Brand Religion dan Logo Baru Starbucks

Posted: Minggu, 23 Januari 2011 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0



Dua hari lalu seorang teman di Twitter memberikan link sebuah berita mengejutkan: Starbucks unveils new logo! Awalnya agak ragu mempercayai twit tersebut, mengingat logo Starbucks sudah menjadi ikon gaya hidup Amerika sejajar dengan logo Coca Cola, Nike, atau McDonalds, yang rasanya sulit diubah. Namun begitu diklik, betul adanya, logo Starbuck sudah berubah. Di situ terpampang gambar 4 kali perubahan logo Starbucks selama 40 tahun perjalanan bisnisnya, mulai dari logo tahun 1971, 1987, 1992, dan terakhir 2011. Logo baru ini rencananya sudah nempel di cangkir-cangkir Starbucks bulan Maret mendatang bersamaan dengan persis 40 tahun usia kedai kopi ini.

Logo baru Starbucks memang tak banyak berubah. Hanya garis lingkaran luar dan dalam berikut tulisan “Starbucks” dan “Coffee” dihilangkan, sehingga yang tersisa hanyalah Siren alias putri duyung dengan rambut yang menjuntai dan ekor di kanan-kiri. Warna hijau, tetap dipertahankan.

Walaupun selintas tak berubah banyak, namun saya termasuk orang yang kecewa dengan perubahan logo tersebut. Kenapa? Karena garis lingkaran dan tulisan “Starbucks’ dan “Coffee” merupakan elemen dasar dari logo Starbuks yang iconic tersebut. Saya melihat, dengan logo baru, Starbucks seperti kehilangan “roh”nya. “Kopi” adalah rohnya Starbuck.

Rupanya saya tidak sendiri. Menyusul penerbitan logo baru tersebut kemarahan dan protes serentak dilakukan oleh para konsumen fanatik Starbucks di seluruh dunia. Mereka meluapkan kejengkelan dan kemarahan melalui situs resmi jaringan kedai kopi asal Seattle itu. “Siapa orang dungu di balik departmen pemasaran yang mengganti logo tersebut…”, begitu bunyi salah satu komentar. Ada komentar pedas lain, “ini adalah penghamburan waktu, energi, dan uang”. Atau bahkan ada yang meminta penggantian itu dibatalkan, “Dengarlah konsumen Anda dan hentikan mencetak logo baru ini di cangkir-cangkir Starbucks”. Saya meyakini protes logo baru ini melalui jejaring sosial Facebook dan Twitter bakal terus berlanjut.



Secara logika bisnis, perubahan logo Starbucks memang beralasan. Setelah selamat melewati krisis 2008-2009 yang ditandai penutupan gerai dan PHK karyawan, Starbucks mulai melakukan diversifikasi dengan masuk ke area-area bisnis baru di luar kopi seperti teh, es krim, smoothies, makanan, bahan makanan, dan bahkan musik. Karena alasan inilah Starbucks menanggalkan kata “Coffee” di logonya. Penghilangan dua garis lingkaran konsentris juga disimbolisasikan sebagai bentuk “pembebasan” bisnis Starbucks dari sekedar kopi ke lini bisnis lain. Itu semua adalah alasan rasional dan argumentatif dari manajemen Starbucks. Tapi celakanya “hubungan batin” konsumen fanatik Starbucks seringkali tak bisa dinalar secara rasional. Sulit rasanya membayangkan Starbucks tanpa “kopi”.

Brand Religion
Perubahan logo Starbucks menjadi pelik, karena logo tersebut memiliki tempat yang sangat khusus di hati para konsumen fanatiknya di seluruh dunia. Saya melihat “keramat”-nya logo Starbucks menyamai logo-logo legendaris seperti Coca-Cola, Harley-Davidson, atau McDonalds. Jesper Kunde, seorang pakar branding menyebutnya dengan istilah ekstrim: Brand religion. Kata Kunde, brand religion adalah capaian tertinggi sebuah merek. Ia adalah ultimate destination of a brand. Anda boleh mencapai brand awareness tinggi dan brand loyalty kuat. Anda juga boleh memiliki brand values dan brand culture yang kokoh. Tapi itu semua belum mencapai kulminasi kalau belum mencapai level brand religion.

Brand religion adalah sebuah posisi dimana merek Anda sudah menjadi semacam “agama” bagi konsumen Anda. Bagi konsumen, merek semacam ini sudah menjadi semacam “kepercayaan”, dimana di atas kepercayaan tersebut terbangun sebuah “ikatan spiritual” antara merek dan si konsumen. Dan akhirnya ketika merek telah mencapai level ini, merek tersebut akan mendapatkan “kemewahan” yang tak akan didapat pesaing berupa customer involvement yang amat tinggi, loyalitas, dan fanatisme yang tak akan mungkin tertandingi oleh pesaing. Harley-Davidson, Nike, Virgin, Apple, MTV, Body Shop, atau Disney adalah sangat sedikit merek yang memperoleh kemewahan itu. Merek-merek tersebut memiliki jutaan pengikut dan evangelist yang siap membela sampai titik darah penghabisan. Para evangelist Harley-Davidson misalnya, sampai men-tatto lengan mereka dengan logo Harley kebanggaannya.

Pertanyaannya, akankah Starbucks mendengarkan “suara hati” konsumennya dengan menarik kembali logo baru, atau tetap nekat meneruskannya? Bulan Oktober 2010 lalu Gap, peritel produk baju top Amerika, melakukan blunder dengan merubah logonya yang sudah terlanjur mengklasik (“blue box” logo). Serta-merta Gap menuai badai kritik di Facebook dan Twitter begitu logo baru meluncur. Akibatnya, dalam waktu kurang dari seminggu logo baru ditarik, dan Gap tetap mempertahankan logo yang lama.

Menariknya, Nike dan Apple pernah melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Starbucks sekarang dan sukses. Nike menanggalkan kata “Nike” di logo swoosh-nya, sementara Apple menanggalkan kata “Apple” dan “Computer”. Yang terakhir ini dilakukan Apple karena memang ia sudah tidak lagi melulu memproduksi komputer, tapi juga masuk ke lini bisnis lain seperti gadget telefoni, tablet, atau musik digital. Apple sukses dengan modifikasi logo ini sehingga saat ini Apple tak hanya dikenal sebagai produsen komputer tapi juga iPod, iPhone ataupun iPad yang lebih cool.

Akankah Starbucks bisa sesukses Nike dan Apple dengan logo barunya? Saya adalah salah satu dari jutaan Starbucks evangelist yang tidak begitu sreg dengan tampilan logo baru Starbucks. Walaupun secara logika bisnis perubahan logo tersebut begitu beralasan, namun entah kenapa, saya tetap merasakan penghilangan elemen-elemen penting logo tersebut menjadikan merek legendaris tersebut kehilangan rohnya. Dan saya berdoa semoga Howard Schultz sang CEO sekaligus pendiri Starbucks mendengar “suara hari” para konsumen fanatiknya dengan menarik logo baru tersebut.

Hehe… tulisan ini seharusnya diberi judul: “Curhat Seorang Starbuck Evangelist!”


Bagaimana pendapat Anda?

0 komentar: