Banyak Tahu Tapi Tidak Melakukan. Mengapa?

Posted: Senin, 16 Februari 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Seseorang yang bijak datang ke sebuah desa dan menetap di sana untuk memberikan pencerahan. Ketika ia berceramah, orang-orang desa berduyun-duyun datang memenuhi balai desa untuk mendengarkannya. Ceramahnya sangat menarik dan membuat orang-orang tercerahkan. Karena itu, mereka selalu tak sabar menunggu datangnya minggu-minggu berikutnya. Namun, penduduk kemudian menemukan fakta: orang bijak ini ternyata selalu menyampaikan ceramah yang sama. Mereka pun curiga bahwa orang ini sebenarnya seorang penipu yang hanya mengetahui satu materi ceramah.

Tak dapat lagi menahan kesabaran, penduduk desa beramai-ramai mendatangi orang bijak ini dan bertanya, ‘Tak dapatkah Anda menyampaikan ceramah yang lain?’. Ditanya demikian, orang bijak ini hanya tersenyum dan berkata, ‘Saya belum melihat Anda melakukan apa yang saya sampaikan dalam ceramah pertama. Jadi, mengapa saya harus membebani Anda dengan hal yang lain?’.

Apa yang dikatakan orang bijak tersebut sebetulnya sering kita alami. Banyak di antara kita yang kerap merasa cukup hanya dengan mengetahui sesuatu. Kita membaca banyak buku, mengikuti berbagai diskusi, menghadiri berbagai pelatihan. Namun, perilaku kita tidak juga berubah. Kita tidak melakukan apa-apa. Kebiasaan lama yang tidak efektif masih terus kita jalankan. Ini tentu saja sebuah pemborosan biaya yang tidak sedikit. Akhirnya knowledge dan science Anda bukan lagi menjadi sebuah investasi, melainkan cost.



Ketika selesai memberikan pelatihan leadership di berbagai tempat, tak sedikit peserta yang memberikan tanggapan positif sambil menanyakan, ‘Kapan kita akan melakukan pelatihan lagi?’ atau, ‘Apakah ada materi lanjutan untuk topik ini?’. Tentu saja, saya merasa tersanjung dengan apresiasi yang luar biasa ini. Namun, diam-diam saya sering ‘mbatin’ sambil mengatakan bahwa sebetulnya pelatihan ini sudah cukup, yang diperlukan sekarang atau topik selanjutnya adalah penerapannya. Bukankah sia-sia ketika pelatihan demi pelatihan dilakukan tanpa ada perubahan perilaku apapun?

Meski demikian, fakta ini tidak sering dilupakan orang: mengetahui tidak akan mengubah nasib Anda. Yang akan mengubah nasib Anda adalah melakukan! Namun, mengapa banyak orang yang tahu, tapi tidak melakukan apa-apa?

Ada tiga hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, karena mengetahui sering memberikan sensasi hebat. Ketika mengetahui sesuatu, Anda merasa berada di atas kebanyakan orang. Mengetahui dapat menimbulkan kebanggaan tersendiri. Inilah yang saya sebut sebagai ‘ilusi pengetahuan’. Ilusi ini selalu berbunyi seperti ini, ‘kita sudah berubah hanya dengan mengetahui’. Mengetahui memang sering memberikan jebakan tersendiri berupa perasaan aman dan nyaman. Dengan mengetahui, kita menjadi lebih percaya diri karena merasa siap menghadapi segala masalah. Bahkan, sekadar mengumpulkan buku yang tidak pernah sempat kita baca mampu memunculkan ilusi tersebut.

Ketika awal-awal berkuliah dulu, saya dan kawan-kawan senantiasa membeli banyak buku serta memfotokopi berbagai diktat kuliah jauh lebih banyak dari bahan yang dapat kami baca, semata-mata karena hal ini memberikan ketenangan psikologis kepada kami. Dengan menumpuk berbagai buku, kami merasa siap menghadapi tugas apapun. Padahal, bahan yang bertumbuk itu tak pernah sekalipun kami baca saat itu (justru dibaca ketika sudah selesai kuliah), sehingga tidak akan pernah berpengaruh terhadap pengetahuan, apalagi kehidupan kami. Rasa aman yang tercipta sebenarnya hanyalah sebuah ilusi yang menyesatkan.

Kedua, orang tidak melakukan apa yang mereka ketahui karena mereka tidak memiliki alasan untuk melakukannya. Bukankah ketika kita sehat kita tidak punya alasan yang kuat untuk berolah raga? Bukankah ketika perusahaan sedang naik daun kita merasa tidak perlu melakukan perubahan? Inilah yang disebut dengan ‘ilusi perubahan’ yang mengatakan bahwa satu-satunya alasan yang masuk akal untuk perubahan adalah ketika terjadi krisis. Padahal, perubahan yang terjadi karena krisis pasti terasa lebih menyakitkan, membutuhkan biaya besar, dan sering sudah terlambat. Bukankah alasan terbaik untuk melakukan perubahan adalah untuk mempertahankan posisi yang sudah kita nikmati selama ini? Bukankah perubahan mestinya adalah sesuatu yang kita ‘haruskan’ kepada diri kita sendiri, bukannya menunggu hal itu ‘diharuskan’ oleh situasi, keadaan, pelanggan, pesaing atau atasan?

Ketiga, orang tidak melakukan apa yang sudah diketahuinya karena tidak mau meninggalkan zona nyamannya. Apapun yang biasa kita lakukan memang menciptakan gaya gravitasi yang luar biasa. Karena itu, selalu menciptakan medan pertempuran dalam diri kita. Pertempuran ini sering berjalan tidak seimbang karena kebiasaan lama pasti memiliki gaya tarik yang lebih besar dibanding kebiasaan baru. Belum lagi, ada faktor lingkungan yang juga cukup besar pengaruhnya. Maka, tidak aneh bahwa pertarungan ini akan dengan mudah dimenangi oleh kebiasaan-kebiasaan lama kita.

Semua pengetahuan yang tidak dimanfaatkan sebenarnya hanyalah satu bentuk pemborosan. Kapan Anda tahu bahwa Anda perlu menelepon seorang pelanggan? Akan tetapi, kapan Anda benar-benar meneleponnya? Kapan Anda tahu bahwa membangun jaringan itu penting bagi Anda? Akan tetapi, kapan Anda mulai membangun jejaring tersebut? Kesenjangan antara ‘kapan Anda mengetahui’ dengan ‘kapan Anda melakukan’, itulah definisi pemborosan waktu. Lebih jauh lagi, Anda sebenarnya baru dapat disebut sebagai seorang pemimpin bila Anda ‘melakukan’ bukan sekadar ‘mengetahui’. Bahkan, bukankah di akhir hidup kita, kita tidak akan ditanya mengenai apa yang kita ketahui? Bukankah pertanyaan terpentingnya adalah apa yang telah kita lakukan?

Think Big Start Small...

0 komentar: