Hidup Adalah Iklan, Iklan Adalah Perbuatan!
Posted: Rabu, 13 Mei 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Life
0
Saya selalu terinspirasi oleh pernyataan-pernyataan 'eksistensial' khas Chairil Anwar. Termasuk judul tulisan di atas. Mungkin jika sahabat sekalian perhatikan dan ingat, sebanarnya beberapa waktu lalu pernyataan itu sempat menjadi sebuah positioning bagi seorang Soetrisno Bachir. Ya, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu beberapa waktu lalu sebelum Pemilu 2009, sempat 'menggemparkan' top of mind masyarakt Indonesia, dengan mencalonkan diri menjadi Presiden RI yang ke-7. Dia mengatakan dalam iklan politiknya, Hidup Adalah Perbuatan.
Kalau Pak Soetrisno berprinsip bahwa 'Hidup Adalah Perbuatan', saya mempunyai prinsip 'Iklan Adalah Perbuatan'. Saya berprinsip, iklan bukanlah sekadar pencitraan. Dosa besar kalau iklan direduksi hanya sekadar pencitraan. Kalau sekadar pencitraan, bisa saja onggokan sampah dicitrakan (baca. disulap) menjadi gemerlap berlian? Atau, boleh juga tikus got dicitrakan menjadi cendrawasih yang bulunya penuh kemilau.
Alih-alih sebagai alat pencitraan, saya menganggap iklan sebagai media untuk mengomunikasi 'perbuatan-perbuatan' si pemasang iklan: bisa produk, perusahaan, atau orang yang sendiri sebagai pengiklan. Kalau perbuatan-perbuatan si pengiklan baik, tentu iklannya boleh bilang ke khalayak hal yang baik. Tapi kalau sebaliknya, perbuatan-perbuatan si pengiklan penuh kenistaan dan kotor berlumur darah, apakah kemudian ia boleh bilang ke khalayak mengenai kesucian, keindahan, kecantikan? Tegas saya bilang: TIDAK!!
Iklan bukanlah pupur yang menutupi perbuatan bopeng-bopeng menjadi sebuah perbuatan mulus kinclong, layaknya muka Sandra Dewi. Iklan bagi saya adalah kejujuran. Iklan adalah ketika nurani berbicara tanpa kosmetik, tanpa topeng, dan tanpa pupur.
Dji Sam Soe, rokok legendaris bikinan HM Sampoerna, tak pernah mengiklankan diri selama 80 tahun lebih. Rokok ini beriklan pertama kali tahun 1996, sementara ia dibuat dan beredar di pasar tahun 1913. Bagaimana Dji Sam Soe mengomunikasikan kehebatannya kepada konsumen? Melalui word of mouth, orang merasakan dan menikmati kehebatan rasa Dji Sam Soe, lalu bicara ke konsumen lain. Omongannya pasti 100% jujur karena tidak sepeserpun ia dibayar oleh Dji Sam Soe. Jadi, Dji Sam Soe beriklan mengomunikasikan kehebatan dirinya setelah 80 tahun 'berbuat' dan mendapatkan pengakuan dari konsumennya.
Karena itu, bagi saya iklan begitu sarat dengan pernyataan-pernyataan eksistensial ala Chairil Anwar. Hanya jika kita sudah berbuat, maka kita boleh beriklan. Dengan begitu, berbuat menjadi semacam reason for being bagi para pengiklan. Kalau 'perbuatan' kita baik, maka isi iklan kita akan baik. Sebaliknya, kalau 'perbuatan' kita buruk, maka isi iklan kita pun akan buruk. 'Perbuatan' kita akan mewarnai iklan kita.
Untuk menutup tulisan singkat ini, saya punya cerita sedikit mengenai Bung Karno. Bung Karno tidak pernah mengiklankan diri sepanjang hidupnya. Wajar saja, karena sepanjang hidupnya, beliau memang tidak begitu mengenal 'tetek-bengek' dunia periklanan. Tapi poinnya bukan di situ. Poinnya adalah, tanpa iklan beliau mampu menjadi bapak bangsa yang begitu disegani, dihormati, disanjung, dan dicintai. Namanya begitu harum berkilau. Namanya dikenang seluruh generasi bangsa ini sampai akhir zaman.
Kenapa bisa begitu?
Karena Bung Karno 'mengiklankan' diri melalui 'perbuatan-perbuatan'-nya. 'Perbuatan' beliau yang begitu keras menentang penindasan penjajahan; 'perbuatan' beliau yang begitu kukuh di meja-meja perundingan untuk memerdekakan negeri ini; 'perbuatan' beliau yang tegar memikirkan masa depan negeri ini di balik terali besi pengasingan. Bung Karno 'beriklan' melalui banyak 'perbuatan' yang sudah dikontribusikannya kepada negeri tercinta ini.
Di credit union kita mengenal Eyang Trisna Ansarli dengan edukasinya, Pak Mercer dengan militansinya di Kalimantan hingga akhirnya menjadi barometer credit union Indonesia, Pak Frans dengan 'perbuatan-perbuatan' riilnya di Bali, dan masih banyak lagi di negeri tercinta ini. Mereka beriklan dengan 'perbuatan-perbuatan'-nya, sampai sekarang.
Mahatma Gandhi, Aung San Suu Kyi, Nelson Mandela, Ibu Theresa, melakukan hal yang persis dilakukan oleh Bung Karno. Mereka menjadi pemimpin besar sepanjang masa karena 'mengiklankan' diri melalui 'perbuatan besar' mereka.
Iklan Adalah Perbuatan
Kalau Pak Soetrisno berprinsip bahwa 'Hidup Adalah Perbuatan', saya mempunyai prinsip 'Iklan Adalah Perbuatan'. Saya berprinsip, iklan bukanlah sekadar pencitraan. Dosa besar kalau iklan direduksi hanya sekadar pencitraan. Kalau sekadar pencitraan, bisa saja onggokan sampah dicitrakan (baca. disulap) menjadi gemerlap berlian? Atau, boleh juga tikus got dicitrakan menjadi cendrawasih yang bulunya penuh kemilau.
Alih-alih sebagai alat pencitraan, saya menganggap iklan sebagai media untuk mengomunikasi 'perbuatan-perbuatan' si pemasang iklan: bisa produk, perusahaan, atau orang yang sendiri sebagai pengiklan. Kalau perbuatan-perbuatan si pengiklan baik, tentu iklannya boleh bilang ke khalayak hal yang baik. Tapi kalau sebaliknya, perbuatan-perbuatan si pengiklan penuh kenistaan dan kotor berlumur darah, apakah kemudian ia boleh bilang ke khalayak mengenai kesucian, keindahan, kecantikan? Tegas saya bilang: TIDAK!!
Iklan bukanlah pupur yang menutupi perbuatan bopeng-bopeng menjadi sebuah perbuatan mulus kinclong, layaknya muka Sandra Dewi. Iklan bagi saya adalah kejujuran. Iklan adalah ketika nurani berbicara tanpa kosmetik, tanpa topeng, dan tanpa pupur.
Dji Sam Soe, rokok legendaris bikinan HM Sampoerna, tak pernah mengiklankan diri selama 80 tahun lebih. Rokok ini beriklan pertama kali tahun 1996, sementara ia dibuat dan beredar di pasar tahun 1913. Bagaimana Dji Sam Soe mengomunikasikan kehebatannya kepada konsumen? Melalui word of mouth, orang merasakan dan menikmati kehebatan rasa Dji Sam Soe, lalu bicara ke konsumen lain. Omongannya pasti 100% jujur karena tidak sepeserpun ia dibayar oleh Dji Sam Soe. Jadi, Dji Sam Soe beriklan mengomunikasikan kehebatan dirinya setelah 80 tahun 'berbuat' dan mendapatkan pengakuan dari konsumennya.
Karena itu, bagi saya iklan begitu sarat dengan pernyataan-pernyataan eksistensial ala Chairil Anwar. Hanya jika kita sudah berbuat, maka kita boleh beriklan. Dengan begitu, berbuat menjadi semacam reason for being bagi para pengiklan. Kalau 'perbuatan' kita baik, maka isi iklan kita akan baik. Sebaliknya, kalau 'perbuatan' kita buruk, maka isi iklan kita pun akan buruk. 'Perbuatan' kita akan mewarnai iklan kita.
Untuk menutup tulisan singkat ini, saya punya cerita sedikit mengenai Bung Karno. Bung Karno tidak pernah mengiklankan diri sepanjang hidupnya. Wajar saja, karena sepanjang hidupnya, beliau memang tidak begitu mengenal 'tetek-bengek' dunia periklanan. Tapi poinnya bukan di situ. Poinnya adalah, tanpa iklan beliau mampu menjadi bapak bangsa yang begitu disegani, dihormati, disanjung, dan dicintai. Namanya begitu harum berkilau. Namanya dikenang seluruh generasi bangsa ini sampai akhir zaman.
Kenapa bisa begitu?
Karena Bung Karno 'mengiklankan' diri melalui 'perbuatan-perbuatan'-nya. 'Perbuatan' beliau yang begitu keras menentang penindasan penjajahan; 'perbuatan' beliau yang begitu kukuh di meja-meja perundingan untuk memerdekakan negeri ini; 'perbuatan' beliau yang tegar memikirkan masa depan negeri ini di balik terali besi pengasingan. Bung Karno 'beriklan' melalui banyak 'perbuatan' yang sudah dikontribusikannya kepada negeri tercinta ini.
Di credit union kita mengenal Eyang Trisna Ansarli dengan edukasinya, Pak Mercer dengan militansinya di Kalimantan hingga akhirnya menjadi barometer credit union Indonesia, Pak Frans dengan 'perbuatan-perbuatan' riilnya di Bali, dan masih banyak lagi di negeri tercinta ini. Mereka beriklan dengan 'perbuatan-perbuatan'-nya, sampai sekarang.
Mahatma Gandhi, Aung San Suu Kyi, Nelson Mandela, Ibu Theresa, melakukan hal yang persis dilakukan oleh Bung Karno. Mereka menjadi pemimpin besar sepanjang masa karena 'mengiklankan' diri melalui 'perbuatan besar' mereka.
Iklan Adalah Perbuatan