Brand Rejuvenation

Posted: Rabu, 10 Juni 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Brand rejuvenation dapat dilakukan pada tahapan growth, pada saat produk kita sudah mature, atau bahkan pada saat sudah decline. Brand rejuvenation harus dilakukan untuk menjaga momentum merek kita sebelum ia mengalami penurunan ekuitas di pasar.

Saat ini, jumlah merek di masyarakat sudah luar biasa banyaknya. Seiring perkembangan dunia bisnis, ada merek yang mati, ada yang lahir, dan ada pula mereka yang terus bertahan. Namun secara umum, jumlah merek akan semakin banyak. Tidak seperti manusia, merek memang bisa survive dan berkembang untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Sampai-sampai memunculkan istilah everlasting brands. Lihat saja merek-merek seperti Sampoerna, Aqua, atau juga Astra. Untuk merek-merek luar, kita bisa melihat GE, Coca Cola, ataupun Unilever yang usianya sudah cukup tua.

Meski terus diserang merek-merek baru yang tidak kalah kuat, merek-merek lama tersebut tetap mampu menjadi salah satu pemimpin pasar sampai sekarang. Lalu, apa kiat-kiat brands tersebut agar bisa selalu menjadi kampiun pasar? Atau minimal survive di pasar yang penuh persaingan ini?

Ada banyak strategi yang bisa dilakukan agar terus menjadi merek yang laku di pasar. Namun yang terpenting adalah, bagaimana strategi perusahaan dalam melakukan rejuvenation (peremajaan) terhadap merek yang dimilikinya.

Jika kita berpatokan pada siklus sebuah produk, maka kita mengenal adanya empat tahapan, yaitu introduction, growth, mature, dan decline. Nah, proses rejuvenasi merek dapat kita lakukan pada tahapan growth, pada saat produk kita sudah mature, atau bahkan pada saat sudah decline. Tujuannya untuk menjaga momentum produk kita tetap berada pada posisi merek yang kuat.



Jean-Marc Lehu dalam bukunya Brand Rejuvenation, secara detail menjelaskan setidaknya ada tiga langkah yang perlu dilakukan dalam merejuvenasi merek. Pertama, kita perlu mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan sebuah brand menjadi 'tua'. Karena, bila kita sudah mampu untuk mengetahui penyebabnya, akan lebih mudah untuk melakukan langkah-langkah berikutnya.

Kedua, kita perlu melakukan perlindungan terhadap merek kita, memperkuat merek kita dan menciptakan nilai tambah yang baru. Dengan demikian, merek kita nantinya akan menjadi lebih kuat dan lebih baru. Misalnya, Softex. Merek pembalut wanita ini sebelumnya terkesan tua dan hanya diperuntukkan bagi wanita dewasa. Ternyata, yang menyebabkan Softex memiliki citra seperti ini adalah strategi komunikasinya yang jarang menyasar ke segmen remaja. Maka dari itu, kemudian mereka mengusung tagline-nya dengan '... karena wanita ingin dimengerti', bersama dengan Ada Band.

Ketiga, langkah-langkah rejuvenasi merek ini harus selalu dilakukan secara kontinyu, walaupun dengan penekanan strategi yang berbeda. Banyak strategi yang bisa kita lakukan di sini. Kita bisa melakukannya melalui strategi komunikasi, strategi diferensiasi yang fokus atau bahkan dengan cara yang radikal melakukan perombakan konten atau konteks dari produk.

Aqua misalnya. Ia terus melakukan perubahan terhadap kemasannya. Untuk menciptakan kesan selalu baru, Aqua terus berinovasi terhadap kemasannya, baik dari sisi bentuk botol maupun warnanya, yang memberikan kesan segar. Juga, ketika air minum isi ulang ikut meramaikan pasar 'perairan', Aqua melakukan peningkatan ekuitas mereknya dengan strategi komunikasi yang tepat yang menonjolkan nilai-nilai kesehatan dan juga kebersihan. Alhasil, meski banyak pemain yang masuk ke bisnis air mineral, sampai saat ini Aqua selalu memimpin pasar air minum kemasan.

Memang, tidak selamanya proses rejuvenasi yang telah dilakukan akan selalu berhasil. Sony misalnya. Meskipun sudah melakukan berbagai strategi komunikasi untuk meningkatkan ekuitas mereknya yang baru, saat ini ia cukup kerepotan dalam menghadapi serangan Samsung. Merek Sony mulai dikejar oleh merek raksasa dari Korea tersebut.

Strategi lainnya dalam rejuvenasi mereka adalah apa yang disebut dengan 'merevitalisasi merek' (revitalizing the brand). Singkatnya, kita perlu menggairahkan atau memberikan energi baru untuk meningkatkan ekuitas merek kita.

Misalnya Sampoerna Hijau. Setelah sempat stagnan selama 32 tahun karena ketidakjelasan strategi, Sampoerna Hijau berhasil melakukan rejuvenasi brand dengan sejumlah aktivitas merek below the line-nya. Ekuitas Sampoerna Hijau juga semakin terangkat dengan strategi komunikasi memunculkan 'Geng Hijau' dan tagline 'Asyiknya Rame-rame'.

Nah, bagi kita yang ingin terus menjadi pemimpin pasar, rejuvenasi merek merupakan langkah terbaik sebelum merek kita mengalami penurunan ekuitas di pasar. Karena bukan tidak mungkin, ketika kita masih santai dan tidak melakukkan apa-apa terhadap merek kita, ternyata pesaing kita selalu melakukan rejuvenasi terhadap mereknya.

Ada banyak credit union sebagai sebuah brand yang menurut saya perlu direjuvenasi. Rejuvenasi yang dibutuhkan di credit union bukan sebatas mengubah moto, logo, atau bahkan visi-misi saja, namun juga harus diikuti dengan perubahan budaya kerja.

Perubahan budaya kerja inilah yang sebenarnya menjadi dasar bagi kita untuk mampu secara kontinyu melakukan rejuvenasi merek credit union dengan sukses. Pastikan visi kita 'sesuai' dengan logo credit union yang kita gunakan selama ini, karena itu akan menjadi awal bagi kita untuk memulai mengibarkan 'bendera' credit union kita. Kemudian remajakan lagi corporate culture credit union kita. Karena karakter brand yang akan menyematkan merek kita. Dan karakter hanya akan muncul karena kuat dan kokohnya budaya kita. Karakter ini mesti dijiwai oleh setiap elemen credit union dalam bentuk komitmen dan konsistensi kerja. Inilah kunci kita menuju sustainable credit union.

Think big, start small ...

0 komentar: