauh beda dengan pasar Inpres, yaitu tempat untuk kita berbelanja kebutuhan. Tapi dalam perjalanannya, mal kemudian menjajah seluruh sisi kehidupan kita. Singkatnya, apapun aktivitas kita saat ini dilakukan di tempat 'keramat' bernama mal. Coba kita lihat.