Indonesia dan Credit Union: Sebuah Proyek Bersama

Posted: Rabu, 22 April 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label:
2

Tiap saya memikirkan Indonesia, tiap itu pula saya menemukan cinta yang rumit. Saya ingin melepaskan diri dari negeri ini. Saya ingin berhenti membaca koran, menonton televisi, mendengar gosip politik apalagi selebritis, saya ingin menjauh. Apalagi hari-hari ini ketika rasanya semua serba tak pasti. Para elite politik bersaung berebut jabatan, orang-orang baru meminta dipilih, koruptor kok tak habis-habisnya.

Tapi saat keinginan itu muncul, saat itu pula saya tidak bisa menghindar. Indonesia itu selalu menempel dalam pikiran, dimanapun, kapanpun. Indonesia membetot saya terus melotot, menyaksikannya tertatih, mendengar gemuruh ketidakpastiannya.

Setiap saya pesismitis, secara paralel muncul optimisme. Bagaimanapun, negeri ini masih menyimpan harapan, bagaimana pun saya tetap ingin suatu saat melihat tanah air ini bangkit menuju kegemilangan. Setiap saya menampik Indonesia, saat itu pula saya membangun sebuah kesadaran, sebuah harapan, karena saya punya anak-anak yang tak mungkin saya pisahkan dari tumpah-darahnya. Toh saya mungkin bisa melepaskan diri dari siapapun, orang-orang di masa lalu dan masa sekarang dalam hidup saya, tapi bagaimana dengan sejarahnya?

Saya, dan kami sekeluarga, mungkin bisa saja menghapus nama Indonesia dari KTP. Lalu tinggal di sebuah desa tua di Kyoto, menyewa apartemen murah di Bruges, bekerja apa saja di Ohio. Tapi apakah saya bisa melepaskan Indonesia? Ketika saya bandara Svarnabhumi, Bangkok, saya tercenung menunggu pesawat. Saya lihat orang di sana yang tertib, kota yang bersih, jadual yang tepat. Dan saya membandingkannya dengan Indonesia. Begitu saja, tanpa saya paksa dan rencanakan di kepala. Indonesia menyembul ketika saya terpesona dan kepincut negeri lain.



Ternyata, betapapun saya kagum dan iri dengan negara lain, saya merutuki Indonesia, tapi bersamaan itu pula saya menautkan diri dengan negeri ini. Sama ketika saya memasuki dunia kerja yang baru, dimana target menjadi prioritas utama, dimana result oriented adalah segalanya, dimana leadership management berjalan natural dan mudah diterima, dimana service yang selama di credit union saya gembar-gemborkan menjadi sesuatu yang alami, sebagai bagian dari keinginan berbagi, dan tentu saja dimana marketing menjadi figur sentral pengembangan usaha. Ketika kekaguman dan semangat saya berkarya di tempat baru itu muncul dan sungguh menyatu dalam kehidupan saya, ternyata pada saat yang sama, kesadaran akan kebutuhan credit union tentang hal-hal yang sifatnya impian itu kembali muncul. Saya tidak akan bisa lupa. Kenangan tak akan pernah mengkhianati kita. Indonesia dan credit union hanya sebuah nama di paspor, formulir imigrasi maupun alamat kerja, sementara identitas menempel dalam diri saya, Indonesia dan credit union adalah sebuah keakuan yang tidak bisa lekang.

Maka saya tak punya pilihan sebenarnya. Saya tidak boleh pesimistis, saya harus optimis. Harapan itu harus terus ditumbuhkan. Indonesia dan credit union adalah proyek saya, proyek sahabat sekalian, proyek kita bersama. Indonesia dan credit union adalah sebuah kesepakatan tentang sebuah negeri, identitas karakter berbagi, kenangan, sejarah, kebersamaan, dan masa depan sekaligus. Proyek itu harus kita garap bersama.

Saya tidak boleh mengelur meski saya berhak. Sebab keluhan saya bisa mematikan optimisme saya. Betapapun saya ingin menjauh dari Indonesia dan credit union, putus hubungan dengan karut-marutnya, saya toh tidak bisa menghindar dari ingatan tentang itu semua. Mungkin saya tidak kuat, tetapi saya akan bangga menjadi tak kuat di tanah sendiri. Saya pasti tidak akan bangga, dan hidup saya terganggu, jika saya hidup di tanah orang lain, tanah yang tak punya ingatan dan kaitan dengan kenangan saya. Dan akan menjadi dosa besar ketika saya bisa berkembang secara personal, namun credit union yang saya cintai berjalan seadanya, tanpa saya terlibat dan peduli di dalamnya.

Barangkali ini kerumitan tiap identitas. Saya tak bisa seperti Raden Saleh yang memuji dan memuja Raja Belanda ketika bangsanya sendiri berjuang menghalau mereka. Saya baca biografinya yang disusun Harsja W. Bachtiar dan Peter Carey. Raden Saleh adalah seorang tradisional yang menerima begitu saja struktur negeri koloni yang menindas bangsanya sendiri.

Tetapi meski ia memuja penjajah negerinya itu, Raden Saleh adalah pelopor gerakan Hindia Molek yang menyajikan bumi Indonesia sebagai Timur yang indah. Ia tetap memuja negerinya. Barangkali memang akan selalu ada keterkaitan itu pada seorang internasional ekstrim sekalipun. Setiap orang merindukan dan memuja tanah airnya sendiri.

Pada Raden Saleh, kekagumannya itu dengan melukis alam Indonesia dan membawanya ke negeri lain. Dengan begitu ia memperkenalkan Indonesia, sebuah laku baik dalam proyek bersama ini. Sedangkan saya hanya bisa menunduk dan menulis seperti ini. Saya praktis tak bisa berbuat apa-apa. Saya belum melakukan apapun untuk proyek yang saya kenal dan cintai dengan nama Indonesia dan credit union.

Maka, saya malu. Saya hanya bisa merutuk tanpa berbuat. Saya hanya berkotbah tanpa melakukan apapun, apalagi sekarang ketika saya 'keluar' dari dunia credit union. Sekarang saya ingat kata Gandhi. Ia bilang, ...lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan ... Barangkali cinta saya dengan Indonesia dan credit union begitu rumit dan sulit, tapi saya akan mulai menyalakan lilin itu untuk negeri dan identitas bersama itu, betapapun kecilnya.

2 komentar:

  1. Halo, Nang! Jumpa lagi.

    BRAVO! Curahan hati yang sangat menarik..

    ANTON

  1. Makasih, Pak.
    Bisa gabung aja langsung ke blogku. Entar aku kirim beberapa tulisan baru. Ya, hitung-hitung Pak Anton ikut ngembangin 'the soul of CU'.Thanks ya.